Rabu, 23 April 2008

NILAI YANG MASIH TERSISA

Sepuluh anak muda duduk di sekelilingku. Mereka akan sharing tetang pengalaman mereka selama live in di rumah penduduk. Sejak kemarin ada 128 anak yang mengikuti acara jambore di Klepu. Sebuah desa kecil di sebelah barat kota Ponorogo. Desa Klepu mempunyai penduduk sekitar 2800 jiwa dan yang Katolik sekitar 1300 an dan selebihnya beragama Islam. Kehidupan disini seperti layaknya desa-desa di Jawa lainnya. Penduduk pada umumnya adalah petani. Mereka hidup dalam kesederhaan seorang petani. Kalau toh ada rumah yang tampak bagus, pada umumnya mereka adalah TKI. Mereka masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang dulu pernah ada namun sekarang sudah semakin temaram yaitu rasa persaudaraan yang tinggi, ramah dan terbuka terhadap orang pendatang.

Seorang gadis umur belasan tahun bercerita dengan penuh semangat mengenai keluarga yang ditinggalinya. Dia menceritakan betapa penduduk sini sangat ramah. Di kota memang ada orang yang ramah, tapi keramahan di kota beda dengan yang dia rasakan di tempat ini. Mereka ramah tampa memakai topeng, sedangkan di kota biasanya orang pura-pura ramah. Disini ketika berjalan dia selalu disapa orang, sehingga dia pun turut menyapa setiap berpasasan dengan orang. Sedangkan di kota dia tidak pernah merasakan disapa dan menyapa orang seperti disini. Dikota hanya orang yang kenal saja yang mau saling menyapa, sedangkan disini semua orang yang berpapasan pasti akan disapa atau menyapa. Pengalaman ini tidak ditemukan di tempat asalnya.

Seorang lain lagi menceritakan bahwa di halaman rumah tempat dia menginap ada sebatang pohon jeruk. Saat itu berbuah banyak tapi yang besar dan sudah dapat dimakan hanya dua buah. Pemilik rumah dengan ramah menawarkan untuk mengambilnya. Anak ini menolak sebab buah hanya dua. Tapi pemilik rumah mengatakan silakan mengambil sebab dia masih dapat menanti buah yang masih kecil menjadi besar dan masak. Dia sangat kagum dengan sikap tuan rumah itu. Dia membandingkan bila di kota sulit sekali mendapati orang yang mau mengalah pada orang lain. Dia berani berbagi dengan orang lain, meski dia harus menunggu lama lagi untuk menikmati buah pohonnya.

Teman-teman masih terus bercerita dengan semangat mengenai keramahan penduduk desa ini. Kepolosan dan ketulusan mereka dalam menerima para tamu. Seorang anak mengatakan dia heran mengapa disambut seperti itu, padahal dia hanya anak muda biasa. Pengalaman hidup bersama penduduk desa membuat mereka membandingkan dengan kehidupan mereka selama ini di kota. Mengapa hal yang baik disini sudah tidak ada lagi di kota? Memang tidak semua yang terjadi di sini dapat dikatakan baik. Ada pula sisi negatifnya, tapi pada umumnya masih baik.

Aku bertanya pada mereka kira-kira apa yang membuat orang di daerah sini dapat begitu ramah dan saling memberi sedangkan di kota sudah tidak ramah dan tidak saling berbagi lagi? Banyak jawab yang mereka berikan. Mereka pada umumnya masih duduk di bangku SMA sehingga segala analisanya hanya apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak memakai aneka teori sosiologi atau antropologi atau ilmu lain yang berbelit-belit.

Pada umumnya mereka merasa bahwa di kota orang sudah menjadikan uang dan kekayaan sebagai tujuan hidup. Bila orang menjadikan uang sebagai tujuan maka semua perhatian dipusatkan pada uang atau kekayaan. Akibatnya juga orang menjadi egois. Mereka tidak mau berbagi dengan tetangga. Seorang anak bercerita bahwa dia pernah sampai mencuri buah milik tetangga sebab dia minta tidak diberi. Mendengar semua itu kami tertawa. Akhirnya kelompok kami bubar dan mempersiapkan acara berikutnya.

Dalam kesendirian sambil menikmati sejuknya aliran angin dari pegunungan, aku berusaha merenungkan apa saja yang telah dipercakapkan anak-anak tadi. Aku merasa memang di bangsa ini ada nilai-nilai bagus yang sudah hilang atau langka ditemukan. Di kota aku melihat banyak orang tertindih oleh kegelisahan. Mereka gelisah untuk bertahan hidup. Bertahan untuk apa yang sudah diperolehnya. Kegelisahan ini menekannya sehingga orang cenderung mudah marah dan curiga. Lebih jauh mungkin mereka dikuasai oleh uang atau kekayaan seperti kata anak-anak tadi. Ketika orang masih miskin dia berusaha keras untuk mendapatkan uang, tapi setelah dipandang kaya pun orang masih terus berusaha memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya, bahkan kalau memungkinkan dia akan merampas milik orang lain untuk dijadikan miliknya.

Menurut salah satu anak kekayaan sekarang sudah menjadi syarat untuk dihargai oleh sesama. Diakui oleh orang lain. Maka orang mengejar kekayaan juga agar diakui bukan hanya sekedar menumpuk kekayaan. Hal ini beda dengan disini dimana orang dihargai karena dia adalah sesama. Dia adalah manusia meski orang asing. Aku tersenyum sendiri bila teringat analisa anak itu. Aku pikir ada benarnya juga. Beberapa waktu lalu orang berlomba mengajukan dana yang cukup besar untuk liturgi tahun baru Imlek. Di paroki kami juga orang mengajukan dana yang cukup besar untuk misa Imlek. Melihat angka itu aku hanya mampu menghela nafas, bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, dimana beberapa daerah terkena bencana yang parah orang masih ribut untuk membagi jeruk setelah misa dan meminjam aneka baju untuk misa? Mengapa tidak berpikir soal saudara-saudaranya yang kelaparan akibat bencana? Inilah sisi kecil kehidupan kota dimana orang lebih mementingkan kemegahan diri daripada berpikir mengenai sesamanya. Orang lebih mementingkan misa dengan beberapa romo yang hebat dan aneka hiasan yang indah serta asesoris mahal lain daripada prihatin dengan sesamanya yang menderita akibat bencana.

Penilaian manusia saat ini ditentukan oleh kekayaan. Barang siapa memiliki kekayaan maka dia akan diperhitungkan. Semakin banyak kekayaan yang dimilikinya maka dia akan semakin dihargai dan diperhitungkan. Pernah aku pergi ke sebuah toko elektronik dan akan membeli sebuah barang elektronik. Setelah beberapa saat aku berdiri dan melihat-lihat barang tidak ada satu pun pegawai yang datang dan berusaha menjelaskan produknya. Tapi ada orang yang begitu datang langsung dilayani oleh pegawai toko itu. Hal ini disebabkan aku hanya mengenakan kaos dan bersandal sedangkan orang yang dilayani datang mengenakan baju yang bagus dan bersepatu. Ketika aku beranikan diri untuk bertanya-tanya tentang sebuah produk maka pegawai itu menjawab ala kadarnya. Berbeda ketika dia melayani orang yang berpenampilan bagus. Mungkin pegawai itu mengira aku hanya bertanya-tanya dan tidak akan membeli sebab tidak mempunyai uang. Berbeda dengan pelanggan yang lain. Ketika aku memilih barang dan menentukan akan membeli barulah mereka melayani dengan baik. Aku dilayani dengan baik bukan karena aku mau membeli atau tidak melainkan karena penampilanku. Andaikan aku datang dengan mengendarai mobil merk mahal dan berpakaian bagus pasti akan dilayani seperti orang lain. Ketika aku ceritakan hal ini pada temanku, dia bilang memang hal itu sering terjadi bahwa orang dinilai dari apa yang menempel di tubuhnya. Inilah kekuatan saat ini yaitu kepemilikan. Apa yang menempel di tubuh bukan jati diri dan martabat manusia. Bila pegawai toko yang seharusnya melayani setiap orang yang datang saja sudah membeda-bedakan pembeli bagaimana dengan orang yang mempunyai kekuasaan dan jabatan?

Oleh karena orang ingin dihargai dan diperhitungkan maka dia ingin memiliki banyak materi. Akibatnya orang berlomba untuk mengumpulkan materi sebanyak mungkin agar dia semakin dihargai dan diperhitungkan jati diri atau martabatnya. Orang berlomba untuk mengumpulkan materi sehingga terkadang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya. Orang pun menjadi cemas untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya serta keinginan untuk mendapatkan materi sebanyak mungkin. Padahal apa yang diperebutkan sangat terbatas, sehingga orang menjadi berebut untuk memperolehnya. Hal ini menekan hati banyak orang, sehingga banyak orang menjadi mudah marah. Tidak mampu lagi ramah terhadap sesamanya bahkan orang mudah curiga pada sesamanya, sebab kuatir orang itu akan menjadi saingannya dalam memperoleh materi atau mengambil apa yang dimilikinya.

Yesus bukan orang yang membenci atau menolak uang atau kekayaan, sebab Dia mempunyai uang dan diikuti oleh perempuan-perempuan kaya. Bila Dia tidak mempunyai uang sama sekali mengapa Yudas diangkat menjadi bendahara? Tapi Yesus tidak ingin dikuasai oleh materi atau jabatan, sebab Dia tahu bahwa keinginan memperoleh harta dapat merusak manusia. Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Luk 12:15). Dia sejak awal sudah menolak kekayaan, jabatan dan kehormatan yang ditawarkan oleh iblis. Dia pun menolak ketika hendak dijadikan raja. Bagi Yesus tujuan hidupNya adalah untuk sesama. Bukan untuk menumpuk prestasi atau kekayaan. Bila orang mengejar kekayaan dan aneka prestasi maka dia akan menjadi egois dan sulit untuk melayani. Yesus datang ke dunia untuk melayani, maka Dia melepaskan semua itu. Dia tidak ingin terjebak untuk menikmati segala popularitas, kekayaan, status sosial, jabatan dan sebagainya. Bagi Yesus hal yang sangat penting adalah melayani manusia terutama yang miskin dan menderita. Kekayaan dan sebagainya dapat menghalangiNya untuk menjadi pelayan manusia.

Yesus menjadi terkenal bukan karena Dia kaya atau memiliki status terhormat, gelar yang hebat dan sebagainya. Dia menjadi terkenal sebab Dia melayani sesama. Dia mampu mewujudkan kasih secara nyata dan dapat dirasakan oleh banyak orang. Maka Dia pun berpesan kepada para muridNya untuk melakukan kasih secara nyata bukan mengumpulkan kekayaan atau aneka gelar. Inilah hukum yang utama dan terutama. Hukum yang menjadi inti dan dasar semua hukum. Kasih yang diajarkan oleh Yesus adalah kasih yang tulus dan sampai mengurbankan diri. Bila orang melakukan kasih yang tulus bagi sesama maka dia akan dihormati oleh Allah meski mungkin tidak dihormati oleh sesama. Kasih yang tulus mampu membangun persaudaraan diantara manusia. Orang yang hidup penuh kasih dia akan bahagia bila sesamanya berbahagia. Maka dia akan rela berbagi dengan sesamanya. Dia tidak digelisahkan oleh sesama yang ingin memiliki banyak hal. Dia akan berlaku ramah dan sopan terhadap setiap orang. Dia sadar bahwa yang penting adalah bukan apa yang dimilikinya melainkan sesamanya.

Penduduk di Klepu yang jauh dari gebyar kota besar masih belum terjangkit keinginan untuk menumpuk materi, sehingga mereka dapat hidup dengan tentram. Mereka melihat sesama bukan pesaing yang akan merampas apa yang dimilikinya melainkan sebagai manusia yang bermartabat sehingga patut dihormati. Mereka masih senang berbagi, sebab tidak berusaha mempertahankan apa yang dimilikinya. Mereka dapat ramah kepada setiap orang sebab baginya persaudaraan jauh lebih berharga daripada segala kepemilikan yang dimilikinya. Semoga saja apa yang nilai-nilai yang indah di Klepu tidak tergerus oleh arus pemikiran yang muncul di kota besar.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks