Minggu, 20 September 2009

PAK TOMO (PERJUANGAN TANPA HENTI)

0 komentar

Pak Tomo hanyalah seorang lelaki tua dengan tubuh yang kurus. Badannya hitam terbakar matahari. Rambutnya sudah putih semua. Kalau bicara sudah susah dan pendengarannya sudah mulai agak berkurang. Tapi aku sangat kagum dengannya. Pak Tomo tinggal di desa Ngroto. Suatu desa kecil di lereng gunung Lawu, sekitar 38 km dari kota Ngawi. Desa yang sangat terpencil. Untuk mencapai desa Ngroto, kita harus berjalan mendaki melalui jalan berbatu sambil menikmati suara air yang gemericik, bajang keret yang bernyanyi, desir angin di sela daun bambu dan kesejukan udara pegunungan. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang semakin lama semakin kabur dan membaur dengan awan biru.

Desa Ngroto hanyalah desa biasa. Kelebihan desa ini karena di situ tinggal Pak Tomo. Lelaki tua ini mempersilahkan aku untuk masuk dalam rumahnya. Sebuah rumah batu dengan banyak ruang. Sebagian ruangan masih belum diberi atap. Sebagian lagi masih separo jadi. Namun yang membuatku kagum adalah rumah itu dibangun hanya dari balok balok batu. Mirip candi pada jaman dulu. Tidak ada kayu dan semen. Pak Tomo hanya menyusun balok balok batu saja.

Pak Tomo dengan bangga mengajakku memasuki ruang demi ruang. Dia bercerita bahwa rumah ini dia bangun sendiri selama 40 tahun. Gila pikirku. Membangun rumah batu sendirian tanpa alat alat yang berarti. Dulu disini banyak sekali batu hitam yang besar besar. Kisah Pak Tomo sambil menunjukan halamannya yang penuh dengan pepohonan. Lalu dia mulai memotong motong batu itu menjadi balok balok dan mulailah pembangunan rumah dimulai. Bekas galian batu dia tanami dengan cengkeh, kopi, jambu, apokat, durian, dan berbagai macam pohon lain. Lama lama kebunnya yang semula penuh dengan batu menjadi kebun buah buahan dan batu itu dia susun menjadi rumah yang sangat besar dan unik.


Aku hanya menggeleng gelengkan kepala melihat hasil karyanya. Bayangkan selama 40 tahun dia sendirian membangun rumah itu. Dia mengatakan bahwa kenekatannya membangun rumah batu ini telah meminta kurban. Istrinya meninggalkan dia, sebab dia tidak memahami ide gilanya. Banyak orang juga mencemooh karyanya yang dianggap gila. Tapi Pak Tomo tetap nekat. Dia terus memotong batu batu dan menyusunnya. Kapan bapak akan mengakhiri pembangunan ini? tanyaku. Dia mengatakan jika dia sudah mati, maka pembangunan rumah itu juga akan selesai. Apakah bapak tidak takut rumah ini roboh? tanyaku lagi. Pak Tomo hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini akan musnah, termasuk rumahnya ini. Tapi beberapa kali gempa bumi, tidak bisa merobohkan rumahnya.

Dalam diri Pak Tomo aku melihat sebuah semangat yang menyala nyala dan tidak terpadamkan. Suatu perjuangan panjang. Selama 40 tahun dia sendirian mengubah lahannya yang semula tidak bisa ditanami menjadi sebuah kebun buah. Dia mampu sendirian membangun rumah dari batu. Perjuangan panjang yang disertai hujatan. Dia hanya bersandar pada alam dan Tuhannya.

Sambil mengendarai mobil sendirian menuju Surabaya, pikiranku penuh dengan kekaguman pada Pak Tomo. Ya, aku mengagumi keteguhannya pada pilihan hidupnya. Pada keputusannya yang berusaha untuk terus membangun sampai kematian yang akan menghentikannya.

Saat ini aku sedang bimbang dengan aktifitasku di komunitas kaum marginal. Beberapa persoalan yang tidak terpecahkan membuatku berpikir untuk membubarkan apa yang telah dimulai bersama teman teman. Dalam syer terakhir bersama teman teman, aku mengatakan pada mereka bahwa aku membangun komunitas ini seperti membangun rumah di atas pasir. Aku ternyata belum siap untuk lebih serius dalam aktifitas ini. Aku gamang dengan keputusanku, bahkan menyesal mengapa aku dulu tergesa gesa mengumpulkan teman teman untuk bergabung dalam aktifitas ini. Mengapa aku tidak membangun dasar lebih kuat baru mengajak teman teman?

Perkataan Pak Tomo seolah perkataan guru yang membuka mataku untuk tetap berjalan dalam keputusanku, meski banyak orang tidak memahami dan mencaci maki. Meski yang dibuat tidak pernah akan selesai sampai kematian mendatang. Meski rumah itu tetap kosong dan kebun buahnya tidak mampu menghidupinya dengan layak. Apakah sikap Pak Tomo suatu kebodohan? Apakah yang dilakukannya bukan suatu kesia siaan belaka? Apakah Pak Tomo seorang yang gila? Atau dia orang frustasi? Tidak. Bagiku dia orang yang patut dihargai. Dia bukan orang yang bodoh, sebab mampu mendesain rumah sedemikian unik. Meski tidak berpendidikan formal, dia mampu menyusun batu sedemikian tinggi dan tidak roboh karena gempa bumi. Dia adalah orang yang setia dengan apa yang telah dimulai. Dia adalah orang yang berjalan tanpa henti. Dia adalah pekerja yang bekerja bukan untuk kesombongan dan pujian.Dia membangun rumah besar untuk masa depan jika ada orang yang membutuhkannya.

Permenunganku lebih jauh membawaku pada Sang Guru sejati. Yesus juga seorang yang nekat. Dia beberapa kali jengkel dengan murid muridNya yang tetap tidak mampu memahami karya keselamatan yang dibawaNya. Dia senantiasa diintip oleh para musuh musuhNya untuk dihabisi. Dia dianggap gila oleh keluarganya. Dia dikhianati oleh muridNya. Dia ditinggalkan oleh orang orang terdekatNya. Namun Dia tetap berjalan menyeleseikan tugasNya. Apakah segala belenggu hilang dengan kehadiranNya? Tidak. Masih banyak orang yang terbelenggu oleh dosa. Dia sendiri bersabda bahwa orang miskin akan masih tetap ada. Lalu buat apa Dia datang? Akankah karyaNya sia sia? Mungkin beberapa muridNya dulu juga merasakan bahwa karya Sang Guru akan sia sia. Berakhir! Tapi ternyata sampai 2000 tahun karya Yesus masih terus berlangsung. Aku yakin bahwa rumah Pak Tomo tidak akan pernah selesai. Apakah akan sia sia? Aku yakin suatu saat pasti akan ada orang yang meneruskannya dan rumahnya akan menjadi bahan pembicaraan orang.

Pak Tomo bukan seorang Kristen. Dia juga mungkin tidak mengenal siapa Yesus itu. Namun sikap hidupnya tidak jauh dari Yesus, yang pantang menyerah. Sikap yang terus berusaha dan bekerja dalam kesendirian dan kesepian. Kerja yang tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, hanya cukup untuk kerja itu sendiri. Dia ingin meninggalkan rumah ini untuk banyak orang, bahkan dia menawarkan agar aku menggunakan ruang atas rumahnya untuk gereja. 40 tahun Pak Tomo bekerja keras memotong batu, menyusunnya, mengangkatnya sehingga terbentuk rumah di tengah kebun buah yang subur. Ah seandainya aku bisa nekat seperti dia.

silakan baca selanjutnya "PAK TOMO (PERJUANGAN TANPA HENTI)" ...

SETAHUN LUMPUR LAPINDO

0 komentar


Sudah setahun lebih lumpur panas yang menyembur dari galian tambang minyak di desa Renokenongo belum surut. Semburan itu bermula pada hari Senin, 29 Mei 2006 di desa Renokenongo. Sekarang semburan lumpur itu sudah menenggelamkan 4 desa yaitu desa Renokenongo, Kedungbendo, Siring dan Jatirejo serta satu perumahan yaitu perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 atau TAS 1. Semburan lumpur panas ini bermula dari usaha PT Lapindo Brantas Inc, anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, yang akan mengadakan eksplorasi minyak dan gas bumi di lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 yang terletak di desa Renokenongo. Namun karena ada “kesalahan” dalam cara pengeboran maka terjadi semburan lumpur panas yang sampai saat ini belum bisa dikendalikan.

Pada awalnya memang PT Lapindo Brantas Inc tidak mengakui kesalahan itu, bahkan mereka menyalahkan gempa yang terjadi di Jogjakarta dua hari sebelum terjadinya semburan. Menurut mereka gempa yang terjadi di Jogjakarta dengan kekuatan 5,9 skala Richter menyebabkan adanya lempengan bumi yang putus sehingga menyebabkan semburan lumpur. Namun beberapa ahli mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, sebab jarak Jogjakarta dan Porong cukup jauh, sekitar 259 km, sehingga getaran gempa yang cukup kuat dan merusak tidak akan mencapai Porong. Menurut dokumen rapat PT Lapindo Brantas Inc pada 18 Mei 2006 ditulis bahwa PT Medco Energi sebagai pemegang 32 % saham Lapindo telah mengingatkan agar memasang selubung pengaman, sebab pihak Lapindo hanya memasang selubung pengaman hanya sampai kedalaman 3580 kaki, padahal pengeboran sudah mencapai 9297 kaki. Kesalahan ini mengakibatkan terjadinya ledakan akibat pecahnya sumur pengeboran, sehingga lumpur menyembur keluar dengan ketinggian 40 m dengan jarak 150 m dari pusat pengeboran pada tanggal 29 Mei 2006.

Dengan demikian PT Lapindo telah melakukan kesalahan fatal dalam pengeboran. Namun hal ini pun dapat dipertanyakan apakah ini sebuah kesalahan perhitungan manusiawi atau kesengajaan? Beberapa media mengatakan ini kesalahan perhitungan, sehingga beberapa orang yang bertanggung jawab diajukan ke pengadilan meski sampai saat ini kasusnya tidak jelas apakah sudah diputuskan bersalah atau tidak. Namun bila dilihat dari dokumen pertemuan pada tanggal 18 Mei 2006 nampak bahwa luapan lumpur adalah sebuah kesengajaan. Pertanyaan berikut adalah mengapa ada kesengajaan? Hal ini kemungkinan terkait dengan pembebasan tanah. Sering terjadi pembebasan tanah menjadi soal yang sulit dan berkepanjangan sehingga menghabiskan dana dan waktu. Dengan adanya lumpur maka mau tidak mau penduduk menyerahkan tanahnya kepada PT Lapindo Brantas.

Sebetulnya kehadiran PT Lapindo di Porong sudah mendapat penolakan sejak awal mula. Seorang tokoh desa Jatirejo menceritakan bahwa semula PT Lapindo hendak mengadakan pengeboran di desa Jatirejo. Namun ditolak sebab mereka kuatir akan dampak negatif akibat pengeboran itu. PT Lapindo akhirnya membeli tanah di desa Renokenongo yang berbatasan dengan desa Jatirejo. Mengapa lurah Renokenongo mengijinkan? Apakah dia tidak tahu bahwa tanah itu akan menjadi ladang minyak? Seorang penduduk Renokenongo mengatakan bahwa pada awalnya mereka mengira tanah itu akan dijadikan lahan peternakan, sebab berita itulah yang tersebar. Maka mereka tidak curiga ketika banyak alat berat datang. Mereka sadar bahwa berita itu bohong ketika lumpur sudah menyembur. Dengan demikian tampaknya ada kesengajaan dari pihak PT Lapindo untuk menutupi usahanya agar dapat diterima oleh rakyat. Mengapa harus ditutupi?

Semburan lumpur panas itu menyebabkan ribuan orang mengungsi. Mereka kehilangan, rumah, harta benda dan kehidupannya. Pada umumnya penduduk 4 desa adalah petani dan penggarap sawah. Kini sawah mereka telah tenggelam oleh lumpur, maka mereka kehilangan penghidupannya. Mereka menjadi penggangguran. Sebagian orang yang bukan petani biasanya mempunyai usaha kecil seperti warung, toko dan usaha-usaha kecil lain. Dengan meluapnya lumpur maka mereka terpaksa menutup semua usaha mereka. Memang mereka dapat membangun kembali usahanya di tempat lain namun hal itu tidak mudah. Mereka semua harus memulai kehidupannya dari titik nol kembali.

PT Lapindo memang telah berusaha mengganti kerugian yang diderita oleh penduduk. Namun ganti rugi hanya dihitung dari luas tanah, bangunan dan sawah. Mereka tidak menghitung kerugian akibat hilangnya matapencaharian penduduk. Ganti rugi tanah, bangunan dan sawahpun masih banyak sekedar janji dan aneka alasan yang menjadi batasan yang sangat memberatkan penduduk. Boleh dikatakan sampai saat ini bahwa Lapindo belum memberi ganti rugi yang sepadan kepada penduduk. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat ternyata kurang berpihak pada kurban. Pemerintah mengeluarkan Perpres 13 tahun 2006 yang dikeluarkan tanggal 8 September 2006 mengenai pembentukan Timnas dengan tugas penutupan semburan lumpur; b. penanganan luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial. Namun setelah berjalan berbulan-bulan ternyata tugas itu tidak dapat berjalan dengan baik. Lumpur tetap menyembur dengan besar dan kurban tetap dalam kekurangan. Tampaknya pemerintah yang sudah dikuasai oleh pengusaha kurang berpihak pada kurban. Pemerintah pun mengeluarkan Perpres 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang didanai oleh APBN (pasal 14). Namun Perpres ini pun sangat merugikan kurban terutama pasal 15 dan sangat menguntungkan PT Lapindo. Kurban dapat ganti rugi tanah dan rumah seluas yang disahkan oleh akta pemerintah. Padahal banyak warga yang tanahnya belum memiliki sertifikat. Rumah mereka pun luasnya banyak yang tidak sesuai dengan IMB yang disahkan oleh pemerintah. Dengan demikian rakyat dirugikan. Selain itu pembayaran dicicil sebesar 20% dan sisanya akan dilunasi selama 2 tahun. Apakah 20% cukup untuk membuat rumah baru atau memulai usaha baru yang dapat menghidupi selama 2 tahun? Selain itu banyak keluarga yang hidup bersama di sebuah rumah, sebab mereka masih sanak saudara. Bila ganti rugi rumah hanya 20% maka dibagi beberapa keluarga. Maka setiap orang akan mendapat ganti rugi yang sangat kecil. Janji pembayaran uang muka 20% itupun sampai saat ini masih beberapa penduduk yang mendapatkannya. Selain itu tanah yang akan mendapat ganti rugi dari pihak PT Lapindo hanya tanah dan rumah yang tenggelam lumpur sampai 22 Maret 2007. Bila terjadi kurban baru setelah tanggal 22 Maret 2007 maka bukan tanggung jawab PT Lapindo melainkan akan dibebankan pada APBN. Hal ini sangat menguntungkan PT Lapindo. Perpres ini membantu PT Lapindo sehingga segala kerusakan infrastruktur akan dibebankan pada APBN. Dari sini dapat dilihat bahwa pemerintahpun tidak berkuasa menghadapi sebuah perusahaan atau pemilik modal, sehingga pemerintah mau menjadi kurban para pemilik modal dan tidak berpihak pada rakyat yang menjadi kurban para pemilik modal.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Jadi, unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari:
1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesalahan;
3. Mengakibatkan kerugian; dan
4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian.

Dari pasal ini jelaslah seharusnya PT Lapindo membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya yang ceroboh. Tidak perlu ada pengecualian dan aneka alasan yang berbelit misalnya verifikasi akta tanah dan bangunan dan sebagainya. PT Lapindo telah menimbulkan kerugian bagi warga 4 desa, maka wajib membayar ganti rugi atau membersihkan lumpur dari keempat desa tersebut sehingga semua warga dapat kembali ke desanya masing-masing. Namun pasal ini diabaikan dengan aneka alasan. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat tampaknya dapat dikendalikan oleh para pemilik modal. Bahkan presidenpun tampaknya tidak peka. Dia tetap mendudukan Aburizal Bakrie, sebagai pemilik PT Energi Mega Persada Tbk, induk PT Lapindo Brantas Inc, sebagai menteri. Bagaimana orang yang telah menyensarakan ribuan rakyat masih dapat duduk sebagai menteri Kesejahteraan Rakyat. Kesejahteraan apa yang ditawarkan dan dilakukan oleh menteri Abu Rizal Bakrie?

Kasus Lapindo menunjukkan bahwa faham neoliberalisme sudah mengakar di bumi Indonesia. Neoliberalisme adalah faham dimana kekuatan modal diatas segalanya. Bila dulu kekuatan negara terletak di tangan birokrat dan militer, namun dalam neoliberalisme kekuatan negara terletak ditangan para ekonom dan pemilik modal. Birokrat dan militer hanya pendukung dari kekuatan pemilik modal. Hal ini tampak jelas dari keputusan presiden yang tampak dikendalikan oleh PT Lapindo. Bila demikian apakah rakyat akan mendapat ganti rugi yang sepadan? Itu hanya terjadi dalam impian.

silakan baca selanjutnya "SETAHUN LUMPUR LAPINDO" ...

SENYUM

0 komentar

Seorang ibu muda dengan anaknya yang masih balita duduk tidak jauh dari tempatku. Anaknya perempuan dan sangat cerewet sehingga banyak hal dikomentari dengan keluguan seorang anak kecil. Seorang pramugari yang lewat sempat berhenti dan tersipu-sipu ketika anak itu mengatakan pada ibunya tante itu canti. Orang sekitar tempat duduk mereka sangat gemes melihat kelucuan anak perempuan itu. Aku pun tersenyum-senyum mendengar anak itu mempertanyakan aneka hal. Mulai dari pesawat mengapa bisa terbang sampai bagaimana kalau mau pipis nanti.

Tidak berapa lama kemudian pesawat mulai bergerak dan meninggalkan landasan pacu. Anak itu masih bernyanyi gembira. Ketika pesawat semakin tinggi, tiba-tiba anak itu menangis dan ingin turun sebab telinganya sakit. Suara tangis anak itu membuat beberapa orang menjadi gelisah. Beberapa orang memandang ibu itu dengan tatapan kurang senang. Beberapa pramugari berusaha menghibur dengan memberi permen dan kue tapi anak itu tetap menangis minta turun. Ibu itu menjadi gelisah. Dia sungkan dengan penumpang yang lain. Aku pun menjadi gelisah, sebab merasa terganggu dengan suara tangisan anak itu yang cukup keras.

Aku mencoba membaca novel yang kubawa. Tapi tidak ada satupun kalimat yang kupahami sebab konsentrasiku terganggu oleh suara tangisan anak itu. Ibu itu sudah berusaha menenangkan anaknya tapi tidak berhasil. Semakin lama orang semakin gelisah. Beberapa orang terlibat untuk menenangkan, tapi tidak berhasil.

Sambil menatap awan putih di sekitarku aku mulai bertanya, mengapa aku gelisah? Aku yakin kekerasan suara tangis anak itu tidak jauh berbeda dengan suara tawanya. Mengapa ketika anak itu menyanyi dan tertawa aku tidak gelisah, sedangkan sekarang aku gelisah? Mengapa aku jadi terganggu oleh suara yang sebetulnya sejak sebelum pesawat berangkat tadi sudah memenuhi sebagian ruang pesawat? Saat anak itu bertanya dan bernyanyi aku sangat gemes melihatnya, namun ketika anak ini menangis aku menjadi jengkel. Apakah yang beda dengan anak itu? Anak itu tetap sama, hanya suasana hatinya yang berbeda.

Maka persoalan bukanlah kekerasan suara anak itu melainkan suasana yang dibangunnya. Kegembiraan dan kesedihan. Kegembiraan anak itu mampu menebarkan kegembiraan pada orang sekitarnya. Demikian pula kesedihannya. Orang tidak suka dengan suasana sedih. Mungkin di dalam hatinya yang terdalam juga ada rasa sedih yang ingin dilupakan atau dipendam sehingga ketika ada suara tangis, kepedihan yang berusaha dilupakan muncul dan menggelisahkan. Aku bukan seorang psikolog atau yang mempelajari ilmu manusia. Aku hanya tahu tangisan anak itu membuat orang lain gelisah.

Orang membutuhkan kegembiraan. Suasana gembira. Namun suasana kegembiraan rupanya semakin sulit ditemukan. Sejak aku duduk di ruang tunggu bandara sampai duduk di dalam pesawat, aku melihat wajah-wajah yang diam. Tidak ada senyum. Kecuali jika dia mengobrol dengan temannya. Namun orang-orang sendirian sepertiku, semua diam. Mungkin mereka sudah penuh dengan persoalan atau capek atau memang sedang sedih atau ingin tertawa tapi tidak tahu mengapa harus ketawa. Maka ketika anak tadi menawarkan kegembiraan semua orang menjadi ikut tersenyum. Mereka mendapatkan kepenuhan dari sesuatu yang diinginkannya.

Jika semua orang membutuhkan suasana yang gembira, mengapa banyak orang tidak mau menciptakan kegembiraan? Mengapa orang sulit untuk tersenyum kepada sesama? Apakah malu atau menjaga harga diri? Apakah jika mendahului senyum akan dilihat rendah oleh orang lain? Aku rasa tidak. Tapi mengapa semua diam? Mengapa tidak ada yang menciptakan kegembiraan?

Aku melihat suasana muram bukan hanya di ruang umum, tetapi juga di dalam komunitas yang disebut Gereja. Sering kali doa lingkungan, pendalaman iman, misa dan sebagainya penuh dengan keseriusan. Orang tidak boleh ketawa ngakak. Tidak boleh tepuk tangan. Tidak boleh menciptakan kegembiraan. Orang harus serius dan diam. Merenungkan sabda Allah, berdoa atau meditasi. Bahkan anak-anak yang ikut misa atau sakramen lain pun harus diam. Padahal dalam Kisah Para Rasul dikatakan bahwa jemaat yang berkumpul itu gembira. Inilah yang saat ini dihilangkan oleh Gereja. Kita pun diutus mewartakan kabar gembira, namun dalam pewartaan kabar gembira orang menjadi serius. Orang memang bergembira bahwa dirinya sudah diselamatkan, tapi apakah kegembiraan itu tidak bisa diungkapkan? Bagaimana orang akan menjadi pewarta kabar gembira, bila wajahnya selalu suram? Bila tidak ada senyum atau perkataan yang memancing orang gembira? Bagiku ini sama saja dengan seorang berkepala gundul berseru dengan penuh semangat menawarkan obat untuk melebatkan rambut.

Memang ada seorang pemimpin agama yang selalu menangis bila berdoa sehingga orang yang datang pun ikut menangis. Tapi sebelumnya mereka ketawa dan gembira. Mereka menangis sebab menyesali dosanya. Apakah mereka suka dengan suasana duka? Aku tidak yakin. Seorang teman mengatakan mereka menangis sebab pemimpinnya menangis. Aku pikir benar juga. Apakah mereka akan tetap menangis bila pemimpinnya tertawa atau tersenyum?

Aku bayangkan seandainya setiap orang mampu menebarkan kegembiraan pada lingkungannya. Setiap orang mau tersenyum pada sesamanya. Tentu dunia akan indah. Namun orang tidak cukup hanya mengejar kegembiraan lawakan seperti di Srimulat. Orang akan bosan. Kegembiraan terdalam adalah kalau orang sadar bahwa dirinya sudah diselamatkan oleh Allah. Dia yang pendosa diangkat oleh Allah menjadi anakNya. Diperhatikan oleh Allah. Kegembiraan model inilah yang dialami oleh Maria, sehingga dia mengumandangkan kidung kegembiraannya. Lebih dari itu manusia diselamatkan oleh Putra Allah dengan pengorbanan total. Inilah kegembiraan yang terdalam. Kegembiraan yang tidak bisa dirampas oleh siapa saja atau oleh apa saja. Para martir jaman dulu menghadapi kematian dengan tanpa rasa takut. Mereka tetap bernyanyi dengan gembira. Hal ini disebabkan mereka sudah memperoleh kegembiraan yang mendalam. Bukan dari manusia namun dari Tuhan sendiri.

Aku bayangkan seandainya semua orang mau tersenyum antar satu dengan yang lain. Tentu dunia akan indah. Atau mungkin perlu mengadakan perubahan wajah pada gambar Yesus dan orang suci lainnya? Sebab mereka seringkali digambarkan tanpa senyum.

silakan baca selanjutnya "SENYUM" ...

Jumat, 11 September 2009

SEORANG IBU DI TEPI JALAN

0 komentar


Mataku sudah ingin dipejamkan. Tadi waktu berbaring di atas kasur jualannya Ambon yang dibentangkan di trotoar Jl. Darmo sambil mengobrol dengannya tiba-tiba aku jadi sangat mengantuk. Mungkin karena udara malam yang sejuk membuat tubuh yang capek jadi mudah sekali mengantuk. Aku pamit pada Ambon untuk pulang. Ambon adalah salah satu anak jalanan dari rumah singgah yang berusaha untuk keluar dari lingkaran jalanan dengan membuat kasur dan dipasarkan di trotoar Jl Darmo. Hampir setiap malam aku datang ke tempat jualan untuk melihat perkembangannya.

Setelah berbasa basi sejenak aku meninggalkan Ambon yang masih duduk di trotoar. Masih kudengar suaranya yang parau mengejekku yang tergesa pulang. Aku hanya tersenyum mendengar ejekkan itu. Aku tidak peduli apa yang dikatakannya. Mataku sudah sangat berat. Aku ingin tidur. Jam di mobil sudah menunjukan pk 11.43. Aku memacu mobil melalui jalan-jalan Surabaya yang mulai sepi. Kulihat ada sebuah warung kecil jualan nasi bebek yang masih buka. Tiba-tiba perutku menjadi lapar. Memang sejak pagi aku belum makan. Sejak bangun pagi sudah ada beberapa hal yang harus kukerjakan sampai malam. Ketika tadi mau makan beberapa teman telpon memintaku untuk datang ke rumah singgah. Sepulang dari rumah singgah aku mampir dulu ke tempat jualan Ambon. Aku parkir mobil dan kumasuki warung. Rasa lapar mengalahkan rasa kantuk.

Kulihat beberapa tukan becak sedang asyik menikmati nasi bebek di piringnya masing-masing. Aku mengambil duduk di sebelah mereka. Sambil menanti pesanan aku memandang ke jalan. Kulihat seorang ibu duduk di tepi jalan tidak jauh dari tempatku duduk. Seorang bayi terbaring dalam pangkuannya beralas sehelai kain yang sudah lusuh dan tidak jelas lagi motifnya. Dia pasti salah satu dari pengemis yang semakin banyak saja di Surabaya. Kadang aku sangat jengkel dengan pengemis-pengemis yang membawa bayi dalam menjalankan profesinya. Kok tega sekali mereka membiarkan anak-anaknya tersengat sinar matahari di siang bolong atau sekarang membiarkan anaknya kedinginan di tengah malam. Tapi anehnya banyak bayi yang digendong itu tidur dengan pulas. Mereka tidak terganggu oleh panasnya matahari atau dinginnya malam. Seorang teman pernah bercerita bahwa bayi-bayi itu sudah diberi obat tidur sehingga tidak pernah merasa terganggu oleh panas matahari atau keributan di sekitarnya. Konon bayi-bayi itu tidak akan dapat tumbuh menjadi anak, sebab mereka akan meninggal dalam usia yang sangat muda akibat over dosis obat tidur.

Ibu itu duduk diam saja. Bayi yang dalam gendongannya tampaknya sudah tertidur pulas. Pesananku sudah datang. Aku menikmati nasi bebek tanpa peduli lagi dengan ibu itu. Tapi aku menjadi tidak tenang. Aku merasa gelisah. Pikiranku terganggu. Aku kuatir melakukan kesalahan yang sama seperti pengalaman di atas kapal fery menuju Bali, dimana aku tega tidak memberi seorang anak pengemis yang kelaparan. Jangan-jangan aku menjadi orang kaya yang tidak peduli pada Lazarus yang miskin seperti perumpamaan yang diberikan oleh Yesus. Dalam perumpamaan itu digambarkan bahwa Lazarus tidak pernah meminta pada orang kaya. Dia hanya diam dan memunguti remah-remah roti yang jatuh dari meja orang kaya. Orang kaya itu juga tidak mengusirnya. Mereka pribadi-pribadi yang diam. Tidak saling mengusik. Namun Allah menghukum orang kaya sebab dia tidak peduli pada Lazarus. Dia dihukum bukan karena dia kaya melainkan karena dia tidak peduli pada orang yang miskin. Dia tidak mempunyai kepekaan akan kediaman Lazarus.

Hatiku gundah dalam perdebatan. Aku ingin menetramkan hati dengan mencari alasan bahwa ibu itu memang pengemis yang jahat, sebab menggunakan anaknya sebagai sarana untuk mencari uang. Ibu itu telah menjual anaknya hanya untuk beberapa ratus rupiah perhari. Dia ibu yang tidak baik sebab tega membunuh anaknya secara perlahan dengan memberinya obat tidur setiap harinya. Aku mencoba mencari alasan untuk menghindari tanggung jawabku sebagai orang Katolik. Aku ingin menikmati nasi bebek lalu pulang dan tidur.

Tapi pengalaman di fery terus terbayang. Selesai makan, aku menghampiri ibu itu. Kusapa dia. Aku mencoba membuka percakapan dengannya. Dia melihatku sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke gelora 10 November yang megah. Kuajukan beberapa pertanyaan yang dijawabnya secara singkat-singkat. Kupikir mungkin dia sudah mengantuk dan tidak ingin diganggu. Kunyalakan sebatang rokok sambil berdiri hendak meninggalkannya. Tiba-tiba ibu itu mengatakan apakah aku mau membelikan dia makanan? Dia lapar dan tidak punya uang. Kutatap dia dalam-dalam. Aku berusaha mencari tanda dalam wajahnya. Apakah dia tidak bohong? Suasana yang temaram mampu menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Aku memesan nasi bebek lagi dan dibungkus. Kupesan juga es teh yang dimasukan kantong plastik. Kuberikan semuanya pada ibu itu. Dia lalu menikmati makannya. Aku duduk kembali di sampingnya. Sambil makan ibu ini bercerita bahwa dia berasal dari suatu daerah di daerah selatan Jawa Timur. Dia datang ke Surabaya untuk mencari suaminya. Menurut kabar yang diterimanya dari beberapa orang bahwa suaminya bekerja sebagai tukang becak dan mangkalnya di Tambaksari, daerah di sekitar gelora 10 November. Tapi sudah dicari sejak siang tadi ternyata suaminya tidak ada. Dia sudah bertanya kepada beberapa tukang becak yang mangkal di depan gelora apakah mereka mengenal suaminya? Ternyata tidak ada satupun yang mengenal suaminya.

Menurut ibu ini sudah 7 bulan lebih suaminya tidak pulang. Dia belum pernah sekalipun melihat anaknya ini. Dia pergi meninggalkannya sejak dia hamil tua. Kemiskinan yang melanda mereka, membuat suaminya memutuskan untuk pergi ke Surabaya. Dia berharap di Surabaya akan ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Tapi ternyata sampai kini suaminya tidak pernah pulang dan uang yang dinantikan pun tidak pernah datang. Maka ibu ini mencari ke sini dan jika bertemu suaminya dia akan memaksa suaminya untuk pulang. Kalau dia tidak mau pulang, maka ibu ini juga akan tinggal di Surabaya. Aku tersenyum bagaimana mereka akan bisa hidup, sebab rumah saja mereka tidak punya. Dan apakah penghasilan dari menarik becak dapat memenuhi tuntutan kehidupan di kota seperti Surabaya ini?

Ibu itu sudah hampir menyelesaikan makannya. Dia bercerita tentang harapan dan masa depan. Dia ingin anaknya dapat bersekolah dan hidup layak. Dia yakin bahwa hidup manusia itu seperti roda yang terus berputar. Kini dia dibawah, tapi pada saatnya nanti dia akan bisa di atas. Suatu kebijaksanaan kuno, kataku dalam hati. Aku sendiri tidak yakin apakah nasib ibu itu akan berubah, tapi aku kagum dengan harapannya akan masa datang. Suatu harapan yang menuntunnya pergi dari rumah untuk mencari suaminya. Suatu harapan yang membuat dia mampu bertahan dalam kelaparan dan kehausan demi bertemu dengan suaminya. Ketika kutanya bagaimana jika suaminya ternyata sudah mempunyai istri baru? Sejenak ibu itu memandang kosong ke depan. Lalu dia mengatakan bahwa dia yakin suaminya pasti ingat akan dirinya dan anaknya. Ada nada getir dalam jawabannya, namun nada itu tertutup oleh suatu harapan.

Aku jadi kagum dengan kuatnya harapan yang dipegang oleh ibu itu. Aku harus belajar banyak untuk mempunyai harapan. Pertanyaanku tentang suaminya yang menikah sebetulnya tidak pantas aku katakan, sebab bisa mematahkan harapan yang sudah dibangunnya dari rumah. Namun aku menjadi kagum sebab ibu ini tidak terpengaruh oleh kepesimisanku. Dia tetap optimis dengan harapan-harapannya.

Seandainya banyak orang mempunyai harapan-harapan yang besar seperti ibu ini dan mampu mengubah harapan menjadi suatu keyakinan, tentu akan banyak orang yang tidak putus asa. Teman-temanku di rumah singgah banyak yang tidak mempunyai harapan akan hari esok. Akibatnya mereka banyak melakukan tindakan bodoh. Mereka menghabiskan uang mereka begitu saja, padahal uang itu mereka peroleh dengan susah payah. Mereka tidak menyesal ketika uangnya habis untuk suatu tindakan bodoh yang tidak ada gunanya sama sekali. Bagi mereka hidup itu harus dinikmati hari ini, sebab besok itu tidak ada apalagi masa depan. Mereka tidak mempunyai harapan masa depan.

Harusnya ibu ini bisa mengajarkan pada teman-teman bagaimana agar orang tetap mempunyai sebuah harapan. Sebuah keyakinan bahwa besok mereka bisa hidup lebih baik. Bahwa besok dia akan bertemu dengan suaminya. Bahwa besok anaknya bisa sekolah seperti anak-anak lain.

Malam semakin larut. Aku pamitan pada ibu itu. Dia berterima kasih atas nasi bungkus dan es tehnya. Aku hanya tersenyum dan berjalan menuju mobil. Dalam perjalanan yang hanya membutuhkan beberapa menit saja aku bersyukur bahwa aku tidak mengulang kejadian di fery. Ibu ini sebaliknya mengajarku agar tetap mempunyai harapan akan hari esok. Akan Tuhan yang tidak akan membiarkan orang selalu menderita. Aku tahu bahwa Yesus akan datang ketika aku diterjang badai seperti yang dialami oleh para murid. Tapi aku masih belum meyakininya. Aku masih meragukan kekuasaan Allah yang bisa mengubah hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Aku kurang memiliki harapan. Terima kasih malam ini aku sudah diajar oleh seorang ibu di tepi jalan.

silakan baca selanjutnya "SEORANG IBU DI TEPI JALAN" ...

Selasa, 08 September 2009

LAMPU

0 komentar

Kami duduk melingkar mendengarkan seorang romo yang sedang memberikan renungan. Namun hampir semua dari kami yang berada disitu tidak bisa mendengarkan dengan baik. Hati kami digelisahkan oleh lampu neon. Ada satu lampu neon di tengah ruangan yang berkedi-kedip dan menimbulkan suara mendengung yang cukup keras. Penjaga rumah sudah kami beri tahu tapi dia tidak mempunyai cadangan lampu, maka kami terpaksa mengikuti session diterangi lampu yang rusak. Aku sama seperti yang lain menjadi merasa tidak nyaman. Sambil berbisik-bisik pada teman disebelah aku mulai mengkritik tempat ini.

Tampaknya romo pembimbing menyadari akan situasi yang tidak mengenakan ini. Maka dia mengatakan agar kami jangan memperhatikan lampu melainkan mulai berusaha menyimak apa yang diuraikannya. Dia mengatakan semakin kami memperhatikan lampu maka kami akan semakin jengkel. Semakin kami jengkel semakin kami tidak bisa memahami apa yang dikatakan olehnya. Perkataan romo mendorongku untuk berusaha konsentrasi pada materi yang sedang dibahas. Aku berusaha melupakan lampu dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh romo pembimbing. Tidak terasa waktu konfrensi sudah selesai.

Di tengah dinginnya udara Pacet aku berusaha merenungkan apa yang baru aku alami tadi. Dalam hidup tidak ada yang sempurna. Hal yang sudah direncanakan matang pun kadang kala masih menimbulkan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana. Beberapa kali aku mengalami kegagalan. Padahal aku sudah mempersiapkan dengan serius. Kegagalan ini membuatku merasa gagal dalam aneka hal. Aku selama beberapa hari bisa tenggelam dalam rasa kecewa, gelisah, ingin berontak dan sebagainya. Jika sudah demikian maka aku enggan melakukan segala sesuatu, sebab seluruh diriku terpusat dalam rasa gagal itu.

Dalam komunitas pun ada saja orang yang kuanggap kurang sesuai dengan yang kuharapkan. Aku ingin menyingkirkannya. Namun aku tidak mampu, sebab dia pun berhak tinggal dalam komunitas. Aku pun tidak bisa melarikan diri dari realita komunitas seperti ini. Aku dipaksa menerima teman-teman sekomunitas apa adanya.

Dalam hal ini hanya dibutuhkan kesiapan untuk menerima apa adanya. Ini butuh kebesaran hati, sebab tidak mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Sering kali aku memimpikan semuanya orang bisa hidup sesuai dengan apa yang kukehendaki. Namun ini mustahil. Setiap orang mempunya gaya hidup sendiri-sendiri. Mereka mempunyai penampilan yang berbeda. Mereka mempunyai karakter dan kepribadian yang unik, sehingga tidak sama dengan kepribadian dan karakterku. Bahkan mungkin bertentangan.

Sebetulnya jika aku tidak suka dengan orang, belum tentu aku tidak suka keseluruhan dirinya. Aku bisa tidak suka akan kepribadiannya atau sikapnya atau gaya hidupnya atau yang lain. Hanya sebagian dari dirinya saja yang tidak kusukai, tapi akibatnya aku tidak menyukai dirinya secara keseluruhan. Sama seperti kejadian tadi. Gara-gara hanya sebuah lampu aku menjadi jengkel. Padahal masih ada 3 lampu lain yang menyala dengan bagus. Aku menjadi tidak suka pada semua pegawai dan pengurus rumah retret ini yang kuanggap tidak tanggap. Aku mengkritik pegawai yang malas, managemen yang tidak profesional sampai pemilik rumah yang pelit dan sebagainya. Dari persoalan lampu yang kecil menjadi melebar kemana-mana. Seolah-olah dalam rumah ini tidak ada yang baik.

Untung romo pembimbing memberikan pencerahan, bahwa jangan memusatkan diri pada sesuatu yang menjengkelkan, melainkan alihkan pandangan ke hal lain. Memang memusatkan diri pada hal negatif jauh lebih mudah. Pernah aku juga menguji sekelompok anak muda. Aku mengambil selembar kertas putih dan memberikan titik hitam. Ketika kutanya apa yang mereka lihat, hampir semua mengatakan sebuah titik hitam dalam sebidang kertas putih. Mengapa jawaban tidak dibalik yaitu sebidang kertas putih yang mempunyai titik hitam? Sebab memang titik hitam itu menarik perhatian. Semua orang memusatkan pada titik itu. Hal hitam dan negatif sangat mudah dilihat dan diingat oleh orang.

Demikian pula dalam hidup. Titik hitam seseorang sering kali diingat dan menjadi pusat perhatian. Akibatnya semua lembaran hidup putih lain yang dimilikinya seolah tidak pernah ada, kalau toh ada dianggap sebagai sebuah hal yang biasa atau bahkan dilupakan. Seorang teman pernah tertangkap mencuri barang. Dia harus menjalani hidup selama beberapa bulan didalam penjara. Ketika keluar dari penjara sedikit sekali orang yang berani memberikan kepercayaan padanya. Semua orang melihatnya sebagai bekas pencuri. Padahal sebelum mencuri banyak orang percaya padanya. Dia mencuri pun akibat terdesak tuntutan keluarga sebab orang tuanya sakit dan membutuhkan banyak biaya. Barang yang dicuri pun bukanlah barang mahal, hanya beberapa peralatan dapur dan makan. Dia menjualnya hanya laku Rp 150.000. tapi akibat semua itu dia sudah dianggap sebagai orang yang penuh dengan dosa. Seluruh hidupnya hitam kelam.

Kupandang langit yang hitam. Seandainya tidak hitam pasti bintang tidak akan tampak indah seperti malam ini. Gelap pun dibutuhkan dalam dunia. Gelap pun bisa menambah keindahan alam. Mengapa aku selalu ingin semuanya putih dan terang? Hidupku pun tersusun dari hitam dan putih. Gelap dan terang. Keberhasilan dan kegagalan. Sikap buruk dan baikku. Semua membentukku menjadi diriku saat ini. Aku tidak akan berkembang bila hanya memusatkan diri pada hal buruk atau kegagalan dalam hidupku. Aku tidak bisa bersyukur pada Allah bila hanya memusatkan pandangan pada hal negatif dan menjengkelkan yang melekat pada diriku.

Syukur romo tadi menyadarkan aku akan hal itu. Keberanian untuk tidak lari dari kekurangan yang ada namun tidak memusatkan diri padanya. Tidak berusaha berontak akan kekurangan yang ada, melainkan menerimanya. Sebab semakin berontak akan semakin menjengkelkan dan membuatku tidak berkembang.

silakan baca selanjutnya "LAMPU" ...

Minggu, 06 September 2009

SELAMAT JALAN NOK

1 komentar


Hanya inilah yang bisa aku katakan ketika Mas Yoga menegaskan bahwa kamu adalah salah satu kurban di TimTim. Penegasan berita dari Mas Yoga dan Rm. Hari membuatku bersimpuh. Hatiku berkecamuk. Tidak tahu aku harus teriakan pada siapa. Pedih. Marah. Geram. Kecewa. Tidak percaya. Berkecamuk menjadi satu. Mengapa orang TimTim yang memandang pastur begitu tinggi dibandingkan di Jawa sini bisa membunuh pasturnya? Benarkan penembakmu adalah orang TimTim? Tuhan akan membukanya, entah kapan. Aku tidak tahu.

Aku masih ingat pertemuan kita di Dili beberapa waktu lalu. Kau mengejekku sebab terlalu cepat menjadi imam. Aku pun mengejekmu yang betah menjadi frater. Kita saling ejek setelah sekian lama tidak jumpa. Ya, sejak kita pisah di Garum dulu. Kau masuk Jesuit sedang aku masuk CM.

Nok, Painok, begitu kau disebut. Entah ini nama ejekan atau nama kesukaanmu, tapi banyak teman memanggilmu demikian dan kamu tidak sakit hati. Aku lihat lagi foto foto kita ketika kita keluyuran di girli untuk menemui Rm. Mangun. Ketika kita di Rowoseneng untuk meneguhkan panggilan kita masing masing. Ketika di rumahmu. Gara gara kamu hanya memberi alamat dekat lampu bangjo, aku kesasar sampai jauh sekali, sebab lampu itu mati dan hari sudah malam sehingga tidak tampak kalau ada lampu bangjo. Aku pun harus kembali naik angkutan dan bertanya sana sini untuk menemukan daerahmu. Sampai daerahmupun aku lupa nomor rumahmu. Untung aku masih ingat nama ayahmu, sehingga agak mudah menemukan rumahmu. Kitapun saling ejek atas kekeliruan ini. Syukurlah kamu punya ibu yang sangat baik, sehingga beliau repot membuatkan minuman hangat dan air hangat untuk mandiku.

Nok, mengenang semua ini aku jadi sedih. Dua tahun kita satu kamar tidur. Banyak kisah lucu ala seminaris kita alami. Tapi kini semua tinggal kenangan. Kau sudah tidak bisa ketemui lagi. Untuk mengunjungi kuburmu pun aku tidak bisa, sebab tubuhmu belum ditemukan. Ah Nok,...masih terbayang kecerianmu di Dili. Kau bersemangat sekali sebab sebentar lagi akan ditahbiskan. Aku pun mengejekmu akan datang ke tahbisanmu, hanya untuk menumpangkan tanganku di atas rambutmu yang sering diejek mambu kloso. Tapi, aku tahu kau hanya bergurau, tidak akan mengundangku. Tidak ingin aku menumpangi tangan. Ah...jahat sekali kamu Nok. Sungguh Nok, aku sedih.


Tapi aku bangga padamu. Sungguh! Aku kagum padamu! Kagum pada pilihanmu. Mati diantara umatmu. Kemarin aku sedikit ngobrol dengan beberapa teman cerita soal cara matimu. Ada yang berkomentar bahwa itu konyol, sebab berani menantang maut. Harusnya kau mengungsi keluar kota bersama para seminaris. Tapi kau memilih bertahan di parokimu. Berani menghadapi para perusuh bersenjata. Berani tanpa berpikir adalah konyol. Kali ini kau kubela, Nok. Menurutku kita memang harus konyol. Yesus pun tahu bahwa Dia akan ditangkap dan disalibkan. Dia ketakutan di taman Getsmani. Tapi Dia tidak lari dari Yerusalem. Apakah Dia tidak konyol? Konyol! Yesus juga konyol. Dia menyongsong kematianNya.

Aku kagum kau tidak lari. Kau bertahan bersama umatmu. Aku yakin bahwa saat itu umatmu membutuhkan kau berada di tengah tengah mereka. Umatmu penuh ketakutan dan kau berada di tengah tengahnya. Ini peneguhan yang tidak ternilai, meski kau harus merelakan tubuhmu dihilangkan. Bukan hanya nyawamu saja. Memang ada yang berpendapat bahwa dengan pergi kau bisa meneruskan perjuangan mereka. Kau bisa memberikan laporan pandangan mata tentang kekejaman mereka. Kau bisa mengorganisir perjuangan dari luar. Tapi, Nok, kau pilih mati bersama mereka.

Aku bersyukur atas pilihanmu, sehingga Yesus tidak perlu lagi datang dan menemuimu di tengah jalan dengan memikul salib. Dan kau tidak perlu lagi bertanya Quo vadis Domine? Kau hebat Nok! Mau tetap memikul salibmu, sehingga Yesus tidak perlu menggantikanmu ditembak di tengah umatmu. Ada yang komentar, bahwa kau akan lebih berguna jika masih hidup dari pada mati dengan cara seperti ini. Tapi sekali lagi aku membelamu Nok. Mungkin saat Petrus meninggalkan Roma, umatpun senang, sebab Petrus bisa mengembangkan kekristenan di luar Roma. Tapi Yesus berjalan menuju Roma. Petrus pun malu dan kembali ke Roma untuk mati disalib. Ternyata kematian Petrus tidak memusnahkan Gereja. Darah Petrus terus mengalir dan menjadi rabuk tempat bersemainya Gereja baru. Aku yakin Nok, darahmu pun akan membuat Gereja Timor Timur khususnya, dan Indonesia pada umumnya, akan tumbuh subur dan berkembang.

Nok, sekali lagi aku kagum padamu. Kau dalam diam membuka mataku tentang keberanian, tentang kecintaan pada umat, tentang hakekat panggilan hidup kita, yaitu mengikuti Yesus yang berjalan menuju bukit Golgota, tentang salib yang harus kita pikul. Aku yakin Nok, pilihanmu ini tidak akan mengangkatmu menjadi orang terkenal di seluruh dunia. Kau tidak akan dilirik oleh panitya Nobel untuk diberi nobel perdamaian. Kau tidak akan mendapat tepukan dimana mana. Kau tidak akan jadi orang terkenal. Kau akan tetap menjadi Rm. T. Dewanto SJ yang mati ditembak di TimTim. Kau hanya diingat dan dicatat sebagai kurban.


Tapi Nok, aku percaya bahwa kematianmu tidak sia sia. Kau bukan kurban yang memang harus jatuh, konsekwensi logis, akibat revolusi. Kau tidak salah dengan pilihanmu. Aku bahkan iri padamu. Sebab kau bertemu Yesus dan bisa menunjukan luka tembakmu. Sedang aku Nok. Apa yang bisa aku tunjukan pada Yesus? Luka luka aku belum punya. Apakah Yesus akan memperhitungkan aku, sebab beberapa kali nulis di p net? Apakah aku bisa membanggakan diri dihadapan Yesus dengan menunjukan kedudukanku sebagai ketua komisi? Apakah Yesus akan menerimaku di surga jika kutunjukan bahwa aku direktur sebuah yayasan? Seandainya aku jadi uskuppun, apakah bisa Yesus langsung mempersilahkan diriku masuk surga? Bahkan seandainya semua orang di dunia tahu bahwa aku penerima nobel perdamaian dan dicatat oleh para tokoh politik sebagai pejuang, apakah Yesus lalu mengagumiku dan menerimaku dengan penuh suka cita? Ah, Nok....kau telah diterima di surga. Bukan dengan gelar atau prestasi yang hebat, tapi dengan keberanian pilihanmu untuk bersama Yesus di TimTim.

Akhirnya Nok, aku ucapkan SELAMAT JALAN KAWAN. Aku bangga padamu. Aku akan berdoa khusus bagimu dengan hati yang merintih pedih. Hanya ini yang bisa kulakukan. Maaf!

silakan baca selanjutnya "SELAMAT JALAN NOK" ...

AKU HANYALAH ANAK KOPRAL ANUMERTA

0 komentar

Saya adalah anak seorang kopral anumerta. Ya! Benar! Bapak adalah seorang anggota ABRI yang berpangkat kopral. Dia sudah tewas tertembak dalam suatu pertempuran maka dibelakangnya diberi tambahan anumerta.

Bapak bagi saya adalah sosok pribadi yang menyenangkan. Disetiap kesempatan luang, dia mengajak ibu, dua adik dan saya jalan jalan. Kami hanya jalan jalan menikmati keindahan kota. Sebelum jalan jalan bapak atau ibu senantiasa berpesan agar kami tidak boleh meminta apa apa. Kalau bapak atau ibu punya uang, maka kami akan dibelikan sesuatu, entah mainan yang dijual di emper toko atau kue kue di pedagang kaki lima. Kata ibu gaji bapak sangat kecil, sehingga tidak mungkin kami beli mainan di toko atau makan di restoran. Bapak hanyalah seorang prajurit. Tapi meski hidup susah, saya bangga pada bapak. Apalagi kalau melihat bapak dengan seragam lengkap. Dia tampak gagah dan tampan.

Kedekatan saya dengan bapak tidaklah lama. Saya masih kelas tiga SD ketika bapak mendapat tugas ke Timor Timur. Saya sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Ibu hanya bilang bahwa Timor Timur itu jauh di timur negara Indonesia. Malam sebelum berangkat bapak mengambil peta Indonesia dan menunjukan dimana tempat yang namanya Timor Timur. Suatu daerah kecil yang diberi warna lain, sebab tidak termasuk negara Indonesia. Bapak menjelaskan bahwa dia bersama teman temanya harus naik kapal laut selama beberapa hari baru bisa mencapai tempat tersebut.

Kata ibu bapak kesana akan berjuang. Ini sudah menjadi tugas seorang prajurit yaitu siap diperintah kemana saja dan berjuang melawan musuh. Saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak disana. Saya juga tidak tahu pasti siapa musuh bapak di sana. Apakah berjuang melawan penjajah seperti cerita kakek yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Atau berjuang melawan pemberontak seperti cerita kakek tentang pemberontakan Kahar Muzakar, RMS, DI/TII atau yang lain. Saya tidak tahu, ibu pun tidak tahu. Maklum ibu bukan orang yang berpendidikan tinggi. Kami juga kekurangan informasi, sebab tidak berlangganan surat kabar. Kami tidak mempunyai uang untuk berlangganan surat kabar. Beberapa kali saya melihat bapak membaca surat kabar yang dibeli eceran atau hasil dari pinjam ke tetangga. Kami juga tidak mempunyai TV. Ini suatu barang yang sangat mewah. Yang kami punya hanya radio kecil dan hanya bisa menangkap siaran radio amatir. Atasan bapak juga tidak menjelaskan dengan rinci untuk apa dia harus mengirim bapak kesana. Menurut bapak, dia hanya mengatakan bahwa sebagai prajurit yang menjalankan sapta marga, dia harus siap untuk diutus kemana saja. Maka ibu tidak bisa menjelaskan mengapa bapak harus berjuang di Timor Timur.

Bapak sendiri tidak tahu apa yang terjadi di Timor Timur. Dia hanya mengatakan bahwa di sana terjadi kerusuhan dan sebagai prajurit, dia harus mengamankan negara dari kerusuhan. Ini perintah dan harus ditaati. Sampai bapak berangkat saya tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak. Apa yang menyebabkan kerusuhan. Siapa yang dianggap perusuh. Saya sendiri tidak tahu apa arti kata berjuang bagi seorang prajurit ABRI. Yang saya tahu pasti ialah bahwa bapak mendapat tugas pergi ke Timor Timur bersama teman temannya. Kedua, hal itu berarti bahwa saya akan lama untuk tidak bertemu dengan bapak. Saya hanya akan memandang foto bapak yang gagah dalam seragam prajurit marinir.

Sebulan bapak tidak terdengar kabar beritanya. Bagi ibu ini hal biasa. Ibu sudah tahu konsekwensi istri prajurit. Dia akan sering ditinggal pergi oleh suaminya. Tapi saya tidak senang bapak pergi terlalu lama. Saya kangen dengan bapak. Saya kangen belaian tangannya yang kasar. Saya kangen digendong belakang. Saya kangen diajak jalan jalan. Saya kangen untuk menunjukan pada teman teman bahwa bapak saya adalah seorang ABRI yang sangat gagah dalam pakaian seragamnya. Saya kangen bapak. Saya yakin ibu juga kangen, tapi tidak ditunjukan pada kami. Saya juga yakin bahwa adik adik kangen pada bapak, tapi mereka tidak bisa mengungkapkan, sebab mereka masih umur 3 th dan 4 bulan. Saya yang sudah besar, sudah klas 3 SD, dapat merasakan rasa kangen itu dan mengungkapkannya.

Hampir menginjak bulan kedua bapak belum juga pulang. Beberapa kali saya tanya ibu, kapan bapak kembali. Ibu selalu mengatakan tidak tahu atau kalau keadaan sudah aman. Kata ibu situasi di Timor Timur sangat berat dan gawat. Beberapa teman bapak tewas di sana. Ada yang pulang tapi mengalami gangguan jiwa. Dia sering teriak teriak pada malam hari dan sangat ketakutan dalam gelap. Padahal dulu dia pemberani. Kalau tidak pasti dia tidak akan jadi prajurit. Tapi kini dia menjadi penakut dan sikapnya aneh. Pernah dia menangkap cicak di rumah kami, langsung dimakan. Tentu saja saya jadi jijik. Kata ibu teman bapak itu mengira bahwa dia masih di Timor Timur. Ada juga teman bapak yang pulang dengan menyandang cacat tubuh. Ada yang kakinya hilang satu ada yang tangannya hilang. Melihat teman bapak itu, saya jadi takut. Jangan jangan bapak pulang nanti menjadi seperti itu. Tapi bapak belum pulang, maka saya hanya bisa berdoa semoga bapak bisa cepat pulang dan tidak berubah. Masih seperti bapak yang dulu.

Menginjak beberapa hari setelah bulan kedua, seorang tentara datang ke rumah kami. Saya tidak tahu apa yang dia ceritakan. Yang saya tahu tiba tiba ibu menjerit dan menangis histeris, sampai beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Melihat ibu menangis semua adik juga ikut menangis. Tapi saya tidak, sebab tidak tahu mengapa ibu menangis. Banyak tetangga yang berkumpul di rumah kami sampai tentara itu pergi. Saya melihat ibu beberapa kali pingsan. Jika sadar dia berteriak teriak memanggil nama bapak. Saya mengira ibu bertengkar dengan tetantara itu dan memanggil bapak untuk membelanya. Akhirnya saya bertanya pada ibu apa yang terjadi. Dengan sedih tetangga sebelah menceritakan bahwa bapak saya tewas ditembak. Ya bapak saya tewas dalam berjuang, meski saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan. Bapak juga tidak menjelaskan apa yang diperjuangkan.

Bapak tewas. Saya tidak berani mengatakan bapak gugur. Kata itu hanya untuk para pahlawan dan para tentara yang mempunyai pangkat. Bapak bukan pahlawan. Dia juga bukan perwira. Dia hanya seorang prajurit yang mati ditembak. Saya kehilangan bapak. Padahal saya masih membutuhkan bapak. Apalagi adik adik. Tentu si bungsu tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Dia hanya akan tahu dari sebuah foto di ruang tamu. Saya sedih sekali. Bapak telah ditembak. Saya tidak tahu siapa yang menembak bapak. Saya tidak tahu apakah yang menembak bapak bisa disebut musuh atau bapaklah yang dianggap sebagai musuh. Saya tidak tahu siapa yang benar, siapa yang dibela, siapa yang diperjuangkan. Yang saya tahu dengan pasti ialah bahwa bapak diperintahkan untuk pergi ke Timor Timur dan mati ditembak orang di sana.

Beberapa minggu kemudian peti mati bapak datang. Ibu histeris di depan peti mati. Tapi bapak tetap mati. Sebetulnya saya ingin sekali melihat wajah bapak yang gagah untuk terakhir kalinya. Tapi ada larangan untuk membuka peti mati. Saya tidak kuasa dengan perintah itu. Ibu pun tidak kuasa menolak perintah atasan bapak. Ibu harus percaya bahwa yang ada dalam peti mati itu adalah jenasah bapak. Betapa sedihnya hati saya. Untuk melihat wajah bapak yang terakhir saja tidak bisa. Dengan berderai air mata, saya mengatar bapak ke pemakaman. Dalam pemakaman ada beberapa sambutan yang saya sendiri tidak tahu apa yang dikatakan oleh atasan bapak. Hanya yang saya tahu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang dan sebuah tanda penghargaan. Ganti nyawa bapak adalah uang yang ada dalam amplop dan selembar kertas yang katanya berisi tanda penghargaan atas keberanian bapak dalam membela negara. Saya nangis saat itu. Saya tidak mau nyawa bapak diganti oleh lembaran itu. Saya lebih memilih bapak tidak mendapat tanda jasa dan kenaikan pangkat, dari pada harus kehilangan bapak yang saya cintai.

Ternyata bapak bukanlah satu satunya dan yang terakhir. Masih banyak teman teman bapak yang tewas atau pulang dengan cacat. Mereka pada umumnya adalah prajurit dengan pankat rendah. Saya belum mendengar seorang jendral yang tewas atau pulang dengan cacat tubuh. Tapi hal ini semakin membanggakan saya bahwa bapak jauh lebih berani berjuang dari pada para jendral, sebab buktinya bapak berani tewas ditembak, sedangkan para jendral pulang dengan selamat. Tapi merekalah yang terkenal, sedangkan bapak tetap sebagai kopral anumerta, yang tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Bapak hanyalah seorang prajurit yang harus taat pada perintah atasan bahkan siap mati demi membela bangsa dan negara.

Sampai kini kesedihan terus berlanjut. Kehilangan bapak dan kemiskinan akibat pensiun bapak yang kecil tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Ibu dan saya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tapi hal yang sangat menyedihkan saya saat ini ialah bapak dan teman teman dicaci maki sebagai biang kerusuhan saat ini. Bapak menjadi tentara bukan untuk menindas, tapi punya tujuan mulia yaitu mempertahankan negara dan bangsa dari serangan musuh, seperti kakek dulu mempertahankan negara dari serangan Belanda. Saya yakin kalau boleh memilih bapak pasti menolak untuk pergi ke Timor Timur. Dia berangkat kesana karena taat pada perintah atasan. Disana dia pasti pernah menembak dan dia mati terkena tembakan. Oleh siapa? Musuh bangsa? Pejuang bangsa? Saya tidak tahu.

Saat ini banyak orang mengkritik bapak dan teman teman bahwa dia melakukan kekerasan di Timor Timur. Bapak bukan orang yang suka kekerasan. Dia pasti menembak supaya tidak mati ditembak. Tapi toh akhirnya dia ditembak. Pengurbanan nyawa bapak tidak ada gunanya, bahkan saya saat ini malu jika ingin mengatakan bahwa bapak adalah ABRI yang berangkat ke Timor Timur pada tahun 1976. Bukan saya tidak bangga dengan bapak, tapi saya tidak tahan dengan ejekan sebagai anak ABRI yang mendapat nilai jelek sekali dihdapan teman teman. Seolah apa yang dilakukan bapak adalah kesalahan besar, padahal bapak hanya seorang prajurit yang harus taat pada pimpinan.

Di depan kuburan bapak saya hanya bisa mengeluh pada sebuah batu nisan. Saya ingin protes mengapa bapak dulu memilih sebagai tentara, mengapa bukan sebagai pekerja pabrik, kantor, bahkan tukang becak atau pemulung sekalipun. Mengapa bapak memilih menjadi tentara? Mengapa bapak mau dikirim ke Timor Timur? Apakah itu dosa bapak, sehingga banyak orang sekarang sinis pada saya yang mengatakan bahwa bapak adalah salah satu tentara yang dikirim ke Timor Timur pada tahun 1976? Pernah ibu meneguhkan saya, ketika saya digelisahkan oleh persoalan ini. Ibu mengutip dari Injil Yohanes, "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah dia yang melemparkan batu yang pertama pada perempuan itu." Saya hanya berdoa semoga bapak hanyalah sebagai perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Dai harus diadili sedang yang lelaki tidak diadili oleh masa. Bapak dan teman teman harus diadili sedangkan yang berkepentingan tidak diadili. Dan yang mengadili bapak adalah masa yang sebenarnya juga penuh dengan dosa, sering berbuat kekerasan, tidak adil, penindas. Ini meneguhkan saya agar saya tidak melihat nyawa bapak sebagai sebuah kesia siaan.

Tapi bagaimanapun juga salib masih harus kami pikul. Kemiskinan, status kami sebagai anak piatu, kerinduan kami pada bapak yang tidak mungkin dipenuhi dan terlebih nama jelek bapak karena dia adalah tentara. Ya, saya hanyalah anak seorang kopral anumerta. Seorang kopral yang katanya membela nusa dan bangsa sehingga harus menyerahkannya nyawanya.

silakan baca selanjutnya "AKU HANYALAH ANAK KOPRAL ANUMERTA" ...

SEBOTOL MINYAK GORENG

0 komentar

Suatu hari ibu menyuruhku untuk membeli minyak goreng. Aku mengajak adikku untuk pergi ke warung yang tidak seberapa jauh dari rumah. Dalam perjalanan pulang kami berkejaran di pematang sawah. Namun sial, aku terjatuh dan terperosok masuk ke sawah. Akibatnya botol minyak pecah dan minyak tumpah di sawah. Sejenak kami termangu. Kami sudah membayangkan wajah ibu yang akan marah dan ngomel lama sekali. Kami tahu bahwa uang ibu tidak banyak, sehingga setiap pengeluaran sangat diperhitungkan.

Kami duduk tanpa bicara. Ada perasaan takut, sedih, menyesal dalam hati. Kami hampir menangis, bukan karena hanya takut dimarahi, namun menyesal telah memecahkan botol minyak. Kami menyesali tindakan kami yang tidak hati-hati. Kami sedih mengingat bahwa ibu harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli minyak, padahal kami sangat miskin. Namun semua sudah terjadi. Dengan perasaan yang bercampur aduk kami berjalan pulang.

Dengan langkah berat kami menyusuri jalan pulang. Kami tidak bicara sesuatu pun. Semakin mendekati rumah, hati kami semakin takut dan galau. Kami melihat ibu duduk di teras rumah dengan seorang tamu. Semakin dekat dengan teras, kakiku semakin berat. Ingin rasanya menangis. Di teras kulihat ibu tersenyum. Dengan lembut dia tanya mana minyak yang harus kami beli? Sejenak aku hanya bisa tertunduk takut menatap wajah ibu. Dengan suara bergetar aku katakan bahwa minyaknya tumpah di sawah. Aku sempat melirik wajah ibu. Ibu tetap tersenyum. Lalu dengan lembut dia menyodorkan uang dan menyuruhku untuk membeli minyak lagi dengan peringatan agar aku tidak lari-lari lagi di sawah.

Perkataan ibu itu bagiku sebagai suatu berkat. Aku sangat bahagia sekali. Sepertinya ada beban besar yang terlepas dari diriku. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan dan memeluk ibu saat itu juga. Aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkirakan. Aku yang bersalah dan ketakutan akibat kesalahanku, ternyata tidak dipersoalkan oleh ibu. Meski sedih ibu memberiku uang lagi. Ibu mempercayaiku lagi tanpa kemarahan yang aku bayangkan selama perjalanan ke rumah. Tanpa komando untuk kedua kali aku langsung berlari ke warung lagi dengan penuh suka cita.

Pengalaman ini membuatku bisa merasakan betapa bahagianya si anak bungsu yang diterima lagi oleh bapanya (Luk 15:11-32). Dia tidak hanya diterima bahkan dibuat spesial dengan perhiasan dan pesta. Dia yang telah berdosa dan takut akan bapanya, ternyata ketakutannya itu tidak terjadi bahkan sebaliknya menjadi suka cita. Aku yakin meski tanpa pesta pun anak itu sudah menjadi bahagia, sebab bapanya menerima dia kembali. Dia pun sudah menetapkan sejak mau berangkat pulang bahwa dia akan menjadi pegawai bapaknya. Dia sadar akan ketidakpantasannya dan akan dosa-dosanya yang seharusnya mendapatkan hukuman. Namun bapanya memberikan jauh lebih besar dari apa yang dia harapkan. Bapanya tidak saja mengatakan bahwa dia mengampuni, namun memberikan hal yang sangat spesial. Kebahagiaan anak bungsu ini menjadi berlipat dan tidak terkatakan.

Salah satu pesan Yesus dalam Injil hari ini adalah aku mewartakan berita tentang pertobatan dan pengamunan dosa (Luk 24:46-53). Kamu adalah saksi akan semua itu. Yesus datang dan mengampuni dosaku. Dosa-dosaku yang tidak terhitung diampuniNya. Aku yang penuh dosa Dia terima tanpa memberikan hukuman. Aku tetap diangkatNya sebagai anak bukan budak atau hamba. Bahkan Dia menjanjikan akan kebahagiaan surgawi. Inilah suka cita yang tidak terperikan. Suka cita bukan karena Tuhan memberikan kelimpahan harta, namun suka cita pengampunan dosa. Aku yang berdosa dan selalu berbuat dosa diampuni dan selalu diampuniNya. Aku selalu diterima dan ditunggu kapan aku akan kembali padanya. Inilah kebahagiaan akan kasih Allah yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Aku bersuka cita, sebab aku yang penuh dengan dosa diampuni Allah. Namun mengapa aku sulit untuk mengampuni sesama? Aku tidak ubahnya seperti perumpamaan yang ditulis dalam Mat 18:21-35. Aku seperti hamba yang memohon belas kasih pada Allah untuk melepaskan hutang-hutangku, namun aku tidak mau melepaskan hutang orang yang berhutang padaku. Aku memohon agar Allah mengampuni dosaku, namun aku tidak mau mengampuni dosa sesamaku. Aku ingin mendapatkan suka cita pengampunan, namun aku tidak mau memberikan suka cita itu pada sesama. Aku merasa Allah wajib mengampuniku, namun aku tidak wajib mengampuni sesamaku. Aku bebas menyakiti hati Allah, namun aku tidak boleh disakiti. Bagaimana seandainya aku menjadi Allah yang harus senantiasa mengampuni sedang orang yang aku ampuni tidak mau mengampuni? Aku akan sakit hati sekali bagai raja dalam perumpamaan itu. Maka pantaslah raja itu menghukum hamba itu.

Disinilah butuh kesadaran diri. Kesadaran akan dosa-dosaku yang besar dihadapan Allah, namun Dia tetap mau menerimaku. Kesadaran bahwa aku sebenarnya tidak pantas menerima tubuh Kristus karena dosa-dosaku, namun aku tetap memberanikan diri untuk menerimanya. Dan aku merasa suka cita atas peristiwa ini. Kesadaran pengalaman inilah menjadi titik tolakku untuk mengampuni sesamaku yang dosanya tidak sebesar dosaku pada Allah. Jika aku tidak memiliki pengalaman diampuni Allah, maka aku juga sulit mengampuni, sebab aku tidak pernah merasakan betapa bahagianya diampuni itu. Seandainya aku tidak pernah memiliki pengalaman diampuni ibuku sebab memecahkan botol minyak, maka aku juga tidak pernah merasakan betapa bahagianya pengampunan itu. Seandainya banyak orang mengalami dan menyadari semua ini, maka dunia akan lebih membahagiakan....

silakan baca selanjutnya "SEBOTOL MINYAK GORENG" ...
 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks