Kamis, 17 April 2008

ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI

Adikku telpon. Nadanya datar tapi isi kalimatnya menunjukkan kekesalan hati. Dia cerita baru saja menerima berkat dari Tuhan. Dia menawarkan apakah aku mau menerima berkat itu. Di perumahan tempatnya tinggal ada seorang pemuda yang tidak jelas asal usulnya. Badannya kurus kering.

Tinggal kulit membalut tulang, sehingga semua persendian tampak sebagai benjolan-benjolan besar. Mirip foto orang kelaparan yang banyak tersebar di berbagai media. Pemuda ini sakit parah. Dia muntah darah dan sudah tidak mampu bangun lagi. Tampaknya umurnya tidak akan lama lagi. Orang yang menemukan tahu bahwa pemuda ini adalah seorang Katolik, maka dia membawanya ke rumah adikku. Maka adikku berinisiatif untuk melaporkan ke tokoh iman di paroki, sebab yakin bahwa pemuda ini membutuhkan pengobatan segera.

Adikku menceritakan masalahnya pada tokoh tersebut. Pertanyaan yang muncul pertama kali dari dia adalah apakah pemuda ini Katolik atau bukan? Mendengar pertanyaan itu adikku menjadi jengkel sekali. Bukankah pemuda ini sudah akan meninggal dunia, tapi mengapa masih dipertanyakan soal agamanya? Dalam kekecewaan adikku menyarankan agar tokoh itu sebaiknya menyobek Injil yang bercerita tentang orang Samaria yang baik hati. Bila perikop itu tidak ada maka pertanyaannya menjadi relevan. Mendengar omelan adikku akhirnya sang tokoh menyarankan agar pemuda itu dibawa ke rumah sakit dan Gereja akan menanggung sebagian biayanya. Adikku membawa pemuda itu ke sebuah rumah sakit swasta. Ternyata pemuda ini terkena pneumonia. Lebih parah lagi dia terjangkit HIV positif. Rumah sakit swasta mengirimnya ke rumah sakit umum. Adikku melaporkan kepada sang tokoh bahwa pemuda itu terkena AIDS. Mendengar itu tokoh itu memberikan banyak aturan dan penjelasan yang intinya bahwa gereja kekurangan dana. Artinya dia tidak mau terlibat dalam pengobatan pemuda ini. Adikku lalu mengumpulkan teman-temannya untuk urunan. Sedikit uang yang ada dijadikan modal untuk membayar biaya perawatan rumah sakit.

Oleh karena biaya rumah sakit cukup banyak sedang bantuan tidak ada, maka adikku bertanya apakah aku mau membantunya? Siapa lagi yang akan membantunya kalau bukan aku? Katanya berusaha memelas agar aku mau membantunya. Mendengar semuanya aku menjadi tersenyum. Aku katakan inilah hidup yang sering kali tidak berjalan sesuai dengan ajaran Injil. Injil memang enak untuk dikotbahkan tapi berat untuk dilaksanakan. Kebetulan bacaan Injil minggu itu diambil dari perikop tentang orang Samaria yang baik hati. Aku bayangkan bagaimana tokoh itu akan merenungkan Injil? Beranikah dia mengajarkan cinta kasih dan kepedulian pada sesama yang menderita seperti orang Samaria yang rela menolong tanpa mempedulikan siapa orang yang ditolongnya? Mungkin dia mempersiapkan sebuah renungan bagus yang akan mendapatkan decak kagum banyak orang yang mendengar, namun apakah dia tidak malu dengan diri sendiri? Aku tersenyum geli membayangkan semua itu.

Pemuda itu adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya tidak jelas siapa. Dia hidup dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain. Akhirnya menjadi anak jalanan yang hidup dari mengamen di perempatan jalan. Kemana dia harus minta tolong pada saat genting hidupnya? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap dirinya? Aku mengatakan pada adikku mengapa dia ribut padahal baru merawat satu sedangkan aku sudah sekian tahun dengan sejumlah anak jalanan. Namun adikku berkilah bahwa anak jalanan yang ada bersamaku tidak satu pun yang AIDS. Aku bersyukur selama mengadakan pertemanan dengan anak jalanan tidak pernah menemui mereka yang terinfeksi HIV meski kehidupan mereka sangat memungkinan terjangkit HIV. Akhirnya aku menyarankan pada adikku untuk mencari orang Samaria lain.

Saat ini memang sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Dalam kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37), Yesus menceritakan bahwa pada saat itu ada imam dan orang Lewi yang melihat orang yang dirampok namun mereka melaluinya lewat seberang jalan. Imam dan orang Lewi adalah petugas di Bait Allah. Mungkin mereka menduga bahwa orang yang tergeletak di tepi jalan itu sudah mati. Bila mereka menyentuh orang mati, maka akan najis selama 7 hari (Bil 19:11-13). Mereka tidak mau mengambil resiko yang menyebabkannya najis sehingga tidak dapat masuk dalam bait Allah. Orang Samaria tidak terikat oleh aturan najis dan haram orang Israel, maka dia berani menyentuh dan merawat orang yang sudah sekarat itu.

Banyak orang enggan menolong orang lain sebab takut dengan resiko yang terkait dengan tindakannya. Bila orang menolong maka dia akan kehilangan entah harta, tenaga, waktu dan sebagainya. Banyak orang enggan kehilangan apa yang dimilikinya maka mereka tidak peduli pada orang yang menderita. Ada pula orang menjadi enggan menolong sesama sebab perbuatannya dipandang tidak baik oleh orang lain. Orang membantu sesamanya dikatakan ingin menjadikan orang lain beriman sama, dikatakan sok suci dan sebagainya. Belum lagi bila yang ditolong tidak berterima kasih bahkan sebaliknya menjadi pengkhianat. Orang ingin hidup aman. Tidak mau ambil resiko.

Orang Samaria adalah orang yang berani mengambil resiko. Dia sedang dalam perjalanan ke luar kota. Mungkin dia sedang dalam perjalanan bisnis. Namun dia berani meninggalkan segala kepentingan dirinya demi orang lain. Segala perhatiannya hanya terarah pada keselamatan orang yang sedang menderita. Maka dia berani merawat, menaikkan ke keledainya, membawanya ke rumah penginapan, memberi ongkos pada pemilik rumah penginapan dan berjanji akan melunasi bila uang yang dititipkanya ternyata kurang ketika dia kembali. Orang Samaria berani mengurbankan waktunya, uangnya, bahkan mungkin keselamatannya sebab ada kemungkinan para perampok itu akan datang lagi dan merampoknya.

Pada jaman ini sangat dibutuhkan orang yang berani mengurbankan segalanya demi orang lain. Pengurbanan yang terbesar adalah pemberian dirinya. Orang Samaria itu merawat orang yang menderita. Dia terlibat dalam penderitaan orang. Dia berempati. Banyak orang hanya memiliki simpati. Seorang presiden meneteskan air mata ketika mendengar kisah sedih para kurban lumpur. Dia berjanji akan datang ke tempat kurban. Ternyata ketika datang dia hanya melihat dari atas helikopter yang berkeliling di daerah kurban dan menyatakan aneka janji. Padahal dia tahu masalah ada dalam keputusan yang dibuatnya dan memiliki kekuatan hukum. Presiden itu hanya bersimpati tapi tidak memiliki empati. Orang yang berempati pada sesamanya yang menderita bukan hanya melihat dari jauh atau berkotbah mengenai kasih. Namun dia harus terlibat. Merawat orang yang menderita, menyentuh dan disentuh serta mengusahakan keselamatannya.

Yesus datang ke dunia untuk mengajarkan empati Allah akan penderitaan manusia. Dia tidak menangis dari surga sambil mendengarkan atau melihat penderitaan manusia. Dia datang dan terlibat dalam penderitaan manusia bahkan Dia memberikan diriNya untuk keselamatan manusia. Rasa inilah yang saat ini sudah menipis. Orang sudah merasa puas bila mampu berkotbah tentang kasih, memberikan harapan pada orang yang menderita dan menampakkan wajah sedih bila melihat orang menderita. Maka saat ini sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Orang yang berani menanggung resiko demi keselamatan orang lain. Orang yang menomor duakan kepentinganya sendiri demi nyawa seseorang. Orang yang berani dengan tangannya sendiri menyentuh dan merawat orang yang sangat menderita.

Pemuda yang terinfeksi HIV saat ini sudah keluar dari RSU, maka adikku bertanya dia harus tinggal dimana? Tidak ada satu tempatpun yang bersedia menampungnya. Aku katakan sebaiknya dikontrakkan rumah saja. Sekali lagi adikku menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kami saling tersenyum. Aku katakan bukankah mendiang ibu kita sudah mengajarkan untuk berani memberi meski hanya memiliki sedikit bahkan sampai kita sendiri menjadi kekurangan? Aku sarankan agar dia berserah pada Tuhan. Pemuda itu adalah utusan Tuhan bahkan mungkin Tuhan sendiri yang datang padanya untuk meminta apa yang sudah diberikanNya selama ini. Kita sering bersyukur atas segala anugerah Tuhan. Dengan demikian semua yang kita miliki adalah milik Tuhan yang dititipankan pada kita. Sekarang Tuhan datang dan meminta mengapa kita tidak memberikannya? Ada saatnya Tuhan memberi namun ada saatnya Tuhan meminta kembali. Dia datang kepada kita tanpa kita duga dan dalam wujud orang yang miskin dan menderita. Inilah saat Tuhan datang, maka inilah anugerah besar yang kita terima. Adikku bertanya sekali lagi apakah aku mau menerima sebagian anugerah Tuhan? Aku hanya tersenyum.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks