Kamis, 17 April 2008

AKU DAN KECOAK

Aku memandang seekor kecoak yang berlarian di kamar mandiku. Sebentar-sebentar dia berhenti. Aku tidak tahu apakah dia hanya mengendus sesuatu atau makan sesuatu. Tapi apa yang dimakan? Di kamar mandi hanya ada sisa air, sisa busa sabun, sisa busa shampo dan sisa abu rokok. Apakah kotoran itu bisa dijadikan makanan? Ataukah dia makan dakiku yang berjatuhan dari tubuhku ketika tersiram air? Entahlah. Tapi kalau tidak makan, bagaimana dia bisa hidup di sini?

Allah itu memang Mahakuasa. Bagaimana kecoak yang kupikir tidak mempunyai makanan, ternyata masih bisa hidup. Bagaimana sampah dari diriku masih bisa memberikan suatu kehidupan, meski hanya untuk seekor kecoak. Pernah aku berpikir untuk tidak ke kamar mandi sama sekali. Aku ingin tahu apakah kecoak itu masih bisa bertahan hidup atau akan mati. Tapi akhirnya aku berpikir mengapa aku bisa begitu jahat? Mengapa aku sayang membuang sampahku? Padahal aku tidak merasa kehilangan sama sekali. Bahkan tubuhku menjadi lebih bersih setelah mandi. Memang kadang aku terlalu egois. Aku tidak ingin orang lain atau hewan lain menikmati apa yang aku miliki bahkan sampai apa yang sebetulnya tidak pernah aku rasakan sekalipun jika aku melepasnya. Misalnya di dalam lemariku ada beberapa helai baju bahkan beberapa sudah sangat lama, sebab kubeli beberapa tahun yang lalu. Aku sudah tidak memakainya selain sudah tidak mampu menampung tubuhku yang semakin membesar juga sudah ada yang lebih baru. Karena tidak pernah kupakai, maka aku tidak pernah memperhatikan baju-baju itu lagi. Tapi ketika ada yang mengambilnya, aku merasa kehilangan. Padahal selama ini aku tidak pernah memperhatikannya. Kalau kecoak itu makan dakiku, kenapa aku tidak rela memberinya? Apakah aku merasa kehilangan daki?

Semula aku jijik melihat kecoak, maka ketika pertama melihatnya aku langsung membawa pemukul. Tapi dia memang gesit. Begitu kupukul dia lari masuk ke lubang air. Lama tidak muncul. Dia akan muncul lagi ketika aku tidak ada, sebab setiap masuk kamar mandi pasti kecoak itu sedang berkeliaran. Lama-lama aku biarkan saja. Toh dia tidak mengganggu kehidupanku. Dia hanya membuatku jijik saja, tapi tidak membahayakan diriku. Dia juga tahu diri sehingga tidak masuk kamar. Hanya berkutat di kamar mandi. Mengapa aku tidak bisa berbagi ruangan sedikit saja dengannya? Toh aku juga jarang masuk kamar mandi.

Mengapa aku jijik pada kecoak? Jika kulihat warnanya yang coklat tua dan mengkilat, mengapa bisa menimbulkan kejijikan? Bukankah warna itu indah? Mungkin kejijikan itu muncul dari cerita ibuku bahwa kecoak itu kotor. Hidupnya di got-got dan tempat kotor lainnya. Kini dia hidup di kamar mandiku apakah masih menjijikan? Temanku lebih parah lagi, jangankan melihat kecoak, mendengar kata kecoak saja dia sudah ketakutan, karena jijik. Jika kecoak itu sejak kecil kupelihara di tempat yang bersih apakah dia akan tetap menjijikan? Pasti tetap menjijikan. Dengan demikian kejijikan itu bukan karena asal tempat tinggal kecoak, tapi karena pikiranku sendiri yang sudah menuduhnya menjijikan.

Di masyarakat juga ada orang yang dianggap menjijikan sebab status dan pekerjaannya. Beberapa orang dengan secara implisit menyatakan bahwa pekerja seks kelas teri yang mangkal di stasiun dan terminal adalah orang yang menjijikan. Pemulung dan anak jalanan juga menjijikan. Aku teringat pernah ketika bersama teman-teman hampir saja diusir oleh satpam rumah makan, sebab di dalamnya sedang ada pesta. Padahal kami diundang dan diminta untuk mengisi acara. Kami semua saat itu sudah mandi dan bersih, hanya pakaian kami bukan pakaian pesta, sebab memang tidak punya. Satpam itu mau mengusir sebab mengetahui dari penampilan kami bahwa kami adalah anak jalanan yang suka bikin onar, mencuri dan tuduhan lainnya, yang membuat kami jadi masyarakat yang menjijikan. Untung aku ingat nomor HP orang itu sehingga dia sendiri keluar dan mempersilahkan kami masuk. Kalau aku lupa jelas satpam itu akan tetap mengusir kami.

Beberapa orang pun enggan aku ajak untuk berteman dengan teman-temanku. Aku tahu bahwa alasan mereka adalah mereka jijik. Mereka jijik bukan karena melihat penampilan temanku yang sudah mandi, tapi dari pikirannya sendiri yang terbentuk dari lingkungannya bahwa anak jalanan, pekerja seks kelas teri dan pemulung adalah orang yang menjijikan. Orang Yahudi pun sempat terheran-heran dan mengkritik Yesus ketika Dia datang dan makan bersama orang-orang yang dianggap menjijikan. Mereka dianggap menjijikan sebab orang Yahudi merasa lebih bersih. Aku pun bisa melihat kecoak menjijikan sebab aku merasa lebih bersih dibandingkan kecoak. Padahal kecoak itu selalu di kamar mandi. Dia pasti selalu terkena air, sedangkan aku hanya dua kali sehari mandi. Itupun kalau di rumah.

Aku akhirnya senang dengan kecoak itu sebab dia bisa menjadi hiburan di saat aku tengah duduk sambil menikmati rokokku di kloset. Aku bisa melihatnya berlarian dan penasaran jika melihatnya mengendus-endus. Aku teringat Ktut Tantri seorang Amerika yang membantu perjuangan rakyat Bali melawan Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali setelah Jepang kalah. Ketika di penjarakan Ktut Tantri merasa kesepian, sebab dia sendiri dalam satu sel dan tidak boleh berkomunikasi dengan siapapun. Maka dia berteman dengan kecoak yang berkeliaran di selnya. Ternyata kecoak pun bisa menjadi teman yang menyenangkan. Apakah setelah keluar dari penjara dan kembali ke Amerika Ktut Tantri masih suka berteman dengan kecoak? Aku tidak tahu. Mungkin dia sudah melupakan teman-temannya itu. Atau bahkan mungkin sudah menyemprot kecoak yang ada di rumahnya dengan pestisida.

Memang ketika orang sedang kesepian dia bisa saja berteman dengan siapa saja dan apa saja. Namun ketika dia menemukan dunianya kembali dia mulai meninggalkan teman-temannya. Aku pun hanya berteman dengan kecoak ketika di kamar mandi. Di luar kamar mandi aku sudah lupa dengan mereka. Jangankan dengan kecoak, dengan sesamaku saja aku bisa lupa. Memang dalam kesepian aku bisa berteman dengan siapa saja. Dengan orang yang masih mau denganku. Tapi jika sudah punya banyak teman, aku pun mulai memilih mana yang bisa kuanggap teman. Aku pun pernah mengalami nasib seperti kecoak. Ketika orang sedang dalam kesepian dan kesulitan dia senantiasa datang padaku, bahkan sampai menyita banyak waktuku. Tapi setelah dia aman dan nyaman, dia melupakanku. Jangankan datang, telpon saja tidak pernah.

Dari sini kusadar bahwa perteman ternyata sangat rentan. Saat ini aku punya banyak teman sebab aku jadi imam, suatu status yang tidak menjijikan. Banyak orang senang bisa mengenalku bahkan mau bersusah payah menolongku. Padahal dulu aku merupakan bagian dari orang yang dilupakan dan tidak diperhitungkan. Tidak ada seorangpun yang bangga berteman denganku. Kini semuanya berubah, sebab statusku. Bukan diriku, sebab aku sama dengan yang dulu. Seandainya nanti suatu saat aku menyatakan mengundurkan diri dari imamatku, aku yakin akan menjadi orang yang dihindari lagi. Aku akan jadi kecoak di masyarakat. Padahal aku tetap menjadi diriku sendiri.

Kecoak di kamar mandiku yang berukuran 1X2,5 m masih berlari kian kemari. Apakah dia bangga hidup sebagai kecoak? Apakah dia bahagia sebagai kecoak? Aku tidak tahu. Kalau toh kecoak itu menangis atau tertawa aku juga tidak tahu. Atau dia tidak bisa menangis dan tertawa? Ataukah memang aku tidak peduli apakah kecoak itu menangis atau tertawa? Ataukah aku memang tidak bisa membedakan antara tangis dan tertawanya kecoak? Dalam masyarakat saat ini banyak sekali kecoak. Orang yang dianggap menjijikan. Orang yang disingkiri. Orang yang hidup dari sisa-sisa orang lain. Orang yang bisa hidup dari makanan yang tidak pernah kita duga bisa menghidupinya. Orang yang sudah sulit membedakan antara tangis dan ketawa, sebab dia tertawa dalam tangisan. Dalam kesedihan dan kesepiannya. Mereka berkeliaran di sekitarku hanya aku saja tidak peduli padanya, sehingga aku lebih memperhatikan kecoak di kamar mandi daripada mereka yang ada di sekitarku.

1 komentar:

heri bonang suronang mengatakan...

mantap!
aku pun sudah lama terbuang,membaca ini sedikit menghibur hatiku!

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks