Sabtu, 02 April 2011

BELAJAR DARI HEWAN: PENYU SANG PEMBERANI

0 komentar


Penyu adalah salah satu hewan vertebrata yang masih tergolong reptil, sebab dia tidak sepenuhnya hidup di laut, meski menghabiskan hampir sepanjang hidupnya di lautan. Dia bernafas dengan paru-paru dan sebagian besar adalah pemakan tumbuhan, tapi ada juga yang carnivora atau omnivora. Penyu sudah hidup sejak jaman Jura (140-208 juta tahun lalu) atau sejaman dengan dinosaurus, meski mengalami perubahan bentuk. Penyu betina suatu saat akan turun ke pantai untuk bertelur. Setelah itu dia kembali ke laut dan membiarkan telurnya tertimbun pasir sampai menetas menjadi tukik. Seekor penyu betina akan menghasilkan 60-150 butir telur dalam sekali bertelur. Setelah dua bulan telur itu akan menetas. Tapi sebagian besar telur itu tidak sampai menetas, sebab dimakan oleh hewan predator seperti kepiting, biawak, burung dan sebagainya. Kalau toh sampai menetas diperkirakan hanya 11 tukik yang mampu mencapai laut dan memulai kehidupannya di laut. Maksimal hanya 50% tukik yang bertahan hidup.

Dengan demikian sejak lahir tukik tidak pernah mengetahui orang tuanya. Dia harus hidup dan berjuang sendiri. Menjelajahi lautan yang luas dan bergelora dengan aneka jenis hewan yang setiap saat dapat memangsanya. Penyu dikenal sebagai hewan yang tidak menetap di suatu tempat. Dia dapat mengarungi lautan yang luas. Bahkan ada pendapat bahwa penyu dapat berenang sejauh 3000 km dalam waktu 58-73 hari. Penyu yang menetas di Jawa dapat ditemukan di perairan Haiti dan sebagainya.

Hidup kita sering seperti tukik yang harus bergerak perlahan menuju samudra luas. Kita kecil, lemah dan tidak berdaya sedang dihadapan kita ada samudra yang dalam dan luas dimana ada banyak binatang yang siap memangsa kita. Hal ini kerap membuat kita takut dan cemas akan kehidupan kita kelak. Persaingan dalam sekolah dan mendapat pekerjaan membuat kita sering mengalami frustasi. Kita dapat belajar dari tukik yang berani untuk bertahan hidup meski banyak dari mereka yang mati sebelum mencapai ke laut. Tapi dia tidak terus bersembunyi dalam cangkangnya yang merupakan rumah yang aman. Dia berani keluar, berjalan perlahan dan berenang di dalam samudra.

Kita sering merasakan bahwa diri kita mempunyai banyak kelemahan. Kemiskinan, tidak cerdas, tidak mempunyai banyak talenta dan sebagainya. Kesadaran ini membuat kita sering enggan untuk maju. Seorang anak ketika melihat temannya mendapat hadiah karena menjadi juara menggambar, dia mengatakan tentu saja anak itu bisa berprestasi sebab orang tuanya mendukung dan memberi fasilitas. Sedangkan dia tidak mempunyai sarana sebagus yang dimiliki temannya. Ini salah satu kelemahan yang membuat orang tidak bisa maju. Dia hanya mengeluh akan situasi dirinya dan bermimpi seandainya dia memiliki hal seperti orang lain. Masih banyak keluhan-keluhan tentang keterbatasan yang membuat orang tidak dapat maju.

Thomas Alva Edison (11 Februari 1847 – 18 Oktober 1931) pada saat duduk di bangku sekolah dasar dia dikeluarkan oleh gurunya, sebab dianggap bodoh dan sedikit tuli. Tapi Nancy Edison, ibunya tidak putus asa. Dia mendidik anaknya sehingga Thomas menjadi penemu pengusaha yang mengembangkan banyak peralatan penting. Untuk dapat maju orang hendaknya mempunyai visi hidup dan berani mulai aksi. Sering orang hanya terjebak dalam mimpi tapi tidak melakukan aksi, sebab takut gagal. Maka kita harus memiliki keberanian untuk memulai sebuah perbuatan. Dalam menciptakan lampu, Thomas A Edison melakukan seribu percobaan. Dia tidak putus asa dan terus mencoba sampai berhasil. Seorang yang kubantu dana untuk berjualan dalam waktu dua bulan dia sudah tidak berjualan lagi dengan alasan ada banyak saingan. Orang seperti ini tidak akan maju, sebab tidak mempunyai mental yang kuat dalam menghadapi masalah. Bila dia tahu orang lain dapat maju maka dia seharusnya belajar dari orang lain dan berani menerima kelemahan untuk diubahnya bukan hanya berlindung dibalik kelemahannya untuk tidak bergerak. Selain itu untuk maju kita perlu mendapat dukungan dari sesama. Maka kita perlu saling membantu dan mendukung. Bila tukik yang lemah saja akhirnya dapat hidup di lautan luas mengapa kita tidak?

silakan baca selanjutnya "BELAJAR DARI HEWAN: PENYU SANG PEMBERANI" ...

Minggu, 20 September 2009

PAK TOMO (PERJUANGAN TANPA HENTI)

0 komentar

Pak Tomo hanyalah seorang lelaki tua dengan tubuh yang kurus. Badannya hitam terbakar matahari. Rambutnya sudah putih semua. Kalau bicara sudah susah dan pendengarannya sudah mulai agak berkurang. Tapi aku sangat kagum dengannya. Pak Tomo tinggal di desa Ngroto. Suatu desa kecil di lereng gunung Lawu, sekitar 38 km dari kota Ngawi. Desa yang sangat terpencil. Untuk mencapai desa Ngroto, kita harus berjalan mendaki melalui jalan berbatu sambil menikmati suara air yang gemericik, bajang keret yang bernyanyi, desir angin di sela daun bambu dan kesejukan udara pegunungan. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang semakin lama semakin kabur dan membaur dengan awan biru.

Desa Ngroto hanyalah desa biasa. Kelebihan desa ini karena di situ tinggal Pak Tomo. Lelaki tua ini mempersilahkan aku untuk masuk dalam rumahnya. Sebuah rumah batu dengan banyak ruang. Sebagian ruangan masih belum diberi atap. Sebagian lagi masih separo jadi. Namun yang membuatku kagum adalah rumah itu dibangun hanya dari balok balok batu. Mirip candi pada jaman dulu. Tidak ada kayu dan semen. Pak Tomo hanya menyusun balok balok batu saja.

Pak Tomo dengan bangga mengajakku memasuki ruang demi ruang. Dia bercerita bahwa rumah ini dia bangun sendiri selama 40 tahun. Gila pikirku. Membangun rumah batu sendirian tanpa alat alat yang berarti. Dulu disini banyak sekali batu hitam yang besar besar. Kisah Pak Tomo sambil menunjukan halamannya yang penuh dengan pepohonan. Lalu dia mulai memotong motong batu itu menjadi balok balok dan mulailah pembangunan rumah dimulai. Bekas galian batu dia tanami dengan cengkeh, kopi, jambu, apokat, durian, dan berbagai macam pohon lain. Lama lama kebunnya yang semula penuh dengan batu menjadi kebun buah buahan dan batu itu dia susun menjadi rumah yang sangat besar dan unik.


Aku hanya menggeleng gelengkan kepala melihat hasil karyanya. Bayangkan selama 40 tahun dia sendirian membangun rumah itu. Dia mengatakan bahwa kenekatannya membangun rumah batu ini telah meminta kurban. Istrinya meninggalkan dia, sebab dia tidak memahami ide gilanya. Banyak orang juga mencemooh karyanya yang dianggap gila. Tapi Pak Tomo tetap nekat. Dia terus memotong batu batu dan menyusunnya. Kapan bapak akan mengakhiri pembangunan ini? tanyaku. Dia mengatakan jika dia sudah mati, maka pembangunan rumah itu juga akan selesai. Apakah bapak tidak takut rumah ini roboh? tanyaku lagi. Pak Tomo hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini akan musnah, termasuk rumahnya ini. Tapi beberapa kali gempa bumi, tidak bisa merobohkan rumahnya.

Dalam diri Pak Tomo aku melihat sebuah semangat yang menyala nyala dan tidak terpadamkan. Suatu perjuangan panjang. Selama 40 tahun dia sendirian mengubah lahannya yang semula tidak bisa ditanami menjadi sebuah kebun buah. Dia mampu sendirian membangun rumah dari batu. Perjuangan panjang yang disertai hujatan. Dia hanya bersandar pada alam dan Tuhannya.

Sambil mengendarai mobil sendirian menuju Surabaya, pikiranku penuh dengan kekaguman pada Pak Tomo. Ya, aku mengagumi keteguhannya pada pilihan hidupnya. Pada keputusannya yang berusaha untuk terus membangun sampai kematian yang akan menghentikannya.

Saat ini aku sedang bimbang dengan aktifitasku di komunitas kaum marginal. Beberapa persoalan yang tidak terpecahkan membuatku berpikir untuk membubarkan apa yang telah dimulai bersama teman teman. Dalam syer terakhir bersama teman teman, aku mengatakan pada mereka bahwa aku membangun komunitas ini seperti membangun rumah di atas pasir. Aku ternyata belum siap untuk lebih serius dalam aktifitas ini. Aku gamang dengan keputusanku, bahkan menyesal mengapa aku dulu tergesa gesa mengumpulkan teman teman untuk bergabung dalam aktifitas ini. Mengapa aku tidak membangun dasar lebih kuat baru mengajak teman teman?

Perkataan Pak Tomo seolah perkataan guru yang membuka mataku untuk tetap berjalan dalam keputusanku, meski banyak orang tidak memahami dan mencaci maki. Meski yang dibuat tidak pernah akan selesai sampai kematian mendatang. Meski rumah itu tetap kosong dan kebun buahnya tidak mampu menghidupinya dengan layak. Apakah sikap Pak Tomo suatu kebodohan? Apakah yang dilakukannya bukan suatu kesia siaan belaka? Apakah Pak Tomo seorang yang gila? Atau dia orang frustasi? Tidak. Bagiku dia orang yang patut dihargai. Dia bukan orang yang bodoh, sebab mampu mendesain rumah sedemikian unik. Meski tidak berpendidikan formal, dia mampu menyusun batu sedemikian tinggi dan tidak roboh karena gempa bumi. Dia adalah orang yang setia dengan apa yang telah dimulai. Dia adalah orang yang berjalan tanpa henti. Dia adalah pekerja yang bekerja bukan untuk kesombongan dan pujian.Dia membangun rumah besar untuk masa depan jika ada orang yang membutuhkannya.

Permenunganku lebih jauh membawaku pada Sang Guru sejati. Yesus juga seorang yang nekat. Dia beberapa kali jengkel dengan murid muridNya yang tetap tidak mampu memahami karya keselamatan yang dibawaNya. Dia senantiasa diintip oleh para musuh musuhNya untuk dihabisi. Dia dianggap gila oleh keluarganya. Dia dikhianati oleh muridNya. Dia ditinggalkan oleh orang orang terdekatNya. Namun Dia tetap berjalan menyeleseikan tugasNya. Apakah segala belenggu hilang dengan kehadiranNya? Tidak. Masih banyak orang yang terbelenggu oleh dosa. Dia sendiri bersabda bahwa orang miskin akan masih tetap ada. Lalu buat apa Dia datang? Akankah karyaNya sia sia? Mungkin beberapa muridNya dulu juga merasakan bahwa karya Sang Guru akan sia sia. Berakhir! Tapi ternyata sampai 2000 tahun karya Yesus masih terus berlangsung. Aku yakin bahwa rumah Pak Tomo tidak akan pernah selesai. Apakah akan sia sia? Aku yakin suatu saat pasti akan ada orang yang meneruskannya dan rumahnya akan menjadi bahan pembicaraan orang.

Pak Tomo bukan seorang Kristen. Dia juga mungkin tidak mengenal siapa Yesus itu. Namun sikap hidupnya tidak jauh dari Yesus, yang pantang menyerah. Sikap yang terus berusaha dan bekerja dalam kesendirian dan kesepian. Kerja yang tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, hanya cukup untuk kerja itu sendiri. Dia ingin meninggalkan rumah ini untuk banyak orang, bahkan dia menawarkan agar aku menggunakan ruang atas rumahnya untuk gereja. 40 tahun Pak Tomo bekerja keras memotong batu, menyusunnya, mengangkatnya sehingga terbentuk rumah di tengah kebun buah yang subur. Ah seandainya aku bisa nekat seperti dia.

silakan baca selanjutnya "PAK TOMO (PERJUANGAN TANPA HENTI)" ...

SETAHUN LUMPUR LAPINDO

0 komentar


Sudah setahun lebih lumpur panas yang menyembur dari galian tambang minyak di desa Renokenongo belum surut. Semburan itu bermula pada hari Senin, 29 Mei 2006 di desa Renokenongo. Sekarang semburan lumpur itu sudah menenggelamkan 4 desa yaitu desa Renokenongo, Kedungbendo, Siring dan Jatirejo serta satu perumahan yaitu perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 atau TAS 1. Semburan lumpur panas ini bermula dari usaha PT Lapindo Brantas Inc, anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, yang akan mengadakan eksplorasi minyak dan gas bumi di lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 yang terletak di desa Renokenongo. Namun karena ada “kesalahan” dalam cara pengeboran maka terjadi semburan lumpur panas yang sampai saat ini belum bisa dikendalikan.

Pada awalnya memang PT Lapindo Brantas Inc tidak mengakui kesalahan itu, bahkan mereka menyalahkan gempa yang terjadi di Jogjakarta dua hari sebelum terjadinya semburan. Menurut mereka gempa yang terjadi di Jogjakarta dengan kekuatan 5,9 skala Richter menyebabkan adanya lempengan bumi yang putus sehingga menyebabkan semburan lumpur. Namun beberapa ahli mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, sebab jarak Jogjakarta dan Porong cukup jauh, sekitar 259 km, sehingga getaran gempa yang cukup kuat dan merusak tidak akan mencapai Porong. Menurut dokumen rapat PT Lapindo Brantas Inc pada 18 Mei 2006 ditulis bahwa PT Medco Energi sebagai pemegang 32 % saham Lapindo telah mengingatkan agar memasang selubung pengaman, sebab pihak Lapindo hanya memasang selubung pengaman hanya sampai kedalaman 3580 kaki, padahal pengeboran sudah mencapai 9297 kaki. Kesalahan ini mengakibatkan terjadinya ledakan akibat pecahnya sumur pengeboran, sehingga lumpur menyembur keluar dengan ketinggian 40 m dengan jarak 150 m dari pusat pengeboran pada tanggal 29 Mei 2006.

Dengan demikian PT Lapindo telah melakukan kesalahan fatal dalam pengeboran. Namun hal ini pun dapat dipertanyakan apakah ini sebuah kesalahan perhitungan manusiawi atau kesengajaan? Beberapa media mengatakan ini kesalahan perhitungan, sehingga beberapa orang yang bertanggung jawab diajukan ke pengadilan meski sampai saat ini kasusnya tidak jelas apakah sudah diputuskan bersalah atau tidak. Namun bila dilihat dari dokumen pertemuan pada tanggal 18 Mei 2006 nampak bahwa luapan lumpur adalah sebuah kesengajaan. Pertanyaan berikut adalah mengapa ada kesengajaan? Hal ini kemungkinan terkait dengan pembebasan tanah. Sering terjadi pembebasan tanah menjadi soal yang sulit dan berkepanjangan sehingga menghabiskan dana dan waktu. Dengan adanya lumpur maka mau tidak mau penduduk menyerahkan tanahnya kepada PT Lapindo Brantas.

Sebetulnya kehadiran PT Lapindo di Porong sudah mendapat penolakan sejak awal mula. Seorang tokoh desa Jatirejo menceritakan bahwa semula PT Lapindo hendak mengadakan pengeboran di desa Jatirejo. Namun ditolak sebab mereka kuatir akan dampak negatif akibat pengeboran itu. PT Lapindo akhirnya membeli tanah di desa Renokenongo yang berbatasan dengan desa Jatirejo. Mengapa lurah Renokenongo mengijinkan? Apakah dia tidak tahu bahwa tanah itu akan menjadi ladang minyak? Seorang penduduk Renokenongo mengatakan bahwa pada awalnya mereka mengira tanah itu akan dijadikan lahan peternakan, sebab berita itulah yang tersebar. Maka mereka tidak curiga ketika banyak alat berat datang. Mereka sadar bahwa berita itu bohong ketika lumpur sudah menyembur. Dengan demikian tampaknya ada kesengajaan dari pihak PT Lapindo untuk menutupi usahanya agar dapat diterima oleh rakyat. Mengapa harus ditutupi?

Semburan lumpur panas itu menyebabkan ribuan orang mengungsi. Mereka kehilangan, rumah, harta benda dan kehidupannya. Pada umumnya penduduk 4 desa adalah petani dan penggarap sawah. Kini sawah mereka telah tenggelam oleh lumpur, maka mereka kehilangan penghidupannya. Mereka menjadi penggangguran. Sebagian orang yang bukan petani biasanya mempunyai usaha kecil seperti warung, toko dan usaha-usaha kecil lain. Dengan meluapnya lumpur maka mereka terpaksa menutup semua usaha mereka. Memang mereka dapat membangun kembali usahanya di tempat lain namun hal itu tidak mudah. Mereka semua harus memulai kehidupannya dari titik nol kembali.

PT Lapindo memang telah berusaha mengganti kerugian yang diderita oleh penduduk. Namun ganti rugi hanya dihitung dari luas tanah, bangunan dan sawah. Mereka tidak menghitung kerugian akibat hilangnya matapencaharian penduduk. Ganti rugi tanah, bangunan dan sawahpun masih banyak sekedar janji dan aneka alasan yang menjadi batasan yang sangat memberatkan penduduk. Boleh dikatakan sampai saat ini bahwa Lapindo belum memberi ganti rugi yang sepadan kepada penduduk. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat ternyata kurang berpihak pada kurban. Pemerintah mengeluarkan Perpres 13 tahun 2006 yang dikeluarkan tanggal 8 September 2006 mengenai pembentukan Timnas dengan tugas penutupan semburan lumpur; b. penanganan luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial. Namun setelah berjalan berbulan-bulan ternyata tugas itu tidak dapat berjalan dengan baik. Lumpur tetap menyembur dengan besar dan kurban tetap dalam kekurangan. Tampaknya pemerintah yang sudah dikuasai oleh pengusaha kurang berpihak pada kurban. Pemerintah pun mengeluarkan Perpres 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang didanai oleh APBN (pasal 14). Namun Perpres ini pun sangat merugikan kurban terutama pasal 15 dan sangat menguntungkan PT Lapindo. Kurban dapat ganti rugi tanah dan rumah seluas yang disahkan oleh akta pemerintah. Padahal banyak warga yang tanahnya belum memiliki sertifikat. Rumah mereka pun luasnya banyak yang tidak sesuai dengan IMB yang disahkan oleh pemerintah. Dengan demikian rakyat dirugikan. Selain itu pembayaran dicicil sebesar 20% dan sisanya akan dilunasi selama 2 tahun. Apakah 20% cukup untuk membuat rumah baru atau memulai usaha baru yang dapat menghidupi selama 2 tahun? Selain itu banyak keluarga yang hidup bersama di sebuah rumah, sebab mereka masih sanak saudara. Bila ganti rugi rumah hanya 20% maka dibagi beberapa keluarga. Maka setiap orang akan mendapat ganti rugi yang sangat kecil. Janji pembayaran uang muka 20% itupun sampai saat ini masih beberapa penduduk yang mendapatkannya. Selain itu tanah yang akan mendapat ganti rugi dari pihak PT Lapindo hanya tanah dan rumah yang tenggelam lumpur sampai 22 Maret 2007. Bila terjadi kurban baru setelah tanggal 22 Maret 2007 maka bukan tanggung jawab PT Lapindo melainkan akan dibebankan pada APBN. Hal ini sangat menguntungkan PT Lapindo. Perpres ini membantu PT Lapindo sehingga segala kerusakan infrastruktur akan dibebankan pada APBN. Dari sini dapat dilihat bahwa pemerintahpun tidak berkuasa menghadapi sebuah perusahaan atau pemilik modal, sehingga pemerintah mau menjadi kurban para pemilik modal dan tidak berpihak pada rakyat yang menjadi kurban para pemilik modal.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Jadi, unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari:
1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesalahan;
3. Mengakibatkan kerugian; dan
4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian.

Dari pasal ini jelaslah seharusnya PT Lapindo membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya yang ceroboh. Tidak perlu ada pengecualian dan aneka alasan yang berbelit misalnya verifikasi akta tanah dan bangunan dan sebagainya. PT Lapindo telah menimbulkan kerugian bagi warga 4 desa, maka wajib membayar ganti rugi atau membersihkan lumpur dari keempat desa tersebut sehingga semua warga dapat kembali ke desanya masing-masing. Namun pasal ini diabaikan dengan aneka alasan. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat tampaknya dapat dikendalikan oleh para pemilik modal. Bahkan presidenpun tampaknya tidak peka. Dia tetap mendudukan Aburizal Bakrie, sebagai pemilik PT Energi Mega Persada Tbk, induk PT Lapindo Brantas Inc, sebagai menteri. Bagaimana orang yang telah menyensarakan ribuan rakyat masih dapat duduk sebagai menteri Kesejahteraan Rakyat. Kesejahteraan apa yang ditawarkan dan dilakukan oleh menteri Abu Rizal Bakrie?

Kasus Lapindo menunjukkan bahwa faham neoliberalisme sudah mengakar di bumi Indonesia. Neoliberalisme adalah faham dimana kekuatan modal diatas segalanya. Bila dulu kekuatan negara terletak di tangan birokrat dan militer, namun dalam neoliberalisme kekuatan negara terletak ditangan para ekonom dan pemilik modal. Birokrat dan militer hanya pendukung dari kekuatan pemilik modal. Hal ini tampak jelas dari keputusan presiden yang tampak dikendalikan oleh PT Lapindo. Bila demikian apakah rakyat akan mendapat ganti rugi yang sepadan? Itu hanya terjadi dalam impian.

silakan baca selanjutnya "SETAHUN LUMPUR LAPINDO" ...

SENYUM

0 komentar

Seorang ibu muda dengan anaknya yang masih balita duduk tidak jauh dari tempatku. Anaknya perempuan dan sangat cerewet sehingga banyak hal dikomentari dengan keluguan seorang anak kecil. Seorang pramugari yang lewat sempat berhenti dan tersipu-sipu ketika anak itu mengatakan pada ibunya tante itu canti. Orang sekitar tempat duduk mereka sangat gemes melihat kelucuan anak perempuan itu. Aku pun tersenyum-senyum mendengar anak itu mempertanyakan aneka hal. Mulai dari pesawat mengapa bisa terbang sampai bagaimana kalau mau pipis nanti.

Tidak berapa lama kemudian pesawat mulai bergerak dan meninggalkan landasan pacu. Anak itu masih bernyanyi gembira. Ketika pesawat semakin tinggi, tiba-tiba anak itu menangis dan ingin turun sebab telinganya sakit. Suara tangis anak itu membuat beberapa orang menjadi gelisah. Beberapa orang memandang ibu itu dengan tatapan kurang senang. Beberapa pramugari berusaha menghibur dengan memberi permen dan kue tapi anak itu tetap menangis minta turun. Ibu itu menjadi gelisah. Dia sungkan dengan penumpang yang lain. Aku pun menjadi gelisah, sebab merasa terganggu dengan suara tangisan anak itu yang cukup keras.

Aku mencoba membaca novel yang kubawa. Tapi tidak ada satupun kalimat yang kupahami sebab konsentrasiku terganggu oleh suara tangisan anak itu. Ibu itu sudah berusaha menenangkan anaknya tapi tidak berhasil. Semakin lama orang semakin gelisah. Beberapa orang terlibat untuk menenangkan, tapi tidak berhasil.

Sambil menatap awan putih di sekitarku aku mulai bertanya, mengapa aku gelisah? Aku yakin kekerasan suara tangis anak itu tidak jauh berbeda dengan suara tawanya. Mengapa ketika anak itu menyanyi dan tertawa aku tidak gelisah, sedangkan sekarang aku gelisah? Mengapa aku jadi terganggu oleh suara yang sebetulnya sejak sebelum pesawat berangkat tadi sudah memenuhi sebagian ruang pesawat? Saat anak itu bertanya dan bernyanyi aku sangat gemes melihatnya, namun ketika anak ini menangis aku menjadi jengkel. Apakah yang beda dengan anak itu? Anak itu tetap sama, hanya suasana hatinya yang berbeda.

Maka persoalan bukanlah kekerasan suara anak itu melainkan suasana yang dibangunnya. Kegembiraan dan kesedihan. Kegembiraan anak itu mampu menebarkan kegembiraan pada orang sekitarnya. Demikian pula kesedihannya. Orang tidak suka dengan suasana sedih. Mungkin di dalam hatinya yang terdalam juga ada rasa sedih yang ingin dilupakan atau dipendam sehingga ketika ada suara tangis, kepedihan yang berusaha dilupakan muncul dan menggelisahkan. Aku bukan seorang psikolog atau yang mempelajari ilmu manusia. Aku hanya tahu tangisan anak itu membuat orang lain gelisah.

Orang membutuhkan kegembiraan. Suasana gembira. Namun suasana kegembiraan rupanya semakin sulit ditemukan. Sejak aku duduk di ruang tunggu bandara sampai duduk di dalam pesawat, aku melihat wajah-wajah yang diam. Tidak ada senyum. Kecuali jika dia mengobrol dengan temannya. Namun orang-orang sendirian sepertiku, semua diam. Mungkin mereka sudah penuh dengan persoalan atau capek atau memang sedang sedih atau ingin tertawa tapi tidak tahu mengapa harus ketawa. Maka ketika anak tadi menawarkan kegembiraan semua orang menjadi ikut tersenyum. Mereka mendapatkan kepenuhan dari sesuatu yang diinginkannya.

Jika semua orang membutuhkan suasana yang gembira, mengapa banyak orang tidak mau menciptakan kegembiraan? Mengapa orang sulit untuk tersenyum kepada sesama? Apakah malu atau menjaga harga diri? Apakah jika mendahului senyum akan dilihat rendah oleh orang lain? Aku rasa tidak. Tapi mengapa semua diam? Mengapa tidak ada yang menciptakan kegembiraan?

Aku melihat suasana muram bukan hanya di ruang umum, tetapi juga di dalam komunitas yang disebut Gereja. Sering kali doa lingkungan, pendalaman iman, misa dan sebagainya penuh dengan keseriusan. Orang tidak boleh ketawa ngakak. Tidak boleh tepuk tangan. Tidak boleh menciptakan kegembiraan. Orang harus serius dan diam. Merenungkan sabda Allah, berdoa atau meditasi. Bahkan anak-anak yang ikut misa atau sakramen lain pun harus diam. Padahal dalam Kisah Para Rasul dikatakan bahwa jemaat yang berkumpul itu gembira. Inilah yang saat ini dihilangkan oleh Gereja. Kita pun diutus mewartakan kabar gembira, namun dalam pewartaan kabar gembira orang menjadi serius. Orang memang bergembira bahwa dirinya sudah diselamatkan, tapi apakah kegembiraan itu tidak bisa diungkapkan? Bagaimana orang akan menjadi pewarta kabar gembira, bila wajahnya selalu suram? Bila tidak ada senyum atau perkataan yang memancing orang gembira? Bagiku ini sama saja dengan seorang berkepala gundul berseru dengan penuh semangat menawarkan obat untuk melebatkan rambut.

Memang ada seorang pemimpin agama yang selalu menangis bila berdoa sehingga orang yang datang pun ikut menangis. Tapi sebelumnya mereka ketawa dan gembira. Mereka menangis sebab menyesali dosanya. Apakah mereka suka dengan suasana duka? Aku tidak yakin. Seorang teman mengatakan mereka menangis sebab pemimpinnya menangis. Aku pikir benar juga. Apakah mereka akan tetap menangis bila pemimpinnya tertawa atau tersenyum?

Aku bayangkan seandainya setiap orang mampu menebarkan kegembiraan pada lingkungannya. Setiap orang mau tersenyum pada sesamanya. Tentu dunia akan indah. Namun orang tidak cukup hanya mengejar kegembiraan lawakan seperti di Srimulat. Orang akan bosan. Kegembiraan terdalam adalah kalau orang sadar bahwa dirinya sudah diselamatkan oleh Allah. Dia yang pendosa diangkat oleh Allah menjadi anakNya. Diperhatikan oleh Allah. Kegembiraan model inilah yang dialami oleh Maria, sehingga dia mengumandangkan kidung kegembiraannya. Lebih dari itu manusia diselamatkan oleh Putra Allah dengan pengorbanan total. Inilah kegembiraan yang terdalam. Kegembiraan yang tidak bisa dirampas oleh siapa saja atau oleh apa saja. Para martir jaman dulu menghadapi kematian dengan tanpa rasa takut. Mereka tetap bernyanyi dengan gembira. Hal ini disebabkan mereka sudah memperoleh kegembiraan yang mendalam. Bukan dari manusia namun dari Tuhan sendiri.

Aku bayangkan seandainya semua orang mau tersenyum antar satu dengan yang lain. Tentu dunia akan indah. Atau mungkin perlu mengadakan perubahan wajah pada gambar Yesus dan orang suci lainnya? Sebab mereka seringkali digambarkan tanpa senyum.

silakan baca selanjutnya "SENYUM" ...
 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks