Rabu, 23 April 2008

MARIA POTRET BURUH YANG DIKALAHKAN

Aku duduk disekitar 43 buruh. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Saat itu kami sedang mengadakan dialog mengenai kehidupan. Satu demi satu buruh dengan bebas menyatakan kegelisahannya, penderitaannya, harapan‑harapannya akan masa mendatang, gambaran kehidupan buruh yang sesungguhnya di pabrik tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Dialog berjalan mengalir dari satu tema ke tema yang lain. Aku hanya duduk mendengarkan mereka mengungkapkan isi hatinya.

Setelah beberapa buruh menyatakan pengalaman hidupnya, tiba‑tiba seorang buruh yang ada di hadapanku mengangkat jari. Maka aku persilahkan dia berbicara. Buruh perempuan ini berdiri dengan tanpa ragu. "Namaku Maria," katanya "Aku berasal dari sebuah desa di Sumatera Utara. Keluargaku miskin, maka aku hanya bisa sekolah sampai SMA. Setelah lulus aku memutuskan untuk merantau ke Batam. Alasanku, aku sudah besar dan tidak mau membebani orang tuaku dan kalau kerja, maka aku bisa membantu biaya sekolah adik‑adikku. Tapi pastur...." katanya berhenti sejenak, "setelah 7 tahun disini, aku ternyata tetap sebagai operator. Aku tidak punya tabungan. Aku juga belum punya jodoh, padahal umurku sudah 28 tahun." kontan semua buruh yang hadir tertawa ngakak. Mulailah perkataan simpang siur saling menggoda.

Dalam perjalanan pulang, perkataan Maria masih membekas dalam ingatanku. Tujuh tahun dia tetap sebagai operator, tabungan tidak punya dan jodoh juga belum dapat. Suatu penderitaan yang bertumpuk‑tumpuk. Soal tidak naik jabatan bagi Maria tidak menjadi persoalan yang mendasar, sebab dia sadar bahwa dia hanya lulusan SMA di desa. Tapi soal tabungan baginya merupakan persoalan yang cukup membebani. Setelah bekerja sekian lama, dia tetap tidak mampu menabung sedikitpun. Padahal tabungan adalah modal bagi masa depannya, sebab sistem kontrak membuatnya dapat diberhentikan dari pekerjaannya begitu masa kontrak selesai.

Maria bukan perempuan pemboros. Sebaliknya hidupnya sangat sederhana. Dia tinggal di sebuah kamar ukuran 2X3 m di ruli (rumah liar). Kalau melihat penampilannya, aku tidak yakin bahwa dia memiliki beberapa baju yang bagus. Dia juga tidak bermake up. Katanya dia sudah mencoba untuk makan sehari sekali saja, meski harus kerja seven to seven (12 jam perhari) dan kerap kali selama 7 hari penuh, sebab hari minggu atau hari raya biasanya di dipaksa oleh perusahaannya untuk OT (over time istilah untuk kerja lembur). Aku tanya kalau begitu kemana uang hasil kerjanya? Maria mengatakan bahwa sebagian besar uangnya dikirimkan ke keluarganya di desa. Dia menjadi salah satu tiang keluarga, sebab dia anak pertama dan masih mempunyai 5 adik yang harus dibiayai.

Bagi Maria mengirim uang ke orang tua adalah suatu perwujudan balas budi atau bakti. Bagi orang tuanya hal itu merupakan kewajiban seorang anak. Mereka tidak peduli bagaimana Maria harus mengumpulkan uang. Mereka tidak mengerti betapa beratnya hidup di Batam. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Maria bekerja di suatu perusahaan dengan gaji yang sangat tinggi untuk ukuran penghasilan di desa, maka dia wajib mengirimkan sebagian upahnya kepada mereka.

Maria juga gelisah dengan umurnya. Dia sudah tua dan belum mempunyai pacar. Hal ini membuatnya malu untuk pulang ke kampung, sebab apa kata orang di desanya kalau melihat dia belum menikah. Pasti akan menjadi bahan gunjingan. Selain itu siapa yang sudi menikah dengan perempuan yang sudah berumur seperi dia. Persoalan umur dan jodoh sering kali menekannya. Orang tuanya sudah beberapa kali mendesak dia untuk segera mencari pacar dan menikah, tapi untuk mendapatkan pacar di sini tidak mudah, sebab jumlah pria dan perempuan sangat tidak seimbang.

Maria adalah salah satu potret kecil penderitaan kaum perempuan di Batam. Masih banyak lagi kaum perempuan di Batam yang hidupnya jauh lebih menderita dibandingkan Maria. Mereka bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan dengan sistem kontrak dan aku yakin selamanya mereka akan tetap dikontrak sebagai operator, suatu bidang pekerjaan yang melakukan hal yang sama sepanjang bekerja. Misalnya dia bagian memasang kancing di perusahaan konveksi, maka selamanya dia akan memasang kancing.

Banyaknya perusahaan yang menggunakan tenaga perempuan, maka di sini jumlah antara pria dan perempuan tidak seimbang. Bagi pria yang tinggal disini akan sangat mudah mencari pacar. Dalam pembicaraan itu juga diceritakan adanya pria yang mempunyai beberapa pacar dan memanfaatkan pacarnya. Setiap hari dia hanya beralih dari satu perempuan ke perempuan yang lainnya untuk minta uang. Dia hidup dari pacar‑pacarnya. Dan banyak perempuan tidak tahu kalau dia ditipu oleh pria semacam ini, sebab ada begitu banyak perempuan. Kalau toh dia tahu, maka dia akan diam dan menerima saja. Dia terus saja berpacaran dengan pria itu demi gengsi, sebab ada banyak perempuan yang merasa malu bila tidak mempunyai pacar, sehingga mereka merelakan dirinya menjadi sapi perasan seorang pria asal dia mau menjadi pacarnya.

Aku protes dalam hati, mengapa ada pria yang memanfaatkan kelemahan dan peluang seperti ini? Sebetulnya ada protes yang lebih jauh lagi yaitu mengapa kaum perempuan sering dianggap rendah, tidak laku nikah, bila sudah agak tua belum mempunyai pacar dan menikah? Mengapa hal yang sama bagi kaum pria tidak pernah dipersoalkan? Akibat ketakutan ini (tidak laku) maka beberapa teman mau saja diperlakukan sebagai istri atau pacar yang sekian. Bahkan dia rela menghidupi pacarnya. Ini juga terjadi di komunitasku. Hampir semua pekerja seks mempunyai kiwir (istilah untuk suami‑suamian). Mereka pada umumnya tidak bekerja dan hanya mengandalkan hasil dari istrinya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, seorang pekerja seks mukanya lebam dan luka‑luka sebab habis dipukuli oleh kiwirnya, sebab ketika kiwir itu minta uang, si pekerja seks tidak punya uang sama sekali. Katanya malam harinya tidak ada tamu. tapi si kiwir itu tidak peduli. Padahal uang itu hanya untuk main judi dan beli minuman keras.

Di Batam ada pula ruli yang dihuni oleh perempuan‑perempuan simpanan apek‑apek (istilah untuk orang tua‑tua dari Singapura). Apek‑apek itu datang setiap hari sabtu sampai minggu. Pada umumnya perempuan itu memiliki suami, tapi mereka membiarkan istrinya menjadi simpanan apek‑apek. Jika sabtu sampai minggu mereka pergi, sehingga apek‑apek itu bisa leluasa. Masih banyak ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Banyak orang yang kurang peduli akan semua itu. Banyak orang mengaku pedih melihat ketidakadilan itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Kisah buruh perempuan di Batam adalah secuil cerita mengerikan tentang penderitaan perempuan di hampir seluruh pelosok bumi. Maria adalah satu dari jutaan perempuan yang sering diperlakukan tidak adil. Banyak kaum perempuan yang dengan sengaja dibisukan dan ditindas. Mereka hanya dijadikan obyek kesenangan oleh orang yang merasa dirinya mempunyai kekuatan. Mereka dirampas hak-haknya dan tidak dihargai martabatnya. Bila sistem dunia memang tidak adil dan menindas perempuan, maka seharusnya lembaga agama yang berusaha berjuang untuk mengangkat martabat perempuan. Namun ada banyak orang mendasarkan diri dengan ajaran agamanya melakukan penindasan pada perempuan. Ada orang mendasarkan diri pada hukum agama memutuskan untuk menikahi perempuan sebanyak mungkin, sebab menurut agamanya hal ini sah saja. Bagaimana bila hal itu dibalik sehingga dia menjadi suami yang kesekian dari seorang perempuan? Tentu hal ini akan ditolaknya.

Dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa manusia adalah gambaran diri Allah. Memang ciptaan pertama adalah lelaki namun Allah menciptakan perempuan sebagai ciptaan yang sepadan dengan lelaki. TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2:28). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa Allah menciptakan perempuan bukan hanya sepadan dengan lelaki tapi juga penolongnya. Bila lelaki sadar bahwa perempuan adalah penolongnya, maka dia akan menghormati perempuan. Yesus pun berusaha melawan pandangan saat itu dimana perempuan menduduki posisi yang rendah. Dalam Injil Yohanes digambarkan bahwa perempuanlah yang menjadi pewarta pertama sehingga banyak membawa orang pada Yesus. “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh 4:28-29). Dalam Injil Matius Yesus memuji iman perempuan Kanaan (Mat 15:21-28). Dalam surat Paulus yang menggambarkan kehidupan menggereja saat itu memang perempuan masih rendah kedudukannya. Namun seturut perkembangan jaman yang disertai oleh pemikiran-pemikiran kaum cerdik pandai, maka seharusnya perempuan semakin lama semakin dihargai dan memperoleh posisi yang setara dengan pria.

Maria dan masih banyak Maria-Maria yang lain hidup dalam penindasan. Memang di negara kita sejak awal abad ke 20 Ibu Kartini sudah mengungkapkan kegelisahannya sebagai perempuan yang sering dikalahkan oleh adat dan tradisi yang tidak adil. Apa yang dituliskan Ibu Kartini dalam surat-suratnya mendorong banyak orang untuk semakin peduli pada perempuan. Namun sampai saat ini Maria masih menjadi perempuan yang dikalahkan. Dengan demikian masih panjang jalan yang harus dilalui oleh perempuan untuk dihargai martabatnya.

Sampai larut malam aku masih duduk bersama teman-teman buruh di ruang pertemuan. Mendengar kisah beberapa temanku, aku jadi ngeri. Timbul pertanyaan dalam hati sampai dimana sosialisasi gender? Sampai dimana gerakan emansipasi? Bagaimana reaksi ibu Kartini jika melihat nasib para perempuan di Batam? Mengapa perempuan‑perempuan itu diam saja, meski ditindas? Apakah mereka tidak sadar kalau dirinya ditindas? Apakah mereka sadar kalau ditindas, namun pasrah pada nasib? Banyak pertanyaan yang bergulung‑gulung dibenakku, tapi semuanya tidak bisa kutemukan jawabannya satupun. Maria akan terus menjalani hidupnya dalam penderitaan. Aku hanya bisa diam terpaku disini.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks