Selasa, 08 September 2009

LAMPU

Kami duduk melingkar mendengarkan seorang romo yang sedang memberikan renungan. Namun hampir semua dari kami yang berada disitu tidak bisa mendengarkan dengan baik. Hati kami digelisahkan oleh lampu neon. Ada satu lampu neon di tengah ruangan yang berkedi-kedip dan menimbulkan suara mendengung yang cukup keras. Penjaga rumah sudah kami beri tahu tapi dia tidak mempunyai cadangan lampu, maka kami terpaksa mengikuti session diterangi lampu yang rusak. Aku sama seperti yang lain menjadi merasa tidak nyaman. Sambil berbisik-bisik pada teman disebelah aku mulai mengkritik tempat ini.

Tampaknya romo pembimbing menyadari akan situasi yang tidak mengenakan ini. Maka dia mengatakan agar kami jangan memperhatikan lampu melainkan mulai berusaha menyimak apa yang diuraikannya. Dia mengatakan semakin kami memperhatikan lampu maka kami akan semakin jengkel. Semakin kami jengkel semakin kami tidak bisa memahami apa yang dikatakan olehnya. Perkataan romo mendorongku untuk berusaha konsentrasi pada materi yang sedang dibahas. Aku berusaha melupakan lampu dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh romo pembimbing. Tidak terasa waktu konfrensi sudah selesai.

Di tengah dinginnya udara Pacet aku berusaha merenungkan apa yang baru aku alami tadi. Dalam hidup tidak ada yang sempurna. Hal yang sudah direncanakan matang pun kadang kala masih menimbulkan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana. Beberapa kali aku mengalami kegagalan. Padahal aku sudah mempersiapkan dengan serius. Kegagalan ini membuatku merasa gagal dalam aneka hal. Aku selama beberapa hari bisa tenggelam dalam rasa kecewa, gelisah, ingin berontak dan sebagainya. Jika sudah demikian maka aku enggan melakukan segala sesuatu, sebab seluruh diriku terpusat dalam rasa gagal itu.

Dalam komunitas pun ada saja orang yang kuanggap kurang sesuai dengan yang kuharapkan. Aku ingin menyingkirkannya. Namun aku tidak mampu, sebab dia pun berhak tinggal dalam komunitas. Aku pun tidak bisa melarikan diri dari realita komunitas seperti ini. Aku dipaksa menerima teman-teman sekomunitas apa adanya.

Dalam hal ini hanya dibutuhkan kesiapan untuk menerima apa adanya. Ini butuh kebesaran hati, sebab tidak mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Sering kali aku memimpikan semuanya orang bisa hidup sesuai dengan apa yang kukehendaki. Namun ini mustahil. Setiap orang mempunya gaya hidup sendiri-sendiri. Mereka mempunyai penampilan yang berbeda. Mereka mempunyai karakter dan kepribadian yang unik, sehingga tidak sama dengan kepribadian dan karakterku. Bahkan mungkin bertentangan.

Sebetulnya jika aku tidak suka dengan orang, belum tentu aku tidak suka keseluruhan dirinya. Aku bisa tidak suka akan kepribadiannya atau sikapnya atau gaya hidupnya atau yang lain. Hanya sebagian dari dirinya saja yang tidak kusukai, tapi akibatnya aku tidak menyukai dirinya secara keseluruhan. Sama seperti kejadian tadi. Gara-gara hanya sebuah lampu aku menjadi jengkel. Padahal masih ada 3 lampu lain yang menyala dengan bagus. Aku menjadi tidak suka pada semua pegawai dan pengurus rumah retret ini yang kuanggap tidak tanggap. Aku mengkritik pegawai yang malas, managemen yang tidak profesional sampai pemilik rumah yang pelit dan sebagainya. Dari persoalan lampu yang kecil menjadi melebar kemana-mana. Seolah-olah dalam rumah ini tidak ada yang baik.

Untung romo pembimbing memberikan pencerahan, bahwa jangan memusatkan diri pada sesuatu yang menjengkelkan, melainkan alihkan pandangan ke hal lain. Memang memusatkan diri pada hal negatif jauh lebih mudah. Pernah aku juga menguji sekelompok anak muda. Aku mengambil selembar kertas putih dan memberikan titik hitam. Ketika kutanya apa yang mereka lihat, hampir semua mengatakan sebuah titik hitam dalam sebidang kertas putih. Mengapa jawaban tidak dibalik yaitu sebidang kertas putih yang mempunyai titik hitam? Sebab memang titik hitam itu menarik perhatian. Semua orang memusatkan pada titik itu. Hal hitam dan negatif sangat mudah dilihat dan diingat oleh orang.

Demikian pula dalam hidup. Titik hitam seseorang sering kali diingat dan menjadi pusat perhatian. Akibatnya semua lembaran hidup putih lain yang dimilikinya seolah tidak pernah ada, kalau toh ada dianggap sebagai sebuah hal yang biasa atau bahkan dilupakan. Seorang teman pernah tertangkap mencuri barang. Dia harus menjalani hidup selama beberapa bulan didalam penjara. Ketika keluar dari penjara sedikit sekali orang yang berani memberikan kepercayaan padanya. Semua orang melihatnya sebagai bekas pencuri. Padahal sebelum mencuri banyak orang percaya padanya. Dia mencuri pun akibat terdesak tuntutan keluarga sebab orang tuanya sakit dan membutuhkan banyak biaya. Barang yang dicuri pun bukanlah barang mahal, hanya beberapa peralatan dapur dan makan. Dia menjualnya hanya laku Rp 150.000. tapi akibat semua itu dia sudah dianggap sebagai orang yang penuh dengan dosa. Seluruh hidupnya hitam kelam.

Kupandang langit yang hitam. Seandainya tidak hitam pasti bintang tidak akan tampak indah seperti malam ini. Gelap pun dibutuhkan dalam dunia. Gelap pun bisa menambah keindahan alam. Mengapa aku selalu ingin semuanya putih dan terang? Hidupku pun tersusun dari hitam dan putih. Gelap dan terang. Keberhasilan dan kegagalan. Sikap buruk dan baikku. Semua membentukku menjadi diriku saat ini. Aku tidak akan berkembang bila hanya memusatkan diri pada hal buruk atau kegagalan dalam hidupku. Aku tidak bisa bersyukur pada Allah bila hanya memusatkan pandangan pada hal negatif dan menjengkelkan yang melekat pada diriku.

Syukur romo tadi menyadarkan aku akan hal itu. Keberanian untuk tidak lari dari kekurangan yang ada namun tidak memusatkan diri padanya. Tidak berusaha berontak akan kekurangan yang ada, melainkan menerimanya. Sebab semakin berontak akan semakin menjengkelkan dan membuatku tidak berkembang.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks