Senin, 09 Juni 2008

BESUKI

Akhir-akhir ini di media massa dikabarkan bahwa Lapindo akan membayar sisa pembayara sebanyak 80%. Banyak orang merasa bahwa persoalan lumpur panas yang disebabkan oleh pengeboran minyak Lapindo Inc sudah selesai. Banyak orang merasa persoalan Porong sudah ditangani oleh pemerintah dengan baik, sehingga banyak orang tidak peduli lagi dengan persoalan Porong. Bahkan ada banyak orang menolak untuk membantu pengungsi kurban lumpur panas dengan alasan sudah ditangani oleh pemerintah dan Lapindo.

Disinilah sebetulnya letak kesalahan pandangan banyak orang. Pada jaman ini media massa memang sangat kuat pengaruhnya pada masyarakat, maka orang yang menguasai media akan menguasai dunia. Dia dapat mempengaruhi dan mengubah pandangan orang mengenai aneka hal. Pemberitaan Lapindo yang sering kali tidak jujur oleh media sangat mempengaruhi masyarakat, sehingga berita mengenai pembayaran 80% seolah sudah menyelesaikan masalah. Kelemahan lain masyarakat masih banyak yang kurang kritis, sehingga mereka menelan begitu saja aneka pemberitaan. Diberitakan di koran bahwa sudah dimulai pembayaran, maka masyarakat merasa persoalan sudah selesai. Padahal jelas dikatakan “dimulai”, sebuah kata yang sangat kabur. Sejak dulu Lapindo selalu menggunakan kata “memulai atau dimulai” tanpa mengatakan “mengakhir atau diakhiri”. Ketika mengadakan pembayaran 20% juga menggunakan kata “dimulai” persoalannya kapan diakhiri? Sampai sekarang masih ada ratusan keluarga yang belum mendapat ganti 20%. Tapi orang tidak peduli lagi, sebab sudah dijebak dengan kata “dimulai”.

Salah satu kasus yang sangat memprihatinkan adalah pengungsi di daerah Besuki. Desa Besuki terbelah oleh jalan tol yang sekarang sudah tidak berfungsi. Oleh pemerintah melalui kepres 14/2007 daerah ini tidak termasuk daerah kurban, sebab yang dianggap daerah kurban lumpur hanyalah desa Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedung bendo. Akibatnya daerah yang tidak termasuk dalam peta terdampak tidak mendapat perhatian oleh pemerintah dan Lapindo. Keppres 14 ini sudah ditolak oleh banyak pihak dan warga Porong yang merasa dirugikan. Mereka menuntut sampai MA tapi segala usaha itu seperti bertemu dengan tembok yang keras, tuli dan tidak berhati nurani. Salah satu alasan yang dilontarkan oleh orang MA adalah bahwa pihak Lapindo sudah bertanggungjawab dengan memberikan uang ganti rugi. Padahal bila membaca teks keppres 14 dan realisasi yang terjadi banyak yang berbeda. Misalnya dalam keppres 14 art 10 dikatakan bahwa pembayaran 80% dilakukan sebulan sebelum uang kontrak atau masa dua tahun selesai. Padahal dalam perjanjian dengan notaris Lapindo ditulis bahwa pembayaran 80% dilakukan setelah selesainya uang kontrak. Jadi keppres 14 sudah dilanggar oleh Lapindo sendiri dan pemerintah tidak peduli. Seharusnya orang yang bertanggungjawab terhadap keppres itu mengubah isi keppres atau memberi sanksi kepada pihak yang melanggar. Belum lagi pasal-pasal lain yang tidak pernah ada realisasinya oleh pihak Lapindo.

Akibat keppres yang jelas sangat merugikan kurban lumpur ini juga berdampak pada desa Besuki. Oleh karena desa Besuki tidak termasuk desa terdampak, maka desa ini tidak diperhatikan dan mendapatkan ganti rugi. Pada bulan Agustus 2007 ada tanggul yang jebol sehingga air dan lumpur panas meluber ke desa Besuki sebelah barat dan menenggelamkan 3 RT dengan jumlah penduduk lebih dari 200 keluaga. Pemerintah dan Lapindo belum peduli sebab hanya dianggap banjir biasa. Tapi air panas itu sudah merusak perabot rumah tangga. Tidak ada ganti rugi sama sekali dari pemerintah dan Lapindo. Bulan September 2007 sekali lagi tanggul jebol sehingga air dan lumpur panas sekali lagi menenggelamkan desa Besuki sebelah barat. Penduduk mengungsi dan kembali lagi. Akhirnya pada 10 Februari 2008 tanggul jebol lagi, sehingga air dan lumpur menenggelamkan sawah dan rumah penduduk sampai ketinggian 1 m lebih. Penduduk mengungsi ke bekas jalan tol. Rumah mereka hancur oleh lumpur dan sawah mereka seluas 33,2 ha telah menjadi lautan lumpur.

Mereka menuntut agar pihak lapindo dan pemerintah memberikan ganti rugi, tapi terbentur oleh keppres 14 maka mereka tidak mendapatkan ganti rugi. Pihak Lapindo berjanji akan memberikan ganti rugi gagal panen untuk jangka waktu 2 tahun. Pihak kurban desa Besuki menuntut 1,2 milyard rupiah, tapi pihak Lapindo menawar menjadi sekitar Rp 772 juta. Pihak Lapindo menggunakan istilah santunan. Bila orang membaca istilah ini maka orang dapat menangkap itu adalah kemurahan hati pihak Lapindo, tapi sebetulnya disini letak perancuan bahasa. Seharusnya Lapindo bertanggungjawab atas gagal panen yang dialami oleh penduduk Besuki, sebab sawah mereka tertimbun lumpur yang dikeluarkan oleh semburan lumpur. Dengan demikian kata “santunan” tidak tepat dan dapat membangun persepsi yang salah. Seharusnya dipakai kata ganti rugi. Uang itu bukan belas kasih Lapindo tapi tanggungjawab Lapindo dan pemerintah. Hal yang lebih memprihatinkan adalah sampai saat ini uang itu belum dibayarkan. Dengan demikian Lapindo telah membuat sekian puluh petani kehilangan mata pencahariannya dan melalaikan tanggungjawabnya sebagai penyebab semua itu. Usaha untuk menuntut lewat pemerintah ternyata gagal, sebab mereka bertahan pada keppres 14 yang sangat merugikan masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah keppres yang merugikan dapat dipertahankan? Inilah kebijakan pemerintah dan penguasa yang tidak adil dan hanya berpihak pada pengusaha.

Kini warga Besuki kehilangan rumah, perabot dan matapencaharian. Mereka terpaksa tidur di gubuk-gubuk darurat berukuran 3X3 m atau di tenda bantuan depsos di tepi bekas jalan tol. Sebagian jalan tol masih digunakan oleh pihak Lapindo unuk lalu lalang truk-truk besar mengangkut tanah dan peralatan membuat tanggul serta mobil lainnya. Debu berterbangan dimana-mana. Bila siang hari akan terasa sangat panas sekali. Seorang penduduk mengatakan bahwa selama ini tidak ada bantuan dari pihak lain. Pemerintah melalui depsos memang terkadang membantu tapi tidak bisa dijadwalkan kapan mereka akan memberikan bantuan.

Seorang penduduk mengeluh bahwa seharusnya pemerintah dan Lapindo bertanggungjawab atas semua ini. Mereka telah kehilangan apa yang mereka miliki selama ini bahkan masa depannya. Mereka sudah merasa mengalah sebab tidak menuntut segala barang dan perabot rumah tangga yang hancur oleh lumpur, tapi mereka menuntut pemulihan mata pencaharian mereka. Air dan lumpur Lapindo sangat ganas. Setiap perabot bahkan sepeda motor yang terendam akan langsung rusak. Dia menceritakan bahwa banjir itu datang sangat cepat dan deras sekali. Air bercampur lumpur panas menerjang rumah dan menghanyutkan aneka perabot yang masih tertinggal. Kini rumah mereka terendam lumpur yang sudah mengering. Mereka iklas bila Lapindo tidak membayar kerugian perabot, tapi mereka harus membayar ganti rugi sawah dan biaya kehidupan mereka. Betapa memprihatinkan negara ini, dimana rakyat miskin mengiklaskan seluruh miliknya sebuah perusahaan besar. Betapa tidak malunya penguasa dan pemilik Lapindo ketika merusakkan barang milik orang lain dan orang itu tidak menuntut, padahal pemilik Lapindo adalah orang terkaya. Inilah pengorbanan rakyat miskin untuk Lapindo. Bagaimana mungkin rakyat miskin harus berkorban untuk orang terkaya? Dimana hati nurani di negara ini? Apakah pemilik Lapindo tidak pernah terbersit rasa malu bahwa dia sudah tidak bertanggungjawab pada sekian ratus rakyat miskin padahal dia orang yang sangat kaya?

Melihat nasib rakyat di Besuki barat sangat memprihatinkan. Pemerintah, penguasa dan pemilik Lapindo tidak mempedulikan mereka. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat tampaknya membiarkan pihak Lapindo bertindak sewenang-wenang bahkan dengan keppres 14 pemerintah membela Lapindo yang jelas sangat merugikan masyarakat. Pemerintah telah mengkhianati rakyat dan hanya mencari amannya dengan membiarkan pihak Lapindo bertindak tidak adil. Ataukah memang penguasa adalah robot yang tidak mempunyai mata dan telinga apalagi hati, sehingga membela orang yang bersalah dan menulikan diri terhadap jeritan rakyat?.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks