Selasa, 08 April 2008

BANTUAN

Aku memasuki halaman pasturan yang luas. Sepeda motor aku parkir di dekat pintu masuk. Temanku keluar menyambutku. Tidak biasanya dia sudah berdiri dekat pintu begitu aku datang. Biasanya untuk bertemu dengannya aku harus melalui beberapa prosedur. Pencet bel. Menunggu beberapa menit. Bertemu dengan pegawai dan mengatakan siapa aku serta apa keperluanku. Memasuki ruang pasturan dan menunggu lagi selama beberapa menit sampai temanku keluar dari ruang dalam pasturan. Pernah sekali aku berlaku sok akrab sehingga langsung masuk pasturan mencari temanku di dalam tanpa melalui prosedur baku. Akibatnya satpam yang menjaga pasturan menjadi marah-marah. Dia menjelaskan panjang lebar aturan di pasturan itu. Aku hanya tersenyum dan minta maaf. Aku jelaskan bahwa aku sudah membuat janji dengan temanku, tapi tampaknya satpam tidak percaya. Beruntung temanku segera keluar dan menemuiku sehingga satpam itu berhenti marah dan pergi ke luar ruangan. Namun ketika aku mau pulang satpam itu menghadang di dekat pintu pagar dan masih marah. Dia sekali lagi menjelaskan peraturan yang berlaku di pasturan ini. Mungkin dia tadi belum puas memarahiku meski aku sudah meminta maaf beberapa kali.

Temanku mengajakku langsung masuk ke kamar pribadinya. Sambil berjalan ke kamarnya, dia cerita bahwa baru saja dia kedatangan tamu tamu seorang yang kurang mampu dan sering datang ke tempatnya untuk meminta bantuan. Aku tanya apakah dia memberinya uang? Dia menganggukkan kepala. Aku katakan bahwa tadi aku melihat orang itu sedang akan naik taksi. Temanku terkejut. Tidak percaya. Lalu aku jelaskan ciri-ciri orang itu. Temanku mengangguk membenarkan. Aku jelaskan bahwa aku juga mengenalnya sebab dia beberapa kali meminta bantuan padaku. Mendengar itu temanku menjadi marah. Dia mengatakan bahwa orang itu meminta bantuan uang untuk pengobatan anaknya yang katanya sedang sakit parah namun mengapa dia menggunakannya untuk naik taksi? Bukankah ada angkot yang ongkosnya lebih murah? Aku katakan siapa tahu dia memang sedang tergesa sehingga membutuhkan taksi. Atau dia ingin sesekali naik taksi apa salahnya. Temanku tetap tidak setuju bahwa uang yang seharusnya untuk biaya pengobatan ternyata untuk naik taksi. Dengan panjang lebar temanku mengatakan bahwa banyak orang yang tidak tahu berterima kasih. Orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Dia lalu menceritakan banyak hal lain lagi tentang keburukan orang-orang miskin yang datang kepadanya untuk meminta bantuan. Akhirnya dia berjanji bahwa bila orang itu datang kembali padanya dan meminta bantuan, maka dia tidak akan pernah membantunya lagi. Mendengar semua argumen dan kemarahannya aku hanya tersenyum saja. Terserah dia mau memberi atau tidak. Itu keputusan hati nuraninya kataku dalam hati.

Setelah aku selesai menyampaikan tujuan kedatanganku maka aku pun pulang. Dalam perjalanan pulang terbayang kembali kejengkelan temanku kepada orang itu. Aku tahu bahwa orang itu suka meminta bantuan ke beberapa pasturan. Dia selalu mengatakan bahwa anaknya sakit dan membutuhkan bantuan. Memang anaknya sakit dan cacat sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk membeli obat. Padahal dia adalah seorang janda yang tidak mempunya penghasilan tetap. Aku sudah beberapa kali membantunya baik melalui pasturan maupun lembaga yang aku pimpin. Terkadang aku merasa kasihan bila melihat anaknya yang cacat. Tapi kadang kala juga jengkel bila dia berulang kali datang hanya untuk meminta uang yang tidak digunakan secara tepat. Tapi inilah hidup yang sering tidak begitu mudah untuk dipahami. Aku tidak boleh melihat dan memutuskan sesuatu dari sudut pandangku sendiri. Aku yakin bahwa dia melakukan semua itu karena kekurangan. Terkadang aku menemukan orang miskin yang rela menipu bukan karena dia ingin merugikan orang lain melainkan karena dia ingin mendapatkan sesuatu yang sangat dibutuhkan namun tidak memiliki uang untuk membeli. Mereka juga tidak segan untuk memuji-muji aku dan menjelekkan orang lain agar aku mau membantunya atau menceritakan penderitaan yang sangat parah agar aku berbelas kasih padanya. Hal ini sering kali merupakan keterpaksaan sebab dia membutuhkan uang.

Banyak orang datang kepadaku dengan aneka alasan untuk mendapatkan sedikit bantuan. Seorang imam tua pernah memberikan nasehat padaku bahwa jika ada orang datang untuk meminta bantuan sebaiknya aku memberinya, tanpa mencurgainya bahwa dia sedang berbohong. Kita tidak tahu apakah orang yang memohon bantuan itu berbohong atau tidak. Siapa tahu dia memang sungguh membutuhkan bantuan. Semula aku tidak setuju dengan prinsip dan keputusan itu, tapi akhirnya aku menyadari bahwa apa yang dikatakan imam tua itu ada benarnya juga. Bagiamana bila orang itu sungguh membutuhkan bantuan dan aku tidak memberinya? Bukankah hal ini akan sangat menyakitkan baginya? Bagaimana bila aku sendiri ketika sedang membutuhkan bantuan dan meminta pada orang lalu ditolak? Aku pasti akan kecewa sekali.

Memberi orang miskin sering kali menimbulkan dilema bagi banyak orang. Ada teman yang tidak mau memberi pada pengemis di perempatan jalan sebab dia mendengar bahwa penghasilan seorang pengemis jauh lebih besar daripada penghasilannya sebagai guru di sebuah SD. Teman yang tidak mau memberi uang recehnya kepada anak jalanan dengan alasan nanti akan membuat anak itu menjadi pemalas dan bergantung pada orang lain. Ada orang yang tidak mau memberi pada pengemis anak-anak sebab dia mendengar bahwa mereka hanya diperalat oleh orang tuanya. Temanku tadi juga marah-marah setelah memberi sebab dia tahu bahwa uang itu digunakan untuk naik taksi. Aku pun sering mengalami hal yang sama. Kadang aku menjadi kecewa bila bantuan yang kuberikan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Kadang timbul dalam pikiranku apakah orang ini sungguh sangat membutuhkan bantuan atau hanya ingin mencari enaknya saja. Dia hanya ingin bergantung pada orang lain tanpa mau bersusah payah bekerja.

Di rumah singgah aku pun sering ditipu oleh anak-anak. Ada anak yang memaksa untuk disekolahkan namun ternyata uang pendaftaran dan uang gedung dihabiskan untuk membeli hal yang seharusnya tidak perlu dibeli. Ada yang mengatakan ingin kuliah dan mendaftarkan diri di sebuah perguruan tinggi swasta. Setiap sore dia berangkat kuliah. Dia meminta dana untuk aneka kebutuhan seperti halnya mahasiswa yang lain. Namun setelah satu semester akhirnya ketahuan bahwa dia tidak pernah mendaftarkan diri sama sekali di perguruan tinggi itu. Uang kuliah ternyata digunakan untuk memuaskan dirinya sendiri. Ada yang mengatakan membutuhkan modal untuk usaha namun ternyata uang itu habis begitu saja. Ada yang meminta uang untuk mengurus SIM ternyata uang itu habis sebelum SIM diurus. Masih banyak lagi cara anak-anak menipuku. Seharusnya setelah ditipu berulang-ulang aku tidak akan mempercayai mereka lagi dan tidak perlu memberinya uang untuk alasan apa saja. Tapi meskipun sering kali aku merasa kecewa dan marah setelah tahu bahwa mereka menipuku, namun aku berusaha untuk membangun kepercayaan lagi pada mereka. Sering kali aku tidak tega melihat wajah-wajah mereka yang tampak memelas dan lembaran hidup mereka yang kelam. Akhirnya aku hanya berusaha menasehati mereka bahwa perbuatan mereka salah dan dapat merusak kepercayaanku padanya.

Beberapa teman mengatakan bahwa tindakanku itu bodoh. Aku seharusnya tidak perlu memberi mereka lagi. Atau aku harus tegas dengan cara memberi sanksi. Kadang usul itu ingin aku lakukan, tapi hal itu berarti aku tidak akan pernah memberi lagi kepada semua anak yang ada di rumah singgah. Atau mereka semua akan mendapatkan hukuman, sebab semua anak pernah menipuku atau teman-teman pendamping yang lain. Meski ditipu aku harus tetap mempercayai mereka. Aku harus tetap memberi mereka bahkan bila pemberian itu sekali lagi akan digunakan tidak semestinya. Hal ini harus terus aku tanamkan dalam hatiku. Bagiku tidak mungkin aku tidak akan mempercayai mereka lagi. Lalu apa maksudku membangun pertemanan dengan mereka dan menampungnya di rumah singgah bila sudah tidak ada rasa percaya lagi? Bila aku tidak mempercayai mereka lagi, maka hal ini berarti rumah singgah harus ditutup.

Pernah aku sangat kecewa sebab ditipu mentah-mentah. Ketika sedang merencanakan hukuman bahkan pengusiran, ternyata Tuhan menegurku melalui Injil. Dalam Injil Yohanes yang kubaca Yesus setelah bangkit bertanya pada Petrus, “Petrus apakah engkau mencintai aku? Gembalakanlah domba-dombaKu” sebuah pertanyaan yang diulang sampai 3 kali. Petrus adalah orang yang dipercaya oleh Yesus untuk memimpin komunitas keselamatan yang dibangunNya. Namun dia pernah menghianati Yesus sampai 3 kali. Pengkhianatan Petrus tidak membuat Yesus jera. Dia tetap memberi kepercayaan padanya untuk menjadi gembala domba-dombaNya. Ayat itu membuatku seperti bercermin. Apakah aku tidak pernah menyelewengkan atau menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadaku selama ini? Apakah aku tidak pernah menipu Tuhan? Apakah bila aku menyeleweng atau menipu Tuhan maka Dia tidak lagi memberiku kepercayaan? Ternyata tidak! Dia tetap memberiku kepercayaan. Dia memberiku rejeki dan aneka kemudahan dalam hidup. Mengapa kini aku akan mengusir anak-anak yang tinggal di rumah singgah karena telah menyelewengkan kepercayaan yang aku berikan?

“Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.” (Mat 5:42) Yesus dalam kotbah di bukit mengajarkan agar manusia memberi pada orang yang meminta dan tidak boleh menolak bila ada orang yang akan meminjam. Maka bila ada orang yang meminta aku harus siap untuk memberi. Allah telah banyak memberi kepada kita tanpa pernah mempertanyakan segala pemberianNya. Aku sepanjang hidup sudah menikmati aneka pemberian yang berlimpah dariNya dan tidak semua pemberian aku gunakan sepantasnya. Aku diberi tenaga yang kuat namun sering kali aku bermalasan. Aku diberi akal budi yang cukup namun sering kali akal budiku aku gunakan tidak untuk seharusnya. Tidak pernah Allah marah dan menghentikan anugerahNya. Kesadaran akan kasih Allah yang senantiasa mengalir dalam hidupku meski aku sering kali tidak menggunakan untuk seharusnya, membuatku membatalkan keinginan untuk mengusir anak yang sudah menyelewengkan kepercayaanku.

Pemberian adalah kurban. Bila aku memberi maka ada bagian dari milikku yang hilang. Sering kali yang membuatku enggan memberi bantuan pada orang lain adalah kekuatiranku akan kehilangan apa yang kumiliki. Aku tidak ingin apa yang kumiliki berkurang, sebaliknya harus bertambah. “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat 6:34). Sebenarnya kekuatiran dan keterlekatan pada baranglah yang membuatku tidak berani memberi bantuan pada orang lain dengan aneka alasan yang masuk akal. Aku kuatir apa yang kumiliki akan habis. Aku kuatir bagaimana bila aku membutuhkan suatu saat nanti. Aku merasa sayang dengan apa yang kumiliki. Masih banyak kekuatiran dan keterlekatan lain yang ada dalam diriku.

Mengapa aku sering takut memberi? Bukankah Yesus sudah memberikan seluruh diriNya demi keselamatanku? Dia rela menjalani penderitaan yang mahaberat dan disalibkan sampai mati demi menebus dosa-dosaku. Bila diri dan nyawa saja sudah diberikan apakah Dia akan memperhitungkan pemberian yang lain? Yesus tidak pernah mempertanyakan pemberianNya apakah aku gunakan dengan sebaiknya atau aku abaikan begitu saja. Dia tidak pernah menuntutku untuk membalas apa yang sudah dikerjakanNya bagiku. Bila aku sudah menerima yang berlimpah seperti itu mengapa aku masih berhitung dengan orang lain? Kesadaran akan kasih Yesus yang telah memberikan segalanya kepadaku inilah yang membuatku untuk terus berusaha memberi sesama tanpa merasa kuatir. Bila timbul rasa kekuatiran dan kecemasan, maka aku akan memandang salib Yesus.

Sambil memacu sepeda motor di tengah jalan yang tidak begitu padat, aku terus berusaha melihat diriku. Aku ingin mempunyai keberanian untuk memberi dengan iklas. Tidak memiliki kekuatiran kekurangan bila memberi sesuatu atau melakukan penghakiman pada orang yang datang membutuhkan bantuan. Sepeda motor terus kupacu. Di sebuah perempatan jalan aku berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Seorang anak perempuan kecil membawa lap kotor datang menghampiri motorku. Dia menggosok kaca lampu motor dan minta uang. Kukeluarkan uang recehan. Untuk apa uang itu tanyaku. Dia menjawab dengan suara lirih bahwa uang hasil membersihkan motor akan digunakan untuk membayar uang sekolah. Aku tersenyum mendengar jawabnya. Semua anak di rumah singgah pun akan berkata begitu, meski mereka makan tidak perlu bayar dan uang sekolah sudah aku beri. Selalu ada alasan untuk mendapatkan uang. Apakah anak ini sedang menipuku? Tanyaku dalam hati. Kutatap wajahnya yang kotor dan minta dikasihani. Sekali lagi aku tanya padanya akan digunakan untuk apa uang itu? Dia menjawab yang sama sambil berlali kecil menuju ke motor yang lain. Sekali lagi aku tersenyum. Aku harus iklas. Aku sudah memberi maka aku mengiklaskan pemberianku. Bila aku iklas maka tidak akan pernah menyesal bila ternyata uang itu dihabiskan untuk membeli jajan atau menambah modal judi bapaknya. Aku hanya berharap bahwa suatu saat pasti dia akan berubah seperti anak-anak di rumah Simopomahan[1].

Surabaya, 8 Juni 2002
[1]) Simopomahan adalah nama sebuah kampung di daerah Surabaya Barat. Kami mempunyai sebuah rumah singgah di kampung itu yang dihuni oleh anak jalanan yang sudah mau kembali sekolah atau bekerja. Mereka tidak lagi hidup di jalanan. Sedangkan anak jalanan yang masih menyukai hidup di jalanan tinggal di rumah singgah di daerah Dinoyo. Anak-anak ini sengaja dipisahkan agar anak yang sudah ingin hidup seperti anak pada umumnya tidak dipengaruhi lagi oleh anak-anak yang masih hidup di jalanan yang mempunyai dunia berbeda dengan anak-anak pada umumnya.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks