Minggu, 06 September 2009

SELAMAT JALAN NOK


Hanya inilah yang bisa aku katakan ketika Mas Yoga menegaskan bahwa kamu adalah salah satu kurban di TimTim. Penegasan berita dari Mas Yoga dan Rm. Hari membuatku bersimpuh. Hatiku berkecamuk. Tidak tahu aku harus teriakan pada siapa. Pedih. Marah. Geram. Kecewa. Tidak percaya. Berkecamuk menjadi satu. Mengapa orang TimTim yang memandang pastur begitu tinggi dibandingkan di Jawa sini bisa membunuh pasturnya? Benarkan penembakmu adalah orang TimTim? Tuhan akan membukanya, entah kapan. Aku tidak tahu.

Aku masih ingat pertemuan kita di Dili beberapa waktu lalu. Kau mengejekku sebab terlalu cepat menjadi imam. Aku pun mengejekmu yang betah menjadi frater. Kita saling ejek setelah sekian lama tidak jumpa. Ya, sejak kita pisah di Garum dulu. Kau masuk Jesuit sedang aku masuk CM.

Nok, Painok, begitu kau disebut. Entah ini nama ejekan atau nama kesukaanmu, tapi banyak teman memanggilmu demikian dan kamu tidak sakit hati. Aku lihat lagi foto foto kita ketika kita keluyuran di girli untuk menemui Rm. Mangun. Ketika kita di Rowoseneng untuk meneguhkan panggilan kita masing masing. Ketika di rumahmu. Gara gara kamu hanya memberi alamat dekat lampu bangjo, aku kesasar sampai jauh sekali, sebab lampu itu mati dan hari sudah malam sehingga tidak tampak kalau ada lampu bangjo. Aku pun harus kembali naik angkutan dan bertanya sana sini untuk menemukan daerahmu. Sampai daerahmupun aku lupa nomor rumahmu. Untung aku masih ingat nama ayahmu, sehingga agak mudah menemukan rumahmu. Kitapun saling ejek atas kekeliruan ini. Syukurlah kamu punya ibu yang sangat baik, sehingga beliau repot membuatkan minuman hangat dan air hangat untuk mandiku.

Nok, mengenang semua ini aku jadi sedih. Dua tahun kita satu kamar tidur. Banyak kisah lucu ala seminaris kita alami. Tapi kini semua tinggal kenangan. Kau sudah tidak bisa ketemui lagi. Untuk mengunjungi kuburmu pun aku tidak bisa, sebab tubuhmu belum ditemukan. Ah Nok,...masih terbayang kecerianmu di Dili. Kau bersemangat sekali sebab sebentar lagi akan ditahbiskan. Aku pun mengejekmu akan datang ke tahbisanmu, hanya untuk menumpangkan tanganku di atas rambutmu yang sering diejek mambu kloso. Tapi, aku tahu kau hanya bergurau, tidak akan mengundangku. Tidak ingin aku menumpangi tangan. Ah...jahat sekali kamu Nok. Sungguh Nok, aku sedih.


Tapi aku bangga padamu. Sungguh! Aku kagum padamu! Kagum pada pilihanmu. Mati diantara umatmu. Kemarin aku sedikit ngobrol dengan beberapa teman cerita soal cara matimu. Ada yang berkomentar bahwa itu konyol, sebab berani menantang maut. Harusnya kau mengungsi keluar kota bersama para seminaris. Tapi kau memilih bertahan di parokimu. Berani menghadapi para perusuh bersenjata. Berani tanpa berpikir adalah konyol. Kali ini kau kubela, Nok. Menurutku kita memang harus konyol. Yesus pun tahu bahwa Dia akan ditangkap dan disalibkan. Dia ketakutan di taman Getsmani. Tapi Dia tidak lari dari Yerusalem. Apakah Dia tidak konyol? Konyol! Yesus juga konyol. Dia menyongsong kematianNya.

Aku kagum kau tidak lari. Kau bertahan bersama umatmu. Aku yakin bahwa saat itu umatmu membutuhkan kau berada di tengah tengah mereka. Umatmu penuh ketakutan dan kau berada di tengah tengahnya. Ini peneguhan yang tidak ternilai, meski kau harus merelakan tubuhmu dihilangkan. Bukan hanya nyawamu saja. Memang ada yang berpendapat bahwa dengan pergi kau bisa meneruskan perjuangan mereka. Kau bisa memberikan laporan pandangan mata tentang kekejaman mereka. Kau bisa mengorganisir perjuangan dari luar. Tapi, Nok, kau pilih mati bersama mereka.

Aku bersyukur atas pilihanmu, sehingga Yesus tidak perlu lagi datang dan menemuimu di tengah jalan dengan memikul salib. Dan kau tidak perlu lagi bertanya Quo vadis Domine? Kau hebat Nok! Mau tetap memikul salibmu, sehingga Yesus tidak perlu menggantikanmu ditembak di tengah umatmu. Ada yang komentar, bahwa kau akan lebih berguna jika masih hidup dari pada mati dengan cara seperti ini. Tapi sekali lagi aku membelamu Nok. Mungkin saat Petrus meninggalkan Roma, umatpun senang, sebab Petrus bisa mengembangkan kekristenan di luar Roma. Tapi Yesus berjalan menuju Roma. Petrus pun malu dan kembali ke Roma untuk mati disalib. Ternyata kematian Petrus tidak memusnahkan Gereja. Darah Petrus terus mengalir dan menjadi rabuk tempat bersemainya Gereja baru. Aku yakin Nok, darahmu pun akan membuat Gereja Timor Timur khususnya, dan Indonesia pada umumnya, akan tumbuh subur dan berkembang.

Nok, sekali lagi aku kagum padamu. Kau dalam diam membuka mataku tentang keberanian, tentang kecintaan pada umat, tentang hakekat panggilan hidup kita, yaitu mengikuti Yesus yang berjalan menuju bukit Golgota, tentang salib yang harus kita pikul. Aku yakin Nok, pilihanmu ini tidak akan mengangkatmu menjadi orang terkenal di seluruh dunia. Kau tidak akan dilirik oleh panitya Nobel untuk diberi nobel perdamaian. Kau tidak akan mendapat tepukan dimana mana. Kau tidak akan jadi orang terkenal. Kau akan tetap menjadi Rm. T. Dewanto SJ yang mati ditembak di TimTim. Kau hanya diingat dan dicatat sebagai kurban.


Tapi Nok, aku percaya bahwa kematianmu tidak sia sia. Kau bukan kurban yang memang harus jatuh, konsekwensi logis, akibat revolusi. Kau tidak salah dengan pilihanmu. Aku bahkan iri padamu. Sebab kau bertemu Yesus dan bisa menunjukan luka tembakmu. Sedang aku Nok. Apa yang bisa aku tunjukan pada Yesus? Luka luka aku belum punya. Apakah Yesus akan memperhitungkan aku, sebab beberapa kali nulis di p net? Apakah aku bisa membanggakan diri dihadapan Yesus dengan menunjukan kedudukanku sebagai ketua komisi? Apakah Yesus akan menerimaku di surga jika kutunjukan bahwa aku direktur sebuah yayasan? Seandainya aku jadi uskuppun, apakah bisa Yesus langsung mempersilahkan diriku masuk surga? Bahkan seandainya semua orang di dunia tahu bahwa aku penerima nobel perdamaian dan dicatat oleh para tokoh politik sebagai pejuang, apakah Yesus lalu mengagumiku dan menerimaku dengan penuh suka cita? Ah, Nok....kau telah diterima di surga. Bukan dengan gelar atau prestasi yang hebat, tapi dengan keberanian pilihanmu untuk bersama Yesus di TimTim.

Akhirnya Nok, aku ucapkan SELAMAT JALAN KAWAN. Aku bangga padamu. Aku akan berdoa khusus bagimu dengan hati yang merintih pedih. Hanya ini yang bisa kulakukan. Maaf!

1 komentar:

witness mengatakan...

other info about Fr Tarcisius Dewanto (Jesuit priest at Balide seminary) (Indonesian)http://home.vicnet.net.au/~cardoner/witness.html

LIST OF PRIESTS AND NUNS KNOWN TO HAVE DIED IN TIMOR

This list has been provided through the good services of the SVD's.

Dear Julian,
Thank you. The first message certainly brings good news. One of the priests has contacts in Antambua and Kupang if we hear any information we will pass it on to you. So far we have only received a list of priests and one sister who believed to been killed. They are:

* 1. Father Tarcisius Dewanto, SJ,
* 2. Father Hilario
* 3. Sr. Margarida [some reports now deny this. ed.]
* 4. Father Fransisco Tavares dos Reis (Parish Pastor Maliana),
* 5. [Father Fransisco Barreto (Director Yayasan Caritas)] (incorrect, in hiding! ed.)
* 6. Father Domingos Soares da Silva (Parish Pastor Letefoho),
* 7. Father Lofencio
* 8. Father Luis Bonaparte
* 9. Father Carolus Albrecht (Karim Arbie), SJ
* 10.Pendeta Pdt. Francisco de Vasconcelos

I believe also that the rector at the Seminary in Kupang has made contact with sisters and priests in the refugee camps in Kupang.

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks