Jumat, 11 September 2009

SEORANG IBU DI TEPI JALAN


Mataku sudah ingin dipejamkan. Tadi waktu berbaring di atas kasur jualannya Ambon yang dibentangkan di trotoar Jl. Darmo sambil mengobrol dengannya tiba-tiba aku jadi sangat mengantuk. Mungkin karena udara malam yang sejuk membuat tubuh yang capek jadi mudah sekali mengantuk. Aku pamit pada Ambon untuk pulang. Ambon adalah salah satu anak jalanan dari rumah singgah yang berusaha untuk keluar dari lingkaran jalanan dengan membuat kasur dan dipasarkan di trotoar Jl Darmo. Hampir setiap malam aku datang ke tempat jualan untuk melihat perkembangannya.

Setelah berbasa basi sejenak aku meninggalkan Ambon yang masih duduk di trotoar. Masih kudengar suaranya yang parau mengejekku yang tergesa pulang. Aku hanya tersenyum mendengar ejekkan itu. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya. Mataku sudah sangat berat. Aku ingin tidur. Jam di mobil sudah menunjukan pk 11.43. Aku memacu mobil melalui jalan-jalan Surabaya yang mulai sepi. Kulihat ada sebuah warung kecil jualan nasi bebek yang masih buka. Tiba-tiba perutku menjadi lapar. Memang sejak pagi aku belum makan. Sejak bangun pagi sudah ada beberapa hal yang harus kukerjakan sampai malam. Ketika tadi mau makan beberapa teman telpon memintaku untuk datang ke rumah singgah. Sepulang dari rumah singgah aku mampir dulu ke tempat jualan Ambon. Aku parkir mobil dan kumasuki warung. Rasa lapar mengalahkan rasa kantuk.

Kulihat beberapa tukan becak sedang asyik menikmati nasi bebek di piringnya masing-masing. Aku mengambil duduk di sebelah mereka. Sambil menanti pesanan aku memandang ke jalan. Kulihat seorang ibu duduk di tepi jalan tidak jauh dari tempatku duduk. Seorang bayi terbaring dalam pangkuannya beralas sehelai kain yang sudah lusuh dan tidak jelas lagi motifnya. Dia pasti salah satu dari pengemis yang semakin banyak saja di Surabaya. Kadang aku sangat jengkel dengan pengemis-pengemis yang membawa bayi dalam menjalankan profesinya. Kok tega sekali mereka membiarkan anak-anaknya tersengat sinar matahari di siang bolong atau sekarang membiarkan anaknya kedinginan di tengah malam. Tapi anehnya banyak bayi yang digendong itu tidur dengan pulas. Mereka tidak terganggu oleh panasnya matahari atau dinginnya malam. Seorang teman pernah bercerita bahwa bayi-bayi itu sudah diberi obat tidur sehingga tidak pernah merasa terganggu oleh panas matahari atau keributan di sekitarnya. Konon bayi-bayi itu tidak akan dapat tumbuh menjadi anak, sebab mereka akan meninggal dalam usia yang sangat muda akibat over dosis obat tidur.

Ibu itu duduk diam saja. Bayi yang dalam gendongannya tampaknya sudah tertidur pulas. Pesananku sudah datang. Aku menikmati nasi bebek tanpa peduli lagi dengan ibu itu. Tapi aku menjadi tidak tenang. Aku merasa gelisah. Pikiranku terganggu. Aku kuatir melakukan kesalahan yang sama seperti pengalaman di atas kapal fery menuju Bali, dimana aku tega tidak memberi seorang anak pengemis yang kelaparan. Jangan-jangan aku menjadi orang kaya yang tidak peduli pada Lazarus yang miskin seperti perumpamaan yang diberikan oleh Yesus. Dalam perumpamaan itu digambarkan bahwa Lazarus tidak pernah meminta pada orang kaya. Dia hanya diam dan memunguti remah-remah roti yang jatuh dari meja orang kaya. Orang kaya itu juga tidak mengusirnya. Mereka pribadi-pribadi yang diam. Tidak saling mengusik. Namun Allah menghukum orang kaya sebab dia tidak peduli pada Lazarus. Dia dihukum bukan karena dia kaya melainkan karena dia tidak peduli pada orang yang miskin. Dia tidak mempunyai kepekaan akan kediaman Lazarus.

Hatiku gundah dalam perdebatan. Aku ingin menetramkan hati dengan mencari alasan bahwa ibu itu memang pengemis yang jahat, sebab menggunakan anaknya sebagai sarana untuk mencari uang. Ibu itu telah menjual anaknya hanya untuk beberapa ratus rupiah perhari. Dia ibu yang tidak baik sebab tega membunuh anaknya secara perlahan dengan memberinya obat tidur setiap harinya. Aku mencoba mencari alasan untuk menghindari tanggung jawabku sebagai orang Katolik. Aku ingin menikmati nasi bebek lalu pulang dan tidur.

Tapi pengalaman di fery terus terbayang. Selesai makan, aku menghampiri ibu itu. Kusapa dia. Aku mencoba membuka percakapan dengannya. Dia melihatku sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke gelora 10 November yang megah. Kuajukan beberapa pertanyaan yang dijawabnya secara singkat-singkat. Kupikir mungkin dia sudah mengantuk dan tidak ingin diganggu. Kunyalakan sebatang rokok sambil berdiri hendak meninggalkannya. Tiba-tiba ibu itu mengatakan apakah aku mau membelikan dia makanan? Dia lapar dan tidak punya uang. Kutatap dia dalam-dalam. Aku berusaha mencari tanda dalam wajahnya. Apakah dia tidak bohong? Suasana yang temaram mampu menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Aku memesan nasi bebek lagi dan dibungkus. Kupesan juga es teh yang dimasukan kantong plastik. Kuberikan semuanya pada ibu itu. Dia lalu menikmati makannya. Aku duduk kembali di sampingnya. Sambil makan ibu ini bercerita bahwa dia berasal dari suatu daerah di daerah selatan Jawa Timur. Dia datang ke Surabaya untuk mencari suaminya. Menurut kabar yang diterimanya dari beberapa orang bahwa suaminya bekerja sebagai tukang becak dan mangkalnya di Tambaksari, daerah di sekitar gelora 10 November. Tapi sudah dicari sejak siang tadi ternyata suaminya tidak ada. Dia sudah bertanya kepada beberapa tukang becak yang mangkal di depan gelora apakah mereka mengenal suaminya? Ternyata tidak ada satupun yang mengenal suaminya.

Menurut ibu ini sudah 7 bulan lebih suaminya tidak pulang. Dia belum pernah sekalipun melihat anaknya ini. Dia pergi meninggalkannya sejak dia hamil tua. Kemiskinan yang melanda mereka, membuat suaminya memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Dia berharap di Surabaya akan ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi ternyata sampai kini suaminya tidak pernah pulang dan uang yang dinantikan pun tidak pernah datang. Maka ibu ini mencari ke sini dan jika bertemu suaminya dia akan memaksa suaminya untuk pulang. Kalau dia tidak mau pulang, maka ibu ini juga akan tinggal di Surabaya. Aku tersenyum bagaimana mereka akan bisa hidup, sebab rumah saja mereka tidak punya. Dan apakah penghasilan dari menarik becak dapat memenuhi tuntutan kehidupan di kota seperti Surabaya ini?

Ibu itu sudah hampir menyelesaikan makannya. Dia bercerita tentang harapan dan masa depan. Dia ingin anaknya dapat bersekolah dan hidup layak. Dia yakin bahwa hidup manusia itu seperti roda yang terus berputar. Kini dia dibawah, tapi pada saatnya nanti dia akan bisa di atas. Suatu kebijaksanaan kuno, kataku dalam hati. Aku sendiri tidak yakin apakah nasib ibu itu akan berubah, tapi aku kagum dengan harapannya akan masa datang. Suatu harapan yang menuntunnya pergi dari rumah untuk mencari suaminya. Suatu harapan yang membuat dia mampu bertahan dalam kelaparan dan kehausan demi bertemu dengan suaminya. Ketika kutanya bagaimana jika suaminya ternyata sudah mempunyai istri baru? Sejenak ibu itu memandang kosong ke depan. Lalu dia mengatakan bahwa dia yakin suaminya pasti ingat akan dirinya dan anaknya. Ada nada getir dalam jawabannya, namun nada itu tertutup oleh suatu harapan.

Aku jadi kagum dengan kuatnya harapan yang dipegang oleh ibu itu. Aku harus belajar banyak untuk mempunyai harapan. Pertanyaanku tentang suaminya yang menikah sebetulnya tidak pantas aku katakan, sebab bisa mematahkan harapan yang sudah dibangunnya dari rumah. Namun aku menjadi kagum sebab ibu ini tidak terpengaruh oleh kepesimisanku. Dia tetap optimis dengan harapan-harapannya.

Seandainya banyak orang mempunyai harapan-harapan yang besar seperti ibu ini dan mampu mengubah harapan menjadi suatu keyakinan, tentu akan banyak orang yang tidak putus asa. Teman-temanku di rumah singgah banyak yang tidak mempunyai harapan akan hari esok. Akibatnya mereka banyak melakukan tindakan bodoh. Mereka menghabiskan uang mereka begitu saja, padahal uang itu mereka peroleh dengan susah payah. Mereka tidak menyesal ketika uangnya habis untuk suatu tindakan bodoh yang tidak ada gunanya sama sekali. Bagi mereka hidup itu harus dinikmati hari ini, sebab besok itu tidak ada apalagi masa depan. Mereka tidak mempunyai harapan masa depan.

Harusnya ibu ini bisa mengajarkan pada teman-teman bagaimana agar orang tetap mempunyai sebuah harapan. Sebuah keyakinan bahwa besok mereka bisa hidup lebih baik. Bahwa besok dia akan bertemu dengan suaminya. Bahwa besok anaknya bisa sekolah seperti anak-anak lain.

Malam semakin larut. Aku pamitan pada ibu itu. Dia berterima kasih atas nasi bungkus dan es tehnya. Aku hanya tersenyum dan berjalan menuju mobil. Dalam perjalanan yang hanya membutuhkan beberapa menit saja aku bersyukur bahwa aku tidak mengulang kejadian di fery. Ibu ini sebaliknya mengajarku agar tetap mempunyai harapan akan hari esok. Akan Tuhan yang tidak akan membiarkan orang selalu menderita. Aku tahu bahwa Yesus akan datang ketika aku diterjang badai seperti yang dialami oleh para murid. Tapi aku masih belum meyakininya. Aku masih meragukan kekuasaan Allah yang bisa mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Aku kurang memiliki harapan. Terima kasih malam ini aku sudah diajar oleh seorang ibu di tepi jalan.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks