Minggu, 20 September 2009

SETAHUN LUMPUR LAPINDO


Sudah setahun lebih lumpur panas yang menyembur dari galian tambang minyak di desa Renokenongo belum surut. Semburan itu bermula pada hari Senin, 29 Mei 2006 di desa Renokenongo. Sekarang semburan lumpur itu sudah menenggelamkan 4 desa yaitu desa Renokenongo, Kedungbendo, Siring dan Jatirejo serta satu perumahan yaitu perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 atau TAS 1. Semburan lumpur panas ini bermula dari usaha PT Lapindo Brantas Inc, anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk, yang akan mengadakan eksplorasi minyak dan gas bumi di lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 yang terletak di desa Renokenongo. Namun karena ada “kesalahan” dalam cara pengeboran maka terjadi semburan lumpur panas yang sampai saat ini belum bisa dikendalikan.

Pada awalnya memang PT Lapindo Brantas Inc tidak mengakui kesalahan itu, bahkan mereka menyalahkan gempa yang terjadi di Jogjakarta dua hari sebelum terjadinya semburan. Menurut mereka gempa yang terjadi di Jogjakarta dengan kekuatan 5,9 skala Richter menyebabkan adanya lempengan bumi yang putus sehingga menyebabkan semburan lumpur. Namun beberapa ahli mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin, sebab jarak Jogjakarta dan Porong cukup jauh, sekitar 259 km, sehingga getaran gempa yang cukup kuat dan merusak tidak akan mencapai Porong. Menurut dokumen rapat PT Lapindo Brantas Inc pada 18 Mei 2006 ditulis bahwa PT Medco Energi sebagai pemegang 32 % saham Lapindo telah mengingatkan agar memasang selubung pengaman, sebab pihak Lapindo hanya memasang selubung pengaman hanya sampai kedalaman 3580 kaki, padahal pengeboran sudah mencapai 9297 kaki. Kesalahan ini mengakibatkan terjadinya ledakan akibat pecahnya sumur pengeboran, sehingga lumpur menyembur keluar dengan ketinggian 40 m dengan jarak 150 m dari pusat pengeboran pada tanggal 29 Mei 2006.

Dengan demikian PT Lapindo telah melakukan kesalahan fatal dalam pengeboran. Namun hal ini pun dapat dipertanyakan apakah ini sebuah kesalahan perhitungan manusiawi atau kesengajaan? Beberapa media mengatakan ini kesalahan perhitungan, sehingga beberapa orang yang bertanggung jawab diajukan ke pengadilan meski sampai saat ini kasusnya tidak jelas apakah sudah diputuskan bersalah atau tidak. Namun bila dilihat dari dokumen pertemuan pada tanggal 18 Mei 2006 nampak bahwa luapan lumpur adalah sebuah kesengajaan. Pertanyaan berikut adalah mengapa ada kesengajaan? Hal ini kemungkinan terkait dengan pembebasan tanah. Sering terjadi pembebasan tanah menjadi soal yang sulit dan berkepanjangan sehingga menghabiskan dana dan waktu. Dengan adanya lumpur maka mau tidak mau penduduk menyerahkan tanahnya kepada PT Lapindo Brantas.

Sebetulnya kehadiran PT Lapindo di Porong sudah mendapat penolakan sejak awal mula. Seorang tokoh desa Jatirejo menceritakan bahwa semula PT Lapindo hendak mengadakan pengeboran di desa Jatirejo. Namun ditolak sebab mereka kuatir akan dampak negatif akibat pengeboran itu. PT Lapindo akhirnya membeli tanah di desa Renokenongo yang berbatasan dengan desa Jatirejo. Mengapa lurah Renokenongo mengijinkan? Apakah dia tidak tahu bahwa tanah itu akan menjadi ladang minyak? Seorang penduduk Renokenongo mengatakan bahwa pada awalnya mereka mengira tanah itu akan dijadikan lahan peternakan, sebab berita itulah yang tersebar. Maka mereka tidak curiga ketika banyak alat berat datang. Mereka sadar bahwa berita itu bohong ketika lumpur sudah menyembur. Dengan demikian tampaknya ada kesengajaan dari pihak PT Lapindo untuk menutupi usahanya agar dapat diterima oleh rakyat. Mengapa harus ditutupi?

Semburan lumpur panas itu menyebabkan ribuan orang mengungsi. Mereka kehilangan, rumah, harta benda dan kehidupannya. Pada umumnya penduduk 4 desa adalah petani dan penggarap sawah. Kini sawah mereka telah tenggelam oleh lumpur, maka mereka kehilangan penghidupannya. Mereka menjadi penggangguran. Sebagian orang yang bukan petani biasanya mempunyai usaha kecil seperti warung, toko dan usaha-usaha kecil lain. Dengan meluapnya lumpur maka mereka terpaksa menutup semua usaha mereka. Memang mereka dapat membangun kembali usahanya di tempat lain namun hal itu tidak mudah. Mereka semua harus memulai kehidupannya dari titik nol kembali.

PT Lapindo memang telah berusaha mengganti kerugian yang diderita oleh penduduk. Namun ganti rugi hanya dihitung dari luas tanah, bangunan dan sawah. Mereka tidak menghitung kerugian akibat hilangnya matapencaharian penduduk. Ganti rugi tanah, bangunan dan sawahpun masih banyak sekedar janji dan aneka alasan yang menjadi batasan yang sangat memberatkan penduduk. Boleh dikatakan sampai saat ini bahwa Lapindo belum memberi ganti rugi yang sepadan kepada penduduk. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat ternyata kurang berpihak pada kurban. Pemerintah mengeluarkan Perpres 13 tahun 2006 yang dikeluarkan tanggal 8 September 2006 mengenai pembentukan Timnas dengan tugas penutupan semburan lumpur; b. penanganan luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial. Namun setelah berjalan berbulan-bulan ternyata tugas itu tidak dapat berjalan dengan baik. Lumpur tetap menyembur dengan besar dan kurban tetap dalam kekurangan. Tampaknya pemerintah yang sudah dikuasai oleh pengusaha kurang berpihak pada kurban. Pemerintah pun mengeluarkan Perpres 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang didanai oleh APBN (pasal 14). Namun Perpres ini pun sangat merugikan kurban terutama pasal 15 dan sangat menguntungkan PT Lapindo. Kurban dapat ganti rugi tanah dan rumah seluas yang disahkan oleh akta pemerintah. Padahal banyak warga yang tanahnya belum memiliki sertifikat. Rumah mereka pun luasnya banyak yang tidak sesuai dengan IMB yang disahkan oleh pemerintah. Dengan demikian rakyat dirugikan. Selain itu pembayaran dicicil sebesar 20% dan sisanya akan dilunasi selama 2 tahun. Apakah 20% cukup untuk membuat rumah baru atau memulai usaha baru yang dapat menghidupi selama 2 tahun? Selain itu banyak keluarga yang hidup bersama di sebuah rumah, sebab mereka masih sanak saudara. Bila ganti rugi rumah hanya 20% maka dibagi beberapa keluarga. Maka setiap orang akan mendapat ganti rugi yang sangat kecil. Janji pembayaran uang muka 20% itupun sampai saat ini masih beberapa penduduk yang mendapatkannya. Selain itu tanah yang akan mendapat ganti rugi dari pihak PT Lapindo hanya tanah dan rumah yang tenggelam lumpur sampai 22 Maret 2007. Bila terjadi kurban baru setelah tanggal 22 Maret 2007 maka bukan tanggung jawab PT Lapindo melainkan akan dibebankan pada APBN. Hal ini sangat menguntungkan PT Lapindo. Perpres ini membantu PT Lapindo sehingga segala kerusakan infrastruktur akan dibebankan pada APBN. Dari sini dapat dilihat bahwa pemerintahpun tidak berkuasa menghadapi sebuah perusahaan atau pemilik modal, sehingga pemerintah mau menjadi kurban para pemilik modal dan tidak berpihak pada rakyat yang menjadi kurban para pemilik modal.

Dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Jadi, unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari:
1. Perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencakup perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
2. Perbuatan sebagaimana dimaksud di atas mengandung kesalahan;
3. Mengakibatkan kerugian; dan
4. Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian.

Dari pasal ini jelaslah seharusnya PT Lapindo membayar semua kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya yang ceroboh. Tidak perlu ada pengecualian dan aneka alasan yang berbelit misalnya verifikasi akta tanah dan bangunan dan sebagainya. PT Lapindo telah menimbulkan kerugian bagi warga 4 desa, maka wajib membayar ganti rugi atau membersihkan lumpur dari keempat desa tersebut sehingga semua warga dapat kembali ke desanya masing-masing. Namun pasal ini diabaikan dengan aneka alasan. Pemerintah pun yang seharusnya melindungi rakyat tampaknya dapat dikendalikan oleh para pemilik modal. Bahkan presidenpun tampaknya tidak peka. Dia tetap mendudukan Aburizal Bakrie, sebagai pemilik PT Energi Mega Persada Tbk, induk PT Lapindo Brantas Inc, sebagai menteri. Bagaimana orang yang telah menyensarakan ribuan rakyat masih dapat duduk sebagai menteri Kesejahteraan Rakyat. Kesejahteraan apa yang ditawarkan dan dilakukan oleh menteri Abu Rizal Bakrie?

Kasus Lapindo menunjukkan bahwa faham neoliberalisme sudah mengakar di bumi Indonesia. Neoliberalisme adalah faham dimana kekuatan modal diatas segalanya. Bila dulu kekuatan negara terletak di tangan birokrat dan militer, namun dalam neoliberalisme kekuatan negara terletak ditangan para ekonom dan pemilik modal. Birokrat dan militer hanya pendukung dari kekuatan pemilik modal. Hal ini tampak jelas dari keputusan presiden yang tampak dikendalikan oleh PT Lapindo. Bila demikian apakah rakyat akan mendapat ganti rugi yang sepadan? Itu hanya terjadi dalam impian.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks