Minggu, 20 September 2009

SENYUM

Seorang ibu muda dengan anaknya yang masih balita duduk tidak jauh dari tempatku. Anaknya perempuan dan sangat cerewet sehingga banyak hal dikomentari dengan keluguan seorang anak kecil. Seorang pramugari yang lewat sempat berhenti dan tersipu-sipu ketika anak itu mengatakan pada ibunya tante itu canti. Orang sekitar tempat duduk mereka sangat gemes melihat kelucuan anak perempuan itu. Aku pun tersenyum-senyum mendengar anak itu mempertanyakan aneka hal. Mulai dari pesawat mengapa bisa terbang sampai bagaimana kalau mau pipis nanti.

Tidak berapa lama kemudian pesawat mulai bergerak dan meninggalkan landasan pacu. Anak itu masih bernyanyi gembira. Ketika pesawat semakin tinggi, tiba-tiba anak itu menangis dan ingin turun sebab telinganya sakit. Suara tangis anak itu membuat beberapa orang menjadi gelisah. Beberapa orang memandang ibu itu dengan tatapan kurang senang. Beberapa pramugari berusaha menghibur dengan memberi permen dan kue tapi anak itu tetap menangis minta turun. Ibu itu menjadi gelisah. Dia sungkan dengan penumpang yang lain. Aku pun menjadi gelisah, sebab merasa terganggu dengan suara tangisan anak itu yang cukup keras.

Aku mencoba membaca novel yang kubawa. Tapi tidak ada satupun kalimat yang kupahami sebab konsentrasiku terganggu oleh suara tangisan anak itu. Ibu itu sudah berusaha menenangkan anaknya tapi tidak berhasil. Semakin lama orang semakin gelisah. Beberapa orang terlibat untuk menenangkan, tapi tidak berhasil.

Sambil menatap awan putih di sekitarku aku mulai bertanya, mengapa aku gelisah? Aku yakin kekerasan suara tangis anak itu tidak jauh berbeda dengan suara tawanya. Mengapa ketika anak itu menyanyi dan tertawa aku tidak gelisah, sedangkan sekarang aku gelisah? Mengapa aku jadi terganggu oleh suara yang sebetulnya sejak sebelum pesawat berangkat tadi sudah memenuhi sebagian ruang pesawat? Saat anak itu bertanya dan bernyanyi aku sangat gemes melihatnya, namun ketika anak ini menangis aku menjadi jengkel. Apakah yang beda dengan anak itu? Anak itu tetap sama, hanya suasana hatinya yang berbeda.

Maka persoalan bukanlah kekerasan suara anak itu melainkan suasana yang dibangunnya. Kegembiraan dan kesedihan. Kegembiraan anak itu mampu menebarkan kegembiraan pada orang sekitarnya. Demikian pula kesedihannya. Orang tidak suka dengan suasana sedih. Mungkin di dalam hatinya yang terdalam juga ada rasa sedih yang ingin dilupakan atau dipendam sehingga ketika ada suara tangis, kepedihan yang berusaha dilupakan muncul dan menggelisahkan. Aku bukan seorang psikolog atau yang mempelajari ilmu manusia. Aku hanya tahu tangisan anak itu membuat orang lain gelisah.

Orang membutuhkan kegembiraan. Suasana gembira. Namun suasana kegembiraan rupanya semakin sulit ditemukan. Sejak aku duduk di ruang tunggu bandara sampai duduk di dalam pesawat, aku melihat wajah-wajah yang diam. Tidak ada senyum. Kecuali jika dia mengobrol dengan temannya. Namun orang-orang sendirian sepertiku, semua diam. Mungkin mereka sudah penuh dengan persoalan atau capek atau memang sedang sedih atau ingin tertawa tapi tidak tahu mengapa harus ketawa. Maka ketika anak tadi menawarkan kegembiraan semua orang menjadi ikut tersenyum. Mereka mendapatkan kepenuhan dari sesuatu yang diinginkannya.

Jika semua orang membutuhkan suasana yang gembira, mengapa banyak orang tidak mau menciptakan kegembiraan? Mengapa orang sulit untuk tersenyum kepada sesama? Apakah malu atau menjaga harga diri? Apakah jika mendahului senyum akan dilihat rendah oleh orang lain? Aku rasa tidak. Tapi mengapa semua diam? Mengapa tidak ada yang menciptakan kegembiraan?

Aku melihat suasana muram bukan hanya di ruang umum, tetapi juga di dalam komunitas yang disebut Gereja. Sering kali doa lingkungan, pendalaman iman, misa dan sebagainya penuh dengan keseriusan. Orang tidak boleh ketawa ngakak. Tidak boleh tepuk tangan. Tidak boleh menciptakan kegembiraan. Orang harus serius dan diam. Merenungkan sabda Allah, berdoa atau meditasi. Bahkan anak-anak yang ikut misa atau sakramen lain pun harus diam. Padahal dalam Kisah Para Rasul dikatakan bahwa jemaat yang berkumpul itu gembira. Inilah yang saat ini dihilangkan oleh Gereja. Kita pun diutus mewartakan kabar gembira, namun dalam pewartaan kabar gembira orang menjadi serius. Orang memang bergembira bahwa dirinya sudah diselamatkan, tapi apakah kegembiraan itu tidak bisa diungkapkan? Bagaimana orang akan menjadi pewarta kabar gembira, bila wajahnya selalu suram? Bila tidak ada senyum atau perkataan yang memancing orang gembira? Bagiku ini sama saja dengan seorang berkepala gundul berseru dengan penuh semangat menawarkan obat untuk melebatkan rambut.

Memang ada seorang pemimpin agama yang selalu menangis bila berdoa sehingga orang yang datang pun ikut menangis. Tapi sebelumnya mereka ketawa dan gembira. Mereka menangis sebab menyesali dosanya. Apakah mereka suka dengan suasana duka? Aku tidak yakin. Seorang teman mengatakan mereka menangis sebab pemimpinnya menangis. Aku pikir benar juga. Apakah mereka akan tetap menangis bila pemimpinnya tertawa atau tersenyum?

Aku bayangkan seandainya setiap orang mampu menebarkan kegembiraan pada lingkungannya. Setiap orang mau tersenyum pada sesamanya. Tentu dunia akan indah. Namun orang tidak cukup hanya mengejar kegembiraan lawakan seperti di Srimulat. Orang akan bosan. Kegembiraan terdalam adalah kalau orang sadar bahwa dirinya sudah diselamatkan oleh Allah. Dia yang pendosa diangkat oleh Allah menjadi anakNya. Diperhatikan oleh Allah. Kegembiraan model inilah yang dialami oleh Maria, sehingga dia mengumandangkan kidung kegembiraannya. Lebih dari itu manusia diselamatkan oleh Putra Allah dengan pengorbanan total. Inilah kegembiraan yang terdalam. Kegembiraan yang tidak bisa dirampas oleh siapa saja atau oleh apa saja. Para martir jaman dulu menghadapi kematian dengan tanpa rasa takut. Mereka tetap bernyanyi dengan gembira. Hal ini disebabkan mereka sudah memperoleh kegembiraan yang mendalam. Bukan dari manusia namun dari Tuhan sendiri.

Aku bayangkan seandainya semua orang mau tersenyum antar satu dengan yang lain. Tentu dunia akan indah. Atau mungkin perlu mengadakan perubahan wajah pada gambar Yesus dan orang suci lainnya? Sebab mereka seringkali digambarkan tanpa senyum.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks