Senin, 16 Juni 2008

DOA

Aku baru saja mengcopy beberapa lagu dari keping MP3 ke dalam komputer. MP3 ini baru kubeli di trotoar pertokoan Siola. Kupikir lebih baik membeli MP3 yang berisi puluhan lagu dari pada membeli kaset yang harganya dua kali dari MP3 dan lagunya hanya beberapa saja. Ketika sedang asyik memilih lagu dari deretan lagu yang tertera di keping MP3 yang hendak kucopy tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat khas milik temanku. Keras dan ribut sekali. Dalam waktu sekejap dia sudah berdiri di sebelahku.

Sejenak dia melihat-lihat cover MP3. Dia ingin meminjam MP3 yang baru kubeli, sebab ada lagu yang disukainya juga. Memang selera lagu kami boleh dikatakan sama. Dia lalu memilih beberapa lagu dan memintaku untuk mencobanya di Winamp. Sambil mendengarkan musik kami mulai bercerita aneka pengalaman kami selama ini. Kami sudah lama tidak bertemu. Sejak dia mendapat pekerjaan yang mapan, maka dia jarang sekali main ke kamarku. Sebelumnya dia sering main ke kamarku entah hanya sekedar untuk mengobrol sambil mendengarkan tape, main komputer atau membaca buku. Obrolan kami pun meloncat dari satu topik ke topik lain.

Akhirnya dia mengeluh bahwa sekarang malas berdoa, sebab jenuh. Dia menceritakan bahwa dia sudah mencoba berdoa dari buku-buku doa dan doa rasorio, tapi dia merasa doa-doanya kosong. Hanya sekedar mengucapkan saja. Bahkan tidak jarang doa rosario tidak selesai, sebab ketiduran atau dia sengaja menghentikan di tengah jalan sebab pikirannya sudah tidak lagi dalam doa itu. Dia tanya bagaimana mengatasi rasa jenuh berdoa. Pertanyaan ini membuat kami masuk dalam diskusi mengenai doa. Dia bertanya bagaimana agar dapat berdoa secara khusuk? Aku sendiri tidak tahu bagaimana doa yang khusuk itu. Apakah berdoa sampai pingsan? Apakah bisa menyelesaikan rosario dengan kesadaran penuh telah berdoa Salam Maria, Kemuliaan dan Bapa Kami? Apakah sampai terasa melayang-layang? Ataukah bisa memahami setiap kata yang diucapkanya?

Kami terus berdiskusi untuk menemukan doa yang baik itu bagaimana. Dalam buku-buku tentang doa memang banyak teori doa. Kutunjukan pada temanku beberapa buku doa yang kumiliki. Tapi temanku masih ingin mengetahui pendapatku dari pada membaca, sebab dia sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca buku rohani. Dia mengandaikan aku sudah membaca buku-buku yang ditawarkan padanya. Kukatakan bahwa doa itu bicara pada Tuhan. Dia langsung menjawab bahwa jawabanku itu klasik dan sudah dimengertinya. Dia ingin tahu bicara dengan Tuhan itu yang bagaimana? Persoalannya dia tidak bisa konsentrasi doa. Ketika dia berusaha untuk hening maka dalam sesaat saja pikirannya sudah melayang kemana-mana, sehingga tidak tahu lagi apa yang dikatakan. Dalam misa pun dia sering kali hanya duduk dan tanpa sadar misa sudah selesai. Dia merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika misa dan berdoa pribadi.

Aku diam saja, sebab memang tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Kamarku menjadi hening. Temanku membaca daftar lagu yang ada di cover MP3, lalu dia menujuk sebuah lagu, apakah lagu ini sudah kucopy, sebab lagu itu bagus sekali. Aku katakan sudah. Lho kan sudah kita dengarkan bersama? Jawabku. Temanku heran, maka dia melihat lagi daftar lagu yang ada di winamp. Memang lagu itu sudah terlewati. Lho aku kok nggak mendengarnya ya? Tanyanya dengan penuh keheranan.

Inilah jawaban Tuhan pada kami. Aku katakan bahwa dia tidak mendengarkan lagu itu berkumandang sebab terlalu asyik berbantahan denganku soal doa. Mungkin inilah persoalan doa, yaitu tidak adanya topik menarik yang hendak dibicarakan dengan Tuhan. Akibatnya orang berdoa hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai orang beriman, atau membaca rumusan-rumusan doa yang dibuat oleh orang suci, tetapi tidak mengungkapkan persoalan diri sendiri. Apa yang diungkapkan dalam doa bukan kebahagiaan dan kepedihan diri melainkan puji-pujian dan segala kata-kata indah, dogmatis, biblis dan sebagainya yang tidak bersentuhan dengan hidup pribadinya. Akibatnya orang mengalami kejenuhan.

Jika doa adalah percakapan manusia dengan Tuhan, seharusnya sungguh-sungguh sebagai suatu percakapan. Ungkapan hatiku, secara pribadi pada Tuhan sebagai Bapa yang penuh belas kasih. Persoalannya memang tidak semua orang mempunyai hubungan yang baik dengan bapaknya, sehingga sulit membayangkan bagaimana caranya bisa bercakap-cakap yang menyenangkan dengan bapaknya. Kupikir mengapa tidak mengganti Tuhan sebagai Bapa menjadi Tuhan sebagai Ibu? Jika dengan ibu pun susah berkomunikasi, sehingga sulit membayangkan bagaimana sharing dengan ibu, mengapa tidak mengubah Tuhan menjadi Sahabat? Temanku mengatakan pendapatku ini konyol, sebab bagaimana mau berdoa “Ibu kami yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu...” Tapi aku masih bertahan buat apa aku mempertahankan sebutan Tuhan sebagai Bapa kalau aku mempunyai pengalaman traumatik pada bapaku? Kalau aku tidak mempunyai gambaran bapa yang baik dan enak diajak ngobrol? Bukankah percakapanku dengan Tuhan harus pribadi, sehingga aku bisa senang berbicara padaNya? Aku bisa sharing tentang kehidupanku padaNya?

Temanku masih belum bisa menerima ide gilaku ini. Pembicaraan kami terus berputar-putar sampai akhirnya dia menyatakan mau pulang. Sambil menikmati suara lagu, aku berusaha merenungkan kembali percakapan dengan temanku tentang bagaimana berdoa yang baik itu. Bagiku berdoa akan menyenangkan kalau aku sharing tentang kehidupanku pada Tuhan. Yesus sudah mendobrak pemahaman orang Yahudi tentang Tuhan, yang dianggap sangat besar, sehingga untuk menyebut namaNya saja orang merasa tidak pantas. Yesus menyebut Tuhan bukan lagi Yahweh tetapi Bapa, sehingga jarak antara manusia dan Tuhan tidak terlalu jauh lagi. Yesus ingin membuat manusia mempunyai hubungan pribadi dengan Bapanya. Diapun dengan para rasul sudah memposisikan diri sebagai sahabat. Para rasul bukan lagi hamba tapi sahabat. Hubunganku dengan Yesus bukan lagi antara hamba dengan tuan, melainkan antar sahabat. Aku bisa sharing sesukaku seperti aku sharing dengan sahabatku yaitu orang yang dapat memahami kegelisahan hatiku. Orang yang dapat ikut bersyukur kalau aku berhasil. Orang yang dapat memberiku semangat kala aku jatuh. Orang yang siap mendengarkan segala kepedihan hatiku. Orang yang tidak jijik sebab aku telah berbuat banyak dosa. Orang yang cepat menolongku ketika kuberitahu kesulitanku. Orang yang mampu diam dan tenang saat aku mengungkapkan seluruh kegalauan hati. Orang yang mampu menerima diriku apa adanya.

Tapi memang susah memandang Yesus sebagai sahabat, sebab aku masih sering memposisikan diri sebagai hamba, sehingga aku tidak berani berbicara sembarangan padaNya. Aku harus menjaga sopan satun. Berbicara padanya harus formil dan dengan kata-kata yang indah. Lebih hebat lagi kalau bisa mengutip sebagian ayat-ayat dari Kitab Suci dan berbicara panjang lebar untuk membuatnya bahagia. Tapi semua kadang kosong. Apakah aku harus banyak aturan jika berhadapan dengan sahabatku? Bukankah aku bisa terbuka untuk menceritakan apa saja padanya? Lebih parah lagi aku memposisikan diri seperti pengemis. Aku hanya merengek meminta belas kasihan pada Tuhan. Aku hanya datang padaNya kalau aku sedang kalut. Aku membuat Tuhan tidak lebih dari keranjang sampah yang menampung segala persoalan hidupku.

Jika aku bisa memposisikan Tuhan sebagai sahabat atau orang yang sangat dekat entah itu bapa atau ibu atau adik atau kakak, mungkin aku bisa memulai doa dengan cara yang baru. Doa bukan lagi suatu kewajiban melainkan kebutuhanku untuk sharing pada orang yang paling dekat denganku. Doa bukan lagi rangkaian kata-kata indah, biblis, dogmatis, melainkan suatu ungkapan perasaanku yang sedang aku alami saat ini. Suatu pengalaman hidup yang ingin aku bagikan pada sahabatku. Pada orang yang sangat dekat padaku. Jika aku bisa berdoa seperti ini, maka doa tidak lagi membosankan. Aku tidak lagi bingung mau mengatakan apa pada sahabatku itu. Aku tidak lagi dibingungkan tidak bisa konsentrasi dalam doa. Sama seperti akibat keasyikanku sharing dengan temanku, maka lagu-lagu yang berkumandang dari komputer berlalu begitu saja tanpa aku sadari.

Salah satu pertanyaan temanku tadi adalah dia bisa saja berdebat denganku sebab aku bisa menyatakan argumen-argumenku. Aku berkata-kata padanya. Tapi bagaimana dengan Tuhan? Dia bicara panjang lebar dalam doa tapi Tuhan diam saja, sehingga dia seolah-olah berbicara sendiri. Ini membosankan. Aku pikir mengapa dia mempersoalkan bahwa Tuhan tidak menjawab apa yang dikatakannya? Bukankah ada Kitab Suci yang diyakini sebagai sabda Tuhan. Bukankan Tuhan juga sudah mengatakan bahwa tubuhku adalah baitNya, tempat dimana Dia bersemayam. Dengan demikian Dia bisa saja bersabda melalui hati manusia. Bukankah Yesus juga mengatakan ada tanda-tanda jaman, dimana Tuhan berbicara pada manusia melalui peristiwa-peristiwa jaman? Mengapa orang masih bingun mencari sabda Tuhan? Mungkin kejenuhan doa juga disebabkan oleh tidak adanya waktu manusia untuk mendengarkan Tuhan, sehingga seolah-olah manusia berbicara sendiri. Atau orang malas untuk merenungkan sesuatu sebagai sabda Tuhan.

Kulihat sudah beberapa lagu terlalui, tapi aku tidak bisa menikmatinya bahkan tidak mendengarnya sebab aku sibuk menulis di komputer. Seandainya aku susah berbicara dengan Tuhan dengan kata-kata mengapa aku tidak menuliskan semua doaku? Aku tenggelam dalam tulisanku sehingga aku tidak sadar akan banyak hal. Jika ini adalah suatu doa bukankah aku sudah berdoa dengan baik? Sayang aku masih sering menjadi hamba dan pengemis dihadapan Tuhan. Aku masih malas mendengarkan sabda Tuhan, sehingga menganggap bahwa Tuhan tidak dapat kuajak untuk sharing.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks