Kamis, 17 April 2008

RUMAHKU PENUH LUMPUR

Seorang ibu muda dengan terisak mengatakan, “Bila saya ditanya apa yang saya butuhkan, maka saya tidak tahu apa yang saya butuhkan. Saya hanya butuh rumah saya kembali.” Ibu ini adalah salah satu kurban semburan lumpur Lapindo, Porong. Dia menceritakan seminggu yang lalu dia bersama anak dan suaminya masih makan bersama di ruang makan yang kecil. Menonton TV bersama setelah seharian bekerja. Bernyanyi bersama para tetangga untuk mempersiapkan misa Natal. Tapi sekarang semua tidak dapat dilakukan kembali. Rumahnya sudah tergenang lumpur. Dia harus meninggalkan rumah yang dibeli ketika masih pacaran. Rumah yang menjadi saksi bisu suka duka membangun keluarga baru. Di rumah itu dia melahirkan anak semata wayang. Mengasuh anaknya dan membangun masa depan. Semua musnah begitu saja akibat lumpur yang terus mengalir dan menggenangi rumahnya.Semburan lumpur yang sudah sejak bulan Mei 2006 dan entah kapan berakhir secara perlahan melebar kemana-mana. Puluhan hektar sawah dan kompleks perumahan sudah tenggelam. Meledaknya pipa gas milik pertamina semakin memperparah situasi. Lumpur yang diperkirakan tidak memasuki perumahan padat ternyata mengalir dan menggenangi perumahan. Memaksa orang di perumahan untuk meninggalkan rumahnya dalam waktu singkat. Mereka dicabut begitu saja dari tempat mereka berpijak. Mereka harus mengungsi dan tidak mungkin kembali lagi pada rumah yang mereka beli dengan susah payah. Rumah yang mereka jadikan harapan untuk membangun keluarga. Rumah yang menjadi idaman mereka ketika memulai hidup berkeluarga kini semua musnah. Rumah tinggal menjadi bangunan tidak berarti yang menyembul dari lumpur kering bahkan hilang menjadi sebuah tanggul.Para petinggi pemerintah dan perusahaan Lapindo hanya menghitung rumah yang rusak dan perkiraan ganti rugi. Padahal masalah kehilangan rumah tidak sesederhana itu. Rumah bagi para kurban bukanlah sekedar bangunan mati melainkan gerak dan denyut kehidupan mereka. Tempat mereka membangun kehidupan keluarga. Tempat yang dapat mereka banggakan pada sesamanya. Tempat mereka kembali setelah bekerja. Banyak orang membangun rumah yang disesuaikan dengan karakter dirinya. Rumah adalah cerminan diri seseorang. Apalagi orang sederhana yang harus dengan susah payah mengumpulkan uang untuk membangun sedikit demi sedikit. Pembangunan yang merupakan sebuah bentuk perjuangan yang lama dan keras. Bangunan rumah itu menjadi kebanggaan dan monumen perjuangan hidup. Kini semua hancur. Mereka kehilangan apa yang dibanggakannya. Mereka dipaksa pergi dengan cepat tanpa persiapan apa-apa. Maka ibu muda tadi bila ditanya orang apa yang dibutuhkan saat ini, dia menjawab bahwa dia tidak tahu. Dia kehilangan kebanggaannya dan hasil perjuangannya dalam waktu yang singkat. Dia tidak mungkin kembali untuk membangun apa yang sudah dimulai. Dia harus mengawali dari nol kembali.Pengungsian membuat orang kehilangan komunitasnya. Selama di perumahan mereka sudah membangun pertemanan yang baik dengan sesamanya. Hancurnya kampung mereka membuat mereka harus terpisah dari teman-teman atau komunitasnya. Memang mereka dapat membangun pertemanan atau komunitas dimana saja. Tapi hal itu tidak mudah. Jaman ini kecenderungan individualis sangat kuat, meski dalam hati yang terdalam manusia membutuhkan sesamanya. Situasi jaman juga membentuk orang untuk tidak mudah percaya pada sesamanya. Mereka butuh waktu untuk membangun persaudaraan atau pertemanan. Di perumahan para kurban sudah mampu membangun persaudaraan dengan baik. Kini mereka kehilangan pertemanan dan harus membangun kembali pertemanan yang baru.“Saya adalah salah satu orang yang pertama di perumahan TAS,” kata seorang bapak muda. Dia seorang guru. “Saat itu TAS masih belum ada listrik. Kami menggunakan lampu minyak. Sedikit demi sedikit saya membangun rumah yang sederhana untuk masa depan anak-anak. Kini semua musnah. Kami hanya mampu menatap sisa rumah kami di tengah lautan lumpur.” Lanjutnya sambil terisak. “Saat itu saya sedang mengajar di sebuah SMP swasta di Surabaya ketika istri saya menelpon bahwa air sudah masuk. Segera saya pulang. Saya memacu sepeda motor dengan gila. Pikiran saya kalut. Saya harus menyelamatkan anak dan istri saya.” Lanjutnya. Semua keluarganya selamat tapi rumahnya tenggelam dalam lumpur. Gajinya sebagai seorang guru tidaklah cukup banyak. Dia harus menabung sedikit demi sedikit untuk mencicil rumah dan merenovasinya. Kini setelah rumahnya dianggap layak huni, dia dipaksa meninggalkannya. “Saya masih harus mencicil rumah yang tidak mungkin saya tempati lagi.” Katanya menutup pembicaraan.Banyak para penghuni perumahan TAS (Tanggulangin Anggun Sejahtera) yang masih harus mencicil rumahnya. Penghuni TAS pada umumnya adalah keluarga muda yang baru merintis karir atau menjadi pegawai sederhana. Mereka harus pintar membelanjakan penghasilan yang tidak banyak untuk biaya hidup dan mencicil rumah. Setelah bertahun-tahun mencicil kini mereka dipaksa pindah oleh lumpur. Pemerintah dan Lapindo di koran dan media massa lain mengatakan akan mengganti rumah, tanah, atau ladang yang terkena lumpur. Mereka juga berjanji akan memberikan uang Rp 2.000.000 untuk kontrak rumah. Berita itu dimuat di koran dengan tulisan besar-besar. Dalam waktu sekejap harga kontrakan rumah di Sidoarjo melambung tinggi. Hal ini disebabkan berita adanya uang ganti kontrak dan melonjaknya orang yang membutuhkan rumah kontrakkan. Parahnya janji itu masih sekedar ditulis di koran. “Kami harus kos,” kata seorang ibu muda, “Biaya kos sebulan Rp 300.000. Ini sangat berat bagi kami. Tapi tidak ada pilihan. Maka saya tidak tahu bulan depan apakah akan mampu membayar uang kos atau pindah entah kemana lagi.”Bencana lumpur Lapindo memang tidak segempar bencana tsunami di Aceh atau gempa di Jogjakarta. Namun sebetulnya bencana ini menimbulkan kepedihan yang mendalam bagi para kurban. Bila orang Jogjakarta setelah bencana mampu kembali ke tanah mereka. Membangun kembali rumah mereka. Menggarap sawah mereka kembali, bahkan ada banyak sawah yang tidak hancur akibat gempa sehingga masih dapat diharapkan hasilnya. Tapi kurban Lapindo tidak mungkin akan kembali ke tanah mereka. Rumah mereka musnah atau tersisa sebagian bangunan. Sawah mereka sudah menjadi lautan lumpur yang tidak mungkin ditanami kembali. Mereka dipaksa meninggalkan tempatnya berpijak selama ini. Tempat mereka membangun harapan. Inilah kepedihan mereka yang mendalam.Selama ini pemerintah hanya berbicara soal hasil survey tentang data material dan jumlah kurban lalu mengeluarkan aneka analisa dan keputusan yang dilakukan di belakang meja sebuah hotel mewah. Mereka tidak pernah mencoba memposisikan diri menjadi kurban. Orang yang diusir dari tempatnya berlindung. Dalam hal ini perasaan kehilangan dan terusir tidak pernah diungkapkan. Padahal hal itu sangat besar pengaruhnya pada para kurban. Anak-anak kehilangan arena bermain. Mereka juga cemas kalau sekolah mereka tenggelam dan sudah ada sekolah yang tenggelam. Mereka bingung dengan masa depan pendidikan mereka. Mereka juga malu dikatakan sebagai anak pengungsi yang tinggal di pasar Porong.Memang bagi orang yang cukup mampu dalam segi ekonomi mereka akan cepat pindah rumah dan memindahkan sekolah anak-anak mereka. Atau orang yang masih mempunyai keluarga di sekitar Sidoarjo dan Surabaya akan segera bergabung kembali dengan keluarga mereka. Tapi bagaimana dengan orang yang kurang mampu dan jauh dari keluarga mereka? Mereka tidak mungkin meninggalkan Porong sebab mereka bekerja di Sidoarjo. Disinilah sumber kehidupannya. Pemerintah pernah menganjurkan agar mereka sudi untuk mengikuti program transmigrasi tapi apakah itu akan menyelesaikan masalah kemanusian? Disini terjadi perbedaan pandangan antara penguasa dan para kurban. Penguasa melihat semua dari data dan pemecahan yang memungkinkan. Tapi kurban melihat dari perasaan terusir dan ketidakadilan. Bagi mereka pengeboran minyak bukan urusan mereka. Tidak sekalipun mereka diajak berunding oleh Lapindo bahwa perusahaan itu akan mengadakan pengeboran minyak disana. Kini mereka harus menanggung bencana yang diakibatkan oleh sesuatu yang bukan salah mereka. Bila pengeboran minyak itu berhasil apakah Lapindo akan memberikan keuntungan pada penghuni perumahan dan para petani? Pasti tidak. Semua keuntungan akan dinikmati sendiri oleh perusahaan dan pemerintah. Tapi ketika terjadi bencana maka yang dirugikan adalah masyarakat yang tidak tahu menahu soal pengeboran minyak.Luapan lumpur dengan cepat mengubah status seseorang. “Dulu saya sering mengkoordinir teman-teman untuk menyumbangkan sembako pada kaum miskin. Kini saya harus menerima tas kresek hitam berisi sembako.” Kata seorang ibu muda dengan nada pedih. “Saya sebenarnya malu. Tapi bagaimana lagi.” Katanya pasrah. Lumpur membuat orang kehilangan harga dirinya. Dia tidak mampu mempertahankan kebanggaan diri sebagai seorang pemberi. Kini dia harus menjadi orang penerima. Orang yang menunggu belas kasih dari para penentu kebijakan. Padahal seharusnya dia tidak membutuhkan itu.“Saya tidak tahu bagaimana masa depan pendidikan anak-anak saya,” kata seorang bapak dengan berlinang air mata. “Kami harus tinggal di kios pasar. Ada sekitar 24.000 orang yang harus berdesakan di pasar. Bagaimana anak-anak dapat belajar dengan baik? Anda dapat membayangkan betapa repotnya kami harus mandi dan buang air, sebab kamar mandi sangat terbatas.” Lanjutnya. “Lapindo memang memberikan jatah makanan, tapi makanan datang tidak pasti. Kadang juga sudah bau dan rasa tidak enak sama sekali. Kami tidak mungkin masak sendiri.” Kata seorang lelaki muda yang baru beberapa tahun menikah. Dia menyesalkan tindakan pemerintah yang sangat lambat. Para pejabat hanya berunding dan mengumbar janji di koran dan TV tapi kenyataan sangat jauh dari apa yang dikatakan. Para kurban tidak makan janji dan diskusi atau kunjungan para pejabat yang tidak menyelesaikan masalah. Sudah banyak pejabat yang datang dan melihat. Mereka hanya mengumbar janji penghiburan yang tidak terealisasikan. Para kurban butuh terpenuhinya uang ganti rugi dalam bentuk lembaran rupiah di tangan mereka. Inilah yang masih dalam mimpi.Masih banyak lagi kurban yang tidak dapat menyerukan kepedihan hatinya. Seandainya pemerintah dan Lapindo melihat masalah ini dari hati mungkin penyelesaian tidak serumit saat ini. Kebanyakan penyelesaian masalah bencana dilihat dari data dan analisa yang dibicarakan oleh orang yang tidak bertanya pada para kurban. Mereka tidak berusaha merasakan menjadi kurban. Inilah yang dibutuhkan saat ini yaitu empati. Orang bersedia masuk dalam penderitaan orang lain. Melihat dari sisi kurban bukan hanya dari sisi ganti rugi belaka. Melihat dari sisi kehidupan bukan hanya dari angka dan analisa. Seandainya pemerintah dan Lapindo mau semalam tidur di pasar Porong atau rumahnya turut tenggelam oleh lumpur mungkin mereka akan mempunyai pemikiran lain dan bertindak dengan cepat. Namun apakah untuk menumbuhkan belas kasih dan rasa solidaritas harus mengalami menjadi kurban? Bila hal ini yang dituntut maka akan sulit sekali. Belas kasih dan solidaritas hanya tumbuh dalam hati yang peka akan penderitaan sesama. Hati yang berusaha memposisikan diri ditempat kurban. Bukan mengandalkan akal budi dan aneka analisa belaka. Sayang semua hanya seandainya.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks