Minggu, 06 September 2009

SEBOTOL MINYAK GORENG

Suatu hari ibu menyuruhku untuk membeli minyak goreng. Aku mengajak adikku untuk pergi ke warung yang tidak seberapa jauh dari rumah. Dalam perjalanan pulang kami berkejaran di pematang sawah. Namun sial, aku terjatuh dan terperosok masuk ke sawah. Akibatnya botol minyak pecah dan minyak tumpah di sawah. Sejenak kami termangu. Kami sudah membayangkan wajah ibu yang akan marah dan ngomel lama sekali. Kami tahu bahwa uang ibu tidak banyak, sehingga setiap pengeluaran sangat diperhitungkan.

Kami duduk tanpa bicara. Ada perasaan takut, sedih, menyesal dalam hati. Kami hampir menangis, bukan karena hanya takut dimarahi, namun menyesal telah memecahkan botol minyak. Kami menyesali tindakan kami yang tidak hati-hati. Kami sedih mengingat bahwa ibu harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli minyak, padahal kami sangat miskin. Namun semua sudah terjadi. Dengan perasaan yang bercampur aduk kami berjalan pulang.

Dengan langkah berat kami menyusuri jalan pulang. Kami tidak bicara sesuatu pun. Semakin mendekati rumah, hati kami semakin takut dan galau. Kami melihat ibu duduk di teras rumah dengan seorang tamu. Semakin dekat dengan teras, kakiku semakin berat. Ingin rasanya menangis. Di teras kulihat ibu tersenyum. Dengan lembut dia tanya mana minyak yang harus kami beli? Sejenak aku hanya bisa tertunduk takut menatap wajah ibu. Dengan suara bergetar aku katakan bahwa minyaknya tumpah di sawah. Aku sempat melirik wajah ibu. Ibu tetap tersenyum. Lalu dengan lembut dia menyodorkan uang dan menyuruhku untuk membeli minyak lagi dengan peringatan agar aku tidak lari-lari lagi di sawah.

Perkataan ibu itu bagiku sebagai suatu berkat. Aku sangat bahagia sekali. Sepertinya ada beban besar yang terlepas dari diriku. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan dan memeluk ibu saat itu juga. Aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkirakan. Aku yang bersalah dan ketakutan akibat kesalahanku, ternyata tidak dipersoalkan oleh ibu. Meski sedih ibu memberiku uang lagi. Ibu mempercayaiku lagi tanpa kemarahan yang aku bayangkan selama perjalanan ke rumah. Tanpa komando untuk kedua kali aku langsung berlari ke warung lagi dengan penuh suka cita.

Pengalaman ini membuatku bisa merasakan betapa bahagianya si anak bungsu yang diterima lagi oleh bapanya (Luk 15:11-32). Dia tidak hanya diterima bahkan dibuat spesial dengan perhiasan dan pesta. Dia yang telah berdosa dan takut akan bapanya, ternyata ketakutannya itu tidak terjadi bahkan sebaliknya menjadi suka cita. Aku yakin meski tanpa pesta pun anak itu sudah menjadi bahagia, sebab bapanya menerima dia kembali. Dia pun sudah menetapkan sejak mau berangkat pulang bahwa dia akan menjadi pegawai bapaknya. Dia sadar akan ketidakpantasannya dan akan dosa-dosanya yang seharusnya mendapatkan hukuman. Namun bapanya memberikan jauh lebih besar dari apa yang dia harapkan. Bapanya tidak saja mengatakan bahwa dia mengampuni, namun memberikan hal yang sangat spesial. Kebahagiaan anak bungsu ini menjadi berlipat dan tidak terkatakan.

Salah satu pesan Yesus dalam Injil hari ini adalah aku mewartakan berita tentang pertobatan dan pengamunan dosa (Luk 24:46-53). Kamu adalah saksi akan semua itu. Yesus datang dan mengampuni dosaku. Dosa-dosaku yang tidak terhitung diampuniNya. Aku yang penuh dosa Dia terima tanpa memberikan hukuman. Aku tetap diangkatNya sebagai anak bukan budak atau hamba. Bahkan Dia menjanjikan akan kebahagiaan surgawi. Inilah suka cita yang tidak terperikan. Suka cita bukan karena Tuhan memberikan kelimpahan harta, namun suka cita pengampunan dosa. Aku yang berdosa dan selalu berbuat dosa diampuni dan selalu diampuniNya. Aku selalu diterima dan ditunggu kapan aku akan kembali padanya. Inilah kebahagiaan akan kasih Allah yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Aku bersuka cita, sebab aku yang penuh dengan dosa diampuni Allah. Namun mengapa aku sulit untuk mengampuni sesama? Aku tidak ubahnya seperti perumpamaan yang ditulis dalam Mat 18:21-35. Aku seperti hamba yang memohon belas kasih pada Allah untuk melepaskan hutang-hutangku, namun aku tidak mau melepaskan hutang orang yang berhutang padaku. Aku memohon agar Allah mengampuni dosaku, namun aku tidak mau mengampuni dosa sesamaku. Aku ingin mendapatkan suka cita pengampunan, namun aku tidak mau memberikan suka cita itu pada sesama. Aku merasa Allah wajib mengampuniku, namun aku tidak wajib mengampuni sesamaku. Aku bebas menyakiti hati Allah, namun aku tidak boleh disakiti. Bagaimana seandainya aku menjadi Allah yang harus senantiasa mengampuni sedang orang yang aku ampuni tidak mau mengampuni? Aku akan sakit hati sekali bagai raja dalam perumpamaan itu. Maka pantaslah raja itu menghukum hamba itu.

Disinilah butuh kesadaran diri. Kesadaran akan dosa-dosaku yang besar dihadapan Allah, namun Dia tetap mau menerimaku. Kesadaran bahwa aku sebenarnya tidak pantas menerima tubuh Kristus karena dosa-dosaku, namun aku tetap memberanikan diri untuk menerimanya. Dan aku merasa suka cita atas peristiwa ini. Kesadaran pengalaman inilah menjadi titik tolakku untuk mengampuni sesamaku yang dosanya tidak sebesar dosaku pada Allah. Jika aku tidak memiliki pengalaman diampuni Allah, maka aku juga sulit mengampuni, sebab aku tidak pernah merasakan betapa bahagianya diampuni itu. Seandainya aku tidak pernah memiliki pengalaman diampuni ibuku sebab memecahkan botol minyak, maka aku juga tidak pernah merasakan betapa bahagianya pengampunan itu. Seandainya banyak orang mengalami dan menyadari semua ini, maka dunia akan lebih membahagiakan....

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks