Senin, 16 Juni 2008

ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI

1 komentar

Adikku telpon. Nadanya datar tapi isi kalimatnya menunjukkan kekesalan hati. Dia cerita baru saja menerima berkat dari Tuhan. Dia menawarkan apakah aku mau menerima berkat itu. Di perumahan tempatnya tinggal ada seorang pemuda yang tidak jelas asal usulnya. Badannya kurus kering. Tinggal kulit membalut tulang, sehingga semua persendian tampak sebagai benjolan-benjolan besar. Mirip foto orang kelaparan yang banyak tersebar di berbagai media. Pemuda ini sakit parah. Dia muntah darah dan sudah tidak mampu bangun lagi. Tampaknya umurnya tidak akan lama lagi. Orang yang menemukan tahu bahwa pemuda ini adalah seorang Katolik, maka dia membawanya ke rumah adikku. Maka adikku berinisiatif untuk melaporkan ke tokoh iman di paroki, sebab yakin bahwa pemuda ini membutuhkan pengobatan segera.

Adikku menceritakan masalahnya pada tokoh tersebut. Pertanyaan yang muncul pertama kali dari dia adalah apakah pemuda ini Katolik atau bukan? Mendengar pertanyaan itu adikku menjadi jengkel sekali. Bukankah pemuda ini sudah akan meninggal dunia, tapi mengapa masih dipertanyakan soal agamanya? Dalam kekecewaan adikku menyarankan agar tokoh itu sebaiknya menyobek Injil yang bercerita tentang orang Samaria yang baik hati. Bila perikop itu tidak ada maka pertanyaannya menjadi relevan. Mendengar omelan adikku akhirnya sang tokoh menyarankan agar pemuda itu dibawa ke rumah sakit dan Gereja akan menanggung sebagian biayanya. Adikku membawa pemuda itu ke sebuah rumah sakit swasta. Ternyata pemuda ini terkena pneumonia. Lebih parah lagi dia terjangkit HIV positif. Rumah sakit swasta mengirimnya ke rumah sakit umum. Adikku melaporkan kepada sang tokoh bahwa pemuda itu terkena AIDS. Mendengar itu tokoh itu memberikan banyak aturan dan penjelasan yang intinya bahwa gereja kekurangan dana. Artinya dia tidak mau terlibat dalam pengobatan pemuda ini. Adikku lalu mengumpulkan teman-temannya untuk urunan. Sedikit uang yang ada dijadikan modal untuk membayar biaya perawatan rumah sakit.

Oleh karena biaya rumah sakit cukup banyak sedang bantuan tidak ada, maka adikku bertanya apakah aku mau membantunya? Siapa lagi yang akan membantunya kalau bukan aku? Katanya berusaha memelas agar aku mau membantunya. Mendengar semuanya aku menjadi tersenyum. Aku katakan inilah hidup yang sering kali tidak berjalan sesuai dengan ajaran Injil. Injil memang enak untuk dikotbahkan tapi berat untuk dilaksanakan. Kebetulan bacaan Injil minggu itu diambil dari perikop tentang orang Samaria yang baik hati. Aku bayangkan bagaimana tokoh itu akan merenungkan Injil? Beranikah dia mengajarkan cinta kasih dan kepedulian pada sesama yang menderita seperti orang Samaria yang rela menolong tanpa mempedulikan siapa orang yang ditolongnya? Mungkin dia mempersiapkan sebuah renungan bagus yang akan mendapatkan decak kagum banyak orang yang mendengar, namun apakah dia tidak malu dengan diri sendiri? Aku tersenyum geli membayangkan semua itu.

Pemuda itu adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya tidak jelas siapa. Dia hidup dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain. Akhirnya menjadi anak jalanan yang hidup dari mengamen di perempatan jalan. Kemana dia harus minta tolong pada saat genting hidupnya? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap dirinya? Aku mengatakan pada adikku mengapa dia ribut padahal baru merawat satu sedangkan aku sudah sekian tahun dengan sejumlah anak jalanan. Namun adikku berkilah bahwa anak jalanan yang ada bersamaku tidak satu pun yang AIDS. Aku bersyukur selama mengadakan pertemanan dengan anak jalanan tidak pernah menemui mereka yang terinfeksi HIV meski kehidupan mereka sangat memungkinan terjangkit HIV. Akhirnya aku menyarankan pada adikku untuk mencari orang Samaria lain.

Saat ini memang sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Dalam kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37), Yesus menceritakan bahwa pada saat itu ada imam dan orang Lewi yang melihat orang yang dirampok namun mereka melaluinya lewat seberang jalan. Imam dan orang Lewi adalah petugas di Bait Allah. Mungkin mereka menduga bahwa orang yang tergeletak di tepi jalan itu sudah mati. Bila mereka menyentuh orang mati, maka akan najis selama 7 hari (Bil 19:11-13). Mereka tidak mau mengambil resiko yang menyebabkannya najis sehingga tidak dapat masuk dalam bait Allah. Orang Samaria tidak terikat oleh aturan najis dan haram orang Israel, maka dia berani menyentuh dan merawat orang yang sudah sekarat itu.

Banyak orang enggan menolong orang lain sebab takut dengan resiko yang terkait dengan tindakannya. Bila orang menolong maka dia akan kehilangan entah harta, tenaga, waktu dan sebagainya. Banyak orang enggan kehilangan apa yang dimilikinya maka mereka tidak peduli pada orang yang menderita. Ada pula orang menjadi enggan menolong sesama sebab perbuatannya dipandang tidak baik oleh orang lain. Orang membantu sesamanya dikatakan ingin menjadikan orang lain beriman sama, dikatakan sok suci dan sebagainya. Belum lagi bila yang ditolong tidak berterima kasih bahkan sebaliknya menjadi pengkhianat. Orang ingin hidup aman. Tidak mau ambil resiko.

Orang Samaria adalah orang yang berani mengambil resiko. Dia sedang dalam perjalanan ke luar kota. Mungkin dia sedang dalam perjalanan bisnis. Namun dia berani meninggalkan segala kepentingan dirinya demi orang lain. Segala perhatiannya hanya terarah pada keselamatan orang yang sedang menderita. Maka dia berani merawat, menaikkan ke keledainya, membawanya ke rumah penginapan, memberi ongkos pada pemilik rumah penginapan dan berjanji akan melunasi bila uang yang dititipkanya ternyata kurang ketika dia kembali. Orang Samaria berani mengurbankan waktunya, uangnya, bahkan mungkin keselamatannya sebab ada kemungkinan para perampok itu akan datang lagi dan merampoknya.

Pada jaman ini sangat dibutuhkan orang yang berani mengurbankan segalanya demi orang lain. Pengurbanan yang terbesar adalah pemberian dirinya. Orang Samaria itu merawat orang yang menderita. Dia terlibat dalam penderitaan orang. Dia berempati. Banyak orang hanya memiliki simpati. Seorang presiden meneteskan air mata ketika mendengar kisah sedih para kurban lumpur. Dia berjanji akan datang ke tempat kurban. Ternyata ketika datang dia hanya melihat dari atas helikopter yang berkeliling di daerah kurban dan menyatakan aneka janji. Padahal dia tahu masalah ada dalam keputusan yang dibuatnya dan memiliki kekuatan hukum. Presiden itu hanya bersimpati tapi tidak memiliki empati. Orang yang berempati pada sesamanya yang menderita bukan hanya melihat dari jauh atau berkotbah mengenai kasih. Namun dia harus terlibat. Merawat orang yang menderita, menyentuh dan disentuh serta mengusahakan keselamatannya.

Yesus datang ke dunia untuk mengajarkan empati Allah akan penderitaan manusia. Dia tidak menangis dari surga sambil mendengarkan atau melihat penderitaan manusia. Dia datang dan terlibat dalam penderitaan manusia bahkan Dia memberikan diriNya untuk keselamatan manusia. Rasa inilah yang saat ini sudah menipis. Orang sudah merasa puas bila mampu berkotbah tentang kasih, memberikan harapan pada orang yang menderita dan menampakkan wajah sedih bila melihat orang menderita. Maka saat ini sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Orang yang berani menanggung resiko demi keselamatan orang lain. Orang yang menomor duakan kepentinganya sendiri demi nyawa seseorang. Orang yang berani dengan tangannya sendiri menyentuh dan merawat orang yang sangat menderita.

Pemuda yang terinfeksi HIV saat ini sudah keluar dari RSU, maka adikku bertanya dia harus tinggal dimana? Tidak ada satu tempatpun yang bersedia menampungnya. Aku katakan sebaiknya dikontrakkan rumah saja. Sekali lagi adikku menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kami saling tersenyum. Aku katakan bukankah mendiang ibu kita sudah mengajarkan untuk berani memberi meski hanya memiliki sedikit bahkan sampai kita sendiri menjadi kekurangan? Aku sarankan agar dia berserah pada Tuhan. Pemuda itu adalah utusan Tuhan bahkan mungkin Tuhan sendiri yang datang padanya untuk meminta apa yang sudah diberikanNya selama ini. Kita sering bersyukur atas segala anugerah Tuhan. Dengan demikian semua yang kita miliki adalah milik Tuhan yang dititipankan pada kita. Sekarang Tuhan datang dan meminta mengapa kita tidak memberikannya? Ada saatnya Tuhan memberi namun ada saatnya Tuhan meminta kembali. Dia datang kepada kita tanpa kita duga dan dalam wujud orang yang miskin dan menderita. Inilah saat Tuhan datang, maka inilah anugerah besar yang kita terima. Adikku bertanya sekali lagi apakah aku mau menerima sebagian anugerah Tuhan? Aku hanya tersenyum.

silakan baca selanjutnya "ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI" ...

DOA

0 komentar

Aku baru saja mengcopy beberapa lagu dari keping MP3 ke dalam komputer. MP3 ini baru kubeli di trotoar pertokoan Siola. Kupikir lebih baik membeli MP3 yang berisi puluhan lagu dari pada membeli kaset yang harganya dua kali dari MP3 dan lagunya hanya beberapa saja. Ketika sedang asyik memilih lagu dari deretan lagu yang tertera di keping MP3 yang hendak kucopy tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat khas milik temanku. Keras dan ribut sekali. Dalam waktu sekejap dia sudah berdiri di sebelahku.

Sejenak dia melihat-lihat cover MP3. Dia ingin meminjam MP3 yang baru kubeli, sebab ada lagu yang disukainya juga. Memang selera lagu kami boleh dikatakan sama. Dia lalu memilih beberapa lagu dan memintaku untuk mencobanya di Winamp. Sambil mendengarkan musik kami mulai bercerita aneka pengalaman kami selama ini. Kami sudah lama tidak bertemu. Sejak dia mendapat pekerjaan yang mapan, maka dia jarang sekali main ke kamarku. Sebelumnya dia sering main ke kamarku entah hanya sekedar untuk mengobrol sambil mendengarkan tape, main komputer atau membaca buku. Obrolan kami pun meloncat dari satu topik ke topik lain.

Akhirnya dia mengeluh bahwa sekarang malas berdoa, sebab jenuh. Dia menceritakan bahwa dia sudah mencoba berdoa dari buku-buku doa dan doa rasorio, tapi dia merasa doa-doanya kosong. Hanya sekedar mengucapkan saja. Bahkan tidak jarang doa rosario tidak selesai, sebab ketiduran atau dia sengaja menghentikan di tengah jalan sebab pikirannya sudah tidak lagi dalam doa itu. Dia tanya bagaimana mengatasi rasa jenuh berdoa. Pertanyaan ini membuat kami masuk dalam diskusi mengenai doa. Dia bertanya bagaimana agar dapat berdoa secara khusuk? Aku sendiri tidak tahu bagaimana doa yang khusuk itu. Apakah berdoa sampai pingsan? Apakah bisa menyelesaikan rosario dengan kesadaran penuh telah berdoa Salam Maria, Kemuliaan dan Bapa Kami? Apakah sampai terasa melayang-layang? Ataukah bisa memahami setiap kata yang diucapkanya?

Kami terus berdiskusi untuk menemukan doa yang baik itu bagaimana. Dalam buku-buku tentang doa memang banyak teori doa. Kutunjukan pada temanku beberapa buku doa yang kumiliki. Tapi temanku masih ingin mengetahui pendapatku dari pada membaca, sebab dia sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca buku rohani. Dia mengandaikan aku sudah membaca buku-buku yang ditawarkan padanya. Kukatakan bahwa doa itu bicara pada Tuhan. Dia langsung menjawab bahwa jawabanku itu klasik dan sudah dimengertinya. Dia ingin tahu bicara dengan Tuhan itu yang bagaimana? Persoalannya dia tidak bisa konsentrasi doa. Ketika dia berusaha untuk hening maka dalam sesaat saja pikirannya sudah melayang kemana-mana, sehingga tidak tahu lagi apa yang dikatakan. Dalam misa pun dia sering kali hanya duduk dan tanpa sadar misa sudah selesai. Dia merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika misa dan berdoa pribadi.

Aku diam saja, sebab memang tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Kamarku menjadi hening. Temanku membaca daftar lagu yang ada di cover MP3, lalu dia menujuk sebuah lagu, apakah lagu ini sudah kucopy, sebab lagu itu bagus sekali. Aku katakan sudah. Lho kan sudah kita dengarkan bersama? Jawabku. Temanku heran, maka dia melihat lagi daftar lagu yang ada di winamp. Memang lagu itu sudah terlewati. Lho aku kok nggak mendengarnya ya? Tanyanya dengan penuh keheranan.

Inilah jawaban Tuhan pada kami. Aku katakan bahwa dia tidak mendengarkan lagu itu berkumandang sebab terlalu asyik berbantahan denganku soal doa. Mungkin inilah persoalan doa, yaitu tidak adanya topik menarik yang hendak dibicarakan dengan Tuhan. Akibatnya orang berdoa hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai orang beriman, atau membaca rumusan-rumusan doa yang dibuat oleh orang suci, tetapi tidak mengungkapkan persoalan diri sendiri. Apa yang diungkapkan dalam doa bukan kebahagiaan dan kepedihan diri melainkan puji-pujian dan segala kata-kata indah, dogmatis, biblis dan sebagainya yang tidak bersentuhan dengan hidup pribadinya. Akibatnya orang mengalami kejenuhan.

Jika doa adalah percakapan manusia dengan Tuhan, seharusnya sungguh-sungguh sebagai suatu percakapan. Ungkapan hatiku, secara pribadi pada Tuhan sebagai Bapa yang penuh belas kasih. Persoalannya memang tidak semua orang mempunyai hubungan yang baik dengan bapaknya, sehingga sulit membayangkan bagaimana caranya bisa bercakap-cakap yang menyenangkan dengan bapaknya. Kupikir mengapa tidak mengganti Tuhan sebagai Bapa menjadi Tuhan sebagai Ibu? Jika dengan ibu pun susah berkomunikasi, sehingga sulit membayangkan bagaimana sharing dengan ibu, mengapa tidak mengubah Tuhan menjadi Sahabat? Temanku mengatakan pendapatku ini konyol, sebab bagaimana mau berdoa “Ibu kami yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu...” Tapi aku masih bertahan buat apa aku mempertahankan sebutan Tuhan sebagai Bapa kalau aku mempunyai pengalaman traumatik pada bapaku? Kalau aku tidak mempunyai gambaran bapa yang baik dan enak diajak ngobrol? Bukankah percakapanku dengan Tuhan harus pribadi, sehingga aku bisa senang berbicara padaNya? Aku bisa sharing tentang kehidupanku padaNya?

Temanku masih belum bisa menerima ide gilaku ini. Pembicaraan kami terus berputar-putar sampai akhirnya dia menyatakan mau pulang. Sambil menikmati suara lagu, aku berusaha merenungkan kembali percakapan dengan temanku tentang bagaimana berdoa yang baik itu. Bagiku berdoa akan menyenangkan kalau aku sharing tentang kehidupanku pada Tuhan. Yesus sudah mendobrak pemahaman orang Yahudi tentang Tuhan, yang dianggap sangat besar, sehingga untuk menyebut namaNya saja orang merasa tidak pantas. Yesus menyebut Tuhan bukan lagi Yahweh tetapi Bapa, sehingga jarak antara manusia dan Tuhan tidak terlalu jauh lagi. Yesus ingin membuat manusia mempunyai hubungan pribadi dengan Bapanya. Diapun dengan para rasul sudah memposisikan diri sebagai sahabat. Para rasul bukan lagi hamba tapi sahabat. Hubunganku dengan Yesus bukan lagi antara hamba dengan tuan, melainkan antar sahabat. Aku bisa sharing sesukaku seperti aku sharing dengan sahabatku yaitu orang yang dapat memahami kegelisahan hatiku. Orang yang dapat ikut bersyukur kalau aku berhasil. Orang yang dapat memberiku semangat kala aku jatuh. Orang yang siap mendengarkan segala kepedihan hatiku. Orang yang tidak jijik sebab aku telah berbuat banyak dosa. Orang yang cepat menolongku ketika kuberitahu kesulitanku. Orang yang mampu diam dan tenang saat aku mengungkapkan seluruh kegalauan hati. Orang yang mampu menerima diriku apa adanya.

Tapi memang susah memandang Yesus sebagai sahabat, sebab aku masih sering memposisikan diri sebagai hamba, sehingga aku tidak berani berbicara sembarangan padaNya. Aku harus menjaga sopan satun. Berbicara padanya harus formil dan dengan kata-kata yang indah. Lebih hebat lagi kalau bisa mengutip sebagian ayat-ayat dari Kitab Suci dan berbicara panjang lebar untuk membuatnya bahagia. Tapi semua kadang kosong. Apakah aku harus banyak aturan jika berhadapan dengan sahabatku? Bukankah aku bisa terbuka untuk menceritakan apa saja padanya? Lebih parah lagi aku memposisikan diri seperti pengemis. Aku hanya merengek meminta belas kasihan pada Tuhan. Aku hanya datang padaNya kalau aku sedang kalut. Aku membuat Tuhan tidak lebih dari keranjang sampah yang menampung segala persoalan hidupku.

Jika aku bisa memposisikan Tuhan sebagai sahabat atau orang yang sangat dekat entah itu bapa atau ibu atau adik atau kakak, mungkin aku bisa memulai doa dengan cara yang baru. Doa bukan lagi suatu kewajiban melainkan kebutuhanku untuk sharing pada orang yang paling dekat denganku. Doa bukan lagi rangkaian kata-kata indah, biblis, dogmatis, melainkan suatu ungkapan perasaanku yang sedang aku alami saat ini. Suatu pengalaman hidup yang ingin aku bagikan pada sahabatku. Pada orang yang sangat dekat padaku. Jika aku bisa berdoa seperti ini, maka doa tidak lagi membosankan. Aku tidak lagi bingung mau mengatakan apa pada sahabatku itu. Aku tidak lagi dibingungkan tidak bisa konsentrasi dalam doa. Sama seperti akibat keasyikanku sharing dengan temanku, maka lagu-lagu yang berkumandang dari komputer berlalu begitu saja tanpa aku sadari.

Salah satu pertanyaan temanku tadi adalah dia bisa saja berdebat denganku sebab aku bisa menyatakan argumen-argumenku. Aku berkata-kata padanya. Tapi bagaimana dengan Tuhan? Dia bicara panjang lebar dalam doa tapi Tuhan diam saja, sehingga dia seolah-olah berbicara sendiri. Ini membosankan. Aku pikir mengapa dia mempersoalkan bahwa Tuhan tidak menjawab apa yang dikatakannya? Bukankah ada Kitab Suci yang diyakini sebagai sabda Tuhan. Bukankan Tuhan juga sudah mengatakan bahwa tubuhku adalah baitNya, tempat dimana Dia bersemayam. Dengan demikian Dia bisa saja bersabda melalui hati manusia. Bukankah Yesus juga mengatakan ada tanda-tanda jaman, dimana Tuhan berbicara pada manusia melalui peristiwa-peristiwa jaman? Mengapa orang masih bingun mencari sabda Tuhan? Mungkin kejenuhan doa juga disebabkan oleh tidak adanya waktu manusia untuk mendengarkan Tuhan, sehingga seolah-olah manusia berbicara sendiri. Atau orang malas untuk merenungkan sesuatu sebagai sabda Tuhan.

Kulihat sudah beberapa lagu terlalui, tapi aku tidak bisa menikmatinya bahkan tidak mendengarnya sebab aku sibuk menulis di komputer. Seandainya aku susah berbicara dengan Tuhan dengan kata-kata mengapa aku tidak menuliskan semua doaku? Aku tenggelam dalam tulisanku sehingga aku tidak sadar akan banyak hal. Jika ini adalah suatu doa bukankah aku sudah berdoa dengan baik? Sayang aku masih sering menjadi hamba dan pengemis dihadapan Tuhan. Aku masih malas mendengarkan sabda Tuhan, sehingga menganggap bahwa Tuhan tidak dapat kuajak untuk sharing.

silakan baca selanjutnya "DOA" ...

Senin, 09 Juni 2008

BESUKI

0 komentar

Akhir-akhir ini di media massa dikabarkan bahwa Lapindo akan membayar sisa pembayara sebanyak 80%. Banyak orang merasa bahwa persoalan lumpur panas yang disebabkan oleh pengeboran minyak Lapindo Inc sudah selesai. Banyak orang merasa persoalan Porong sudah ditangani oleh pemerintah dengan baik, sehingga banyak orang tidak peduli lagi dengan persoalan Porong. Bahkan ada banyak orang menolak untuk membantu pengungsi kurban lumpur panas dengan alasan sudah ditangani oleh pemerintah dan Lapindo.

Disinilah sebetulnya letak kesalahan pandangan banyak orang. Pada jaman ini media massa memang sangat kuat pengaruhnya pada masyarakat, maka orang yang menguasai media akan menguasai dunia. Dia dapat mempengaruhi dan mengubah pandangan orang mengenai aneka hal. Pemberitaan Lapindo yang sering kali tidak jujur oleh media sangat mempengaruhi masyarakat, sehingga berita mengenai pembayaran 80% seolah sudah menyelesaikan masalah. Kelemahan lain masyarakat masih banyak yang kurang kritis, sehingga mereka menelan begitu saja aneka pemberitaan. Diberitakan di koran bahwa sudah dimulai pembayaran, maka masyarakat merasa persoalan sudah selesai. Padahal jelas dikatakan “dimulai”, sebuah kata yang sangat kabur. Sejak dulu Lapindo selalu menggunakan kata “memulai atau dimulai” tanpa mengatakan “mengakhir atau diakhiri”. Ketika mengadakan pembayaran 20% juga menggunakan kata “dimulai” persoalannya kapan diakhiri? Sampai sekarang masih ada ratusan keluarga yang belum mendapat ganti 20%. Tapi orang tidak peduli lagi, sebab sudah dijebak dengan kata “dimulai”.

Salah satu kasus yang sangat memprihatinkan adalah pengungsi di daerah Besuki. Desa Besuki terbelah oleh jalan tol yang sekarang sudah tidak berfungsi. Oleh pemerintah melalui kepres 14/2007 daerah ini tidak termasuk daerah kurban, sebab yang dianggap daerah kurban lumpur hanyalah desa Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedung bendo. Akibatnya daerah yang tidak termasuk dalam peta terdampak tidak mendapat perhatian oleh pemerintah dan Lapindo. Keppres 14 ini sudah ditolak oleh banyak pihak dan warga Porong yang merasa dirugikan. Mereka menuntut sampai MA tapi segala usaha itu seperti bertemu dengan tembok yang keras, tuli dan tidak berhati nurani. Salah satu alasan yang dilontarkan oleh orang MA adalah bahwa pihak Lapindo sudah bertanggungjawab dengan memberikan uang ganti rugi. Padahal bila membaca teks keppres 14 dan realisasi yang terjadi banyak yang berbeda. Misalnya dalam keppres 14 art 10 dikatakan bahwa pembayaran 80% dilakukan sebulan sebelum uang kontrak atau masa dua tahun selesai. Padahal dalam perjanjian dengan notaris Lapindo ditulis bahwa pembayaran 80% dilakukan setelah selesainya uang kontrak. Jadi keppres 14 sudah dilanggar oleh Lapindo sendiri dan pemerintah tidak peduli. Seharusnya orang yang bertanggungjawab terhadap keppres itu mengubah isi keppres atau memberi sanksi kepada pihak yang melanggar. Belum lagi pasal-pasal lain yang tidak pernah ada realisasinya oleh pihak Lapindo.

Akibat keppres yang jelas sangat merugikan kurban lumpur ini juga berdampak pada desa Besuki. Oleh karena desa Besuki tidak termasuk desa terdampak, maka desa ini tidak diperhatikan dan mendapatkan ganti rugi. Pada bulan Agustus 2007 ada tanggul yang jebol sehingga air dan lumpur panas meluber ke desa Besuki sebelah barat dan menenggelamkan 3 RT dengan jumlah penduduk lebih dari 200 keluaga. Pemerintah dan Lapindo belum peduli sebab hanya dianggap banjir biasa. Tapi air panas itu sudah merusak perabot rumah tangga. Tidak ada ganti rugi sama sekali dari pemerintah dan Lapindo. Bulan September 2007 sekali lagi tanggul jebol sehingga air dan lumpur panas sekali lagi menenggelamkan desa Besuki sebelah barat. Penduduk mengungsi dan kembali lagi. Akhirnya pada 10 Februari 2008 tanggul jebol lagi, sehingga air dan lumpur menenggelamkan sawah dan rumah penduduk sampai ketinggian 1 m lebih. Penduduk mengungsi ke bekas jalan tol. Rumah mereka hancur oleh lumpur dan sawah mereka seluas 33,2 ha telah menjadi lautan lumpur.

Mereka menuntut agar pihak lapindo dan pemerintah memberikan ganti rugi, tapi terbentur oleh keppres 14 maka mereka tidak mendapatkan ganti rugi. Pihak Lapindo berjanji akan memberikan ganti rugi gagal panen untuk jangka waktu 2 tahun. Pihak kurban desa Besuki menuntut 1,2 milyard rupiah, tapi pihak Lapindo menawar menjadi sekitar Rp 772 juta. Pihak Lapindo menggunakan istilah santunan. Bila orang membaca istilah ini maka orang dapat menangkap itu adalah kemurahan hati pihak Lapindo, tapi sebetulnya disini letak perancuan bahasa. Seharusnya Lapindo bertanggungjawab atas gagal panen yang dialami oleh penduduk Besuki, sebab sawah mereka tertimbun lumpur yang dikeluarkan oleh semburan lumpur. Dengan demikian kata “santunan” tidak tepat dan dapat membangun persepsi yang salah. Seharusnya dipakai kata ganti rugi. Uang itu bukan belas kasih Lapindo tapi tanggungjawab Lapindo dan pemerintah. Hal yang lebih memprihatinkan adalah sampai saat ini uang itu belum dibayarkan. Dengan demikian Lapindo telah membuat sekian puluh petani kehilangan mata pencahariannya dan melalaikan tanggungjawabnya sebagai penyebab semua itu. Usaha untuk menuntut lewat pemerintah ternyata gagal, sebab mereka bertahan pada keppres 14 yang sangat merugikan masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah keppres yang merugikan dapat dipertahankan? Inilah kebijakan pemerintah dan penguasa yang tidak adil dan hanya berpihak pada pengusaha.

Kini warga Besuki kehilangan rumah, perabot dan matapencaharian. Mereka terpaksa tidur di gubuk-gubuk darurat berukuran 3X3 m atau di tenda bantuan depsos di tepi bekas jalan tol. Sebagian jalan tol masih digunakan oleh pihak Lapindo unuk lalu lalang truk-truk besar mengangkut tanah dan peralatan membuat tanggul serta mobil lainnya. Debu berterbangan dimana-mana. Bila siang hari akan terasa sangat panas sekali. Seorang penduduk mengatakan bahwa selama ini tidak ada bantuan dari pihak lain. Pemerintah melalui depsos memang terkadang membantu tapi tidak bisa dijadwalkan kapan mereka akan memberikan bantuan.

Seorang penduduk mengeluh bahwa seharusnya pemerintah dan Lapindo bertanggungjawab atas semua ini. Mereka telah kehilangan apa yang mereka miliki selama ini bahkan masa depannya. Mereka sudah merasa mengalah sebab tidak menuntut segala barang dan perabot rumah tangga yang hancur oleh lumpur, tapi mereka menuntut pemulihan mata pencaharian mereka. Air dan lumpur Lapindo sangat ganas. Setiap perabot bahkan sepeda motor yang terendam akan langsung rusak. Dia menceritakan bahwa banjir itu datang sangat cepat dan deras sekali. Air bercampur lumpur panas menerjang rumah dan menghanyutkan aneka perabot yang masih tertinggal. Kini rumah mereka terendam lumpur yang sudah mengering. Mereka iklas bila Lapindo tidak membayar kerugian perabot, tapi mereka harus membayar ganti rugi sawah dan biaya kehidupan mereka. Betapa memprihatinkan negara ini, dimana rakyat miskin mengiklaskan seluruh miliknya sebuah perusahaan besar. Betapa tidak malunya penguasa dan pemilik Lapindo ketika merusakkan barang milik orang lain dan orang itu tidak menuntut, padahal pemilik Lapindo adalah orang terkaya. Inilah pengorbanan rakyat miskin untuk Lapindo. Bagaimana mungkin rakyat miskin harus berkorban untuk orang terkaya? Dimana hati nurani di negara ini? Apakah pemilik Lapindo tidak pernah terbersit rasa malu bahwa dia sudah tidak bertanggungjawab pada sekian ratus rakyat miskin padahal dia orang yang sangat kaya?

Melihat nasib rakyat di Besuki barat sangat memprihatinkan. Pemerintah, penguasa dan pemilik Lapindo tidak mempedulikan mereka. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat tampaknya membiarkan pihak Lapindo bertindak sewenang-wenang bahkan dengan keppres 14 pemerintah membela Lapindo yang jelas sangat merugikan masyarakat. Pemerintah telah mengkhianati rakyat dan hanya mencari amannya dengan membiarkan pihak Lapindo bertindak tidak adil. Ataukah memang penguasa adalah robot yang tidak mempunyai mata dan telinga apalagi hati, sehingga membela orang yang bersalah dan menulikan diri terhadap jeritan rakyat?.

silakan baca selanjutnya "BESUKI" ...

Selasa, 29 April 2008

PEMIMPIN DALAM GEREJA PERDANA

0 komentar

“Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu”, (Kis 6:3). Dalam perkembangannya Gereja para rasul atau biasanya disebut Gereja perdana membutuhkan awam untuk membantu para rasul dalam pelayanan umat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya pekerjaan yang harus ditangani oleh para rasul. Mereka kini tidak hanya mengajar dan melayani orang yang datang padanya, melainkan juga berusaha mengembangkan jumlah komunitasnya. Para petugas yang akan membantu para rasul dipilih oleh umat dan akan disahkan oleh para rasul.

Dalam Gereja perdana mulai ada pemisahan pelayanan. Ada bagian yang dilakukan oleh umat dan ada yang dilakukan oleh pengganti para rasul. Setiap pemilihan melibatkan umat namun dengan syarat yang berbeda. Syarat pemilihan Matias sebagai pengganti Yudas berbeda dengan syarat 7 diakon sebagai pembantu pelayanan. Namun semua melibatkan umat. Dengan demikian Gereja perdana sudah meletakkan dasar demokrasi dalam pemilihan pengurus dengan syarat yang ditetapkan oleh para rasul dan umat diminta untuk mimilih secara benar dan bertanggungjawab.

Para rasul memberikan syarat bagi diakon yang hendak dipilih yaitu orang yang itu harus terkenal baik, penuh Roh dan hikmat. Dengan demikian umat diminta untuk bertanggungjawab terhadap pilihannya. Mereka tidak dapat memilih orang asal memilih atau berdasarkan suka atau tidak suka pada seseorang. Mereka harus memberikan penilaian tentang orang ini. Hal ini agar tidak menjadi batu sandungan dikemudian hari. Paulus lebih merinci tentang syarat itu. “Demikian juga diaken-diaken haruslah orang terhormat, jangan bercabang lidah, jangan penggemar anggur, jangan serakah, melainkan orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci.
Mereka juga harus diuji dahulu, baru ditetapkan dalam pelayanan itu setelah ternyata mereka tak bercacat Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal. Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. (1Tim 3:8-12). Syarat ini hampir sama dengan syarat untuk penilik jemaat (bdk 1 Tim 3:2-7).
Dalam pemilihan selain mengandalkan suara umat juga membutuhkan peran Roh. Sebetulnya Rohlah yang memilih melalui umat. Gereja memang mirip sebuah organisasi namun ada perbedaan yang mendasar. Organisasi lebih mementingkan keuntungan bagi diri sendiri dan tujuannya mengenai hal duniawi sedangkan Gereja bertujuan hal ilahi dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Yesus sejak awal sudah menekankan bahwa seorang pemimpin adalah hamba yaitu orang yang mau dengan suka cita melayani tuannya yaitu sesamanya. Memang para murid Yesus pun saling berebut ingin menjadi yang terbesar bahkan Yohanes dan Yakobus tanpa malu-malu menyatakan hal itu baik melalui dirinya sendiri maupun melalui ibunya. "Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.” (Mrk 10:35). Para murid yang lain mendengar itu mereka menjadi marah, sebab mereka juga ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi.

Yesus mengingatkan bahwa kebesaran seseorang bukan karena kedudukan yang tinggi tapi keberanian dia untuk melayani. Kedudukan yang tinggi dalam Gereja sudah ditentukan oleh Allah bukan oleh keinginan manusia. Inilah yang membedakan antara kepemimpinan dalam Gereja dan dalam dunia. Jika dalam organisasi duniawi semakin tinggi kedudukan semakin besar kuasanya dan semakin besar kuasanya. Yesus menentang hal itu.

Gereja adalah kumpulan manusia yang mendunia, sehingga persoalan kepemimpinan juga masih tercampur aduk dengan pola pemikiran duniawi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tubuh Gereja banyak orang yang berambisi mengejar kedudukan baik secara terbuka seperti Yohanes bersaudara maupun secara tersembunyi, maka tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan. Memang bila dilihat bahwa menjadi pelayan Gereja seseorang tidak akan mendapatkan upah materi, namun salah satu ciri jaman ini adalah pencitraan diri yang semakin kuat dimana orang mengejar citra diri. Orang membeli baju di butik agar dilihat sebagai orang yang hebat. Demikian pula menjadi jabatan adalah sarana untuk menaikkan citra diri.

Maka ada baiknya kita belajar dari Gereja perdana dimana orang dipilih dengan kuasa Roh yang bekerja melalui umat dan tujuan menjadi pemimpin adalah melayani umat.

silakan baca selanjutnya "PEMIMPIN DALAM GEREJA PERDANA" ...

KITA ADALAH CERMINAN YESUS

0 komentar

“Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku." (Luk 10:16) Yesus menyatu dengan Bapa. Dia ada dalam Bapa dan Bapa ada dalam Dia. Dia pun menyatu dengan muridNya secara nyata. Persatuan ini utuh, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan oleh para muridNya menunjukkan apa yang dikatakan dan dilakukan olehNya sendiri. Yesus ada dalam diriku, sehingga bila orang melihatku maka dia akan melihat Yesus yang hidup dalam diriku.

Pernah aku tinggal di negara asing. Teman-teman di negara itu beberapa kali mendapat kiriman post-card dari Indonesia dengan gambar suku Asmat yang memakai koteka, sawah, laut, hutan dan sebagainya. Gambar dari post-card itu membangun gambaran teman-teman disana mengenai Indonesia. Mereka menduga Indonesia masih begitu terbelakang. Akibatnya sering kali mereka bertanya padaku apakah di Indonesia ada ini atau itu seperti yang ada di negaranya. Dalam situasi semacam ini aku harus mampu menunjukkan bahwa Indonesia tidak seburuk yang mereka bayangkan. Aku berusaha membangun gambaran tentang Indonesia dari diriku sendiri, sebab teman-teman disana mungkin tidak akan pernah melihat Indonesia secara langsung. Bila teman-teman ingin melihat Indonesia maka cukup dengan melihatku.

Demikian pula kita sebagai pengikut Kristus. Dengan baptis maka kita telah bersatu dengan Kristus. Kita bukan manusia biasa lagi, sebab di dalam diri kita ada Yesus bahkan ada Allah. “Barangsiapa mengaku, bahwa Yesus adalah Anak Allah, Allah tetap berada di dalam dia dan dia di dalam Allah.” (1Yoh 4:15). Kita adalah manusia berdosa dan mudah sekali menyimpang dan mengingkari Allah, tapi melalui baptisan Allah telah mengangkat kita menjadi anakNya dan Dia tinggal dalam diri kita. Ini sebuah anugerah yang maha hebat. Tidak ada satu pun agama yang mempunyai konsep seperti ini.

Namun konsep ini juga membawa konsekwensi bagi diri kita. Perkataan, sikap, dan pemikiran kita harus sesuai atau mendekati perkataan, sikap dan pemikiran Allah. hal ini tidak mudah, sebab kita adalah manusia lemah yang mempunyai aneka keterbatasan, sedangkan Allah adalah sempurna. Namun bukan berarti bila kita lemah, maka kita dapat memaafkan diri untuk tidak melakukannya atau kita terlalu permisif, menjadikan kelemahan kita untuk bersembunyi dari apa yang seharusnya kita lakukan.

Dunia membutuhkan kesaksian akan hadirnya Allah. Banyaknya penderitaan membuat orang apatis atau pesimis dengan Allah. Bahkan ada orang yang bertanya bila Allah ada mengapa ada banyak penderitaan. Banyak ornag tidak peduli pada sesamanya. Di satu sisi ada orang membelanjakan ratusan ribu untuk sebuah kosmetik sedangkan disisi lain ada jutaan bayi kekurangan gizi. Setiap saat kita juga disuguhi berita tentang kekerasan dalam aneka bentuk. Kekerasan bukan hanya di luar rumah tapi juga sudah melanda di dalam rumah. Dunia krisis kasih.

Dalam situasi seperti ini kita dituntut untuk menjadi saksi kehadiran Allah. kita tidak mungkin memaksa Yesus untuk datang kembali dan menyelesaikan semua masalah ini. Tidak cukup kita memohon pada Allah agar memperbaiki
Situasi yang carut marut ini. Allah telah memilih kita dan mengutus kita untuk menjadi saksiNya di dunia. “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar.(Kis 22:14-15)

Agar mampu menampakkan Allah, maka kita hendaknya mendekatkan diri padaNya. Hanya dengan cinta yang besar kita akan sanggup mengikuti jejak Allah. Cinta terwujud dalam kesukaan membaca firman Allah untuk melihat apa yang dikerjakan oleh Yesus dan memahamiNya. Tapi sayang masih banyak orang enggan membaca Kitab Suci dengan berbagai alasan. Selain itu juga berdoa dan meditasi. Doa adalah saat kita berusaha berbicara dan mendengarkan Allah, namun sering kali dalam doa kita hanya berbicara sehingga lupa mendengar Allah yang ada dalam hati kita. Meditasi adalah saat kita berusaha hening untuk melihat seluruh hidup kita dalam terang Allah. Namun banyak orang merasa tidak punya waktu, sebab seluruh waktu sudah habis untuk beraktifitas. Bila kita tidak melakukan semua itu, maka akan sulit bagi kita untuk menjadi cermin Allah.

silakan baca selanjutnya "KITA ADALAH CERMINAN YESUS" ...

PERBUATAN BAIK DEMI MEMULIAKAN ALLAH

0 komentar

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5:16) Yesus selama hidupnya senantiasa berbuat baik kepada setiap orang yang membutuhkan. Maka Dia pun menghendaki agar para muridNya melakukan hal yang sama. Perbuatan baik harus dinyatakan agar dilihat oleh banyak orang dan mereka akan memuji Bapa yang di surga. Jadi tujuan perbuatan baik adalah agar manusia memuji Bapa yang disurga.

Sabda Yesus ini sangat berat. Orang cenderung ingin menonjolkan diri. Orang ingin dihargai dan diperhitungkan. Perbuatan baik juga menjadi sarana untuk menonjolkan diri atau minimal diperhitungkan. Akibatnya dia tidak mewartakan Allah melainkan dirinya sendiri. Hal ini tampak banyaknya orang putus asa atau menjadi jenuh untuk melakukan kebaikan sebab apa yang dia lakukan terasa tidak ada hasilnya. Orang yang dibantu tetap saja tidak berubah dan orang lain pun dianggap kurang menghargai apa yang sudah dikerjakan, sehingga dia merasa apa yang telah dilakukan hanyalah sia-sia.

Menyikapi akan hal ini Yesus bersabda, “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Mat 6:3). Orang tidak perlu menunjukkan apa yang sudah dilakukannya sebab Allah sudah melihat. Allah bukan melihat apa yang nampak tapi apa yang ada dalam hati manusia. Allah menilai apa yang tersirat dalam hati orang. Ketika Yesus melihat orang Farisi dan seorang pendosa berdoa, Dia bersabda bahwa Allah mendengarkan doa orang berdosa, sebab dia berdoa didasari oleh hati yang tulus. Tidak mencari pujian

Dalam dunia saat ini dimana prestasi sangat diagungkan sehingga manusia dihargai bukan karena dia adalah manusia tapi karena dia berprestasi maka ada bahaya besar dimana orang berbuat baik agar dihargai. Orang saling menonjolkan apa yang sudah dilakukan dan kehebatan-kehebatannya. Saat terjadi reformasi di negara kita, tiba-tiba muncul orang yang menyatakan diri sebagai tokoh reformasi, padahal sebelum ada gerakan mahasiswa dia tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai oposisi pemerintah. Dia muncul begitu saja dan berusaha berbuat baik agar diperhitungkan oleh rakyat. Banyak contoh yang dapat kita lihat dimana orang berbuat baik demi kepentingan pribadi. Hal ini juga ada dalam tubuh Gereja.

Agar mampu berbuat baik demi memuji Tuhan, seseorang harus memiliki semangat rendah hati. Setiap pekerjaan yang dilakukan didasari oleh kerendahan hatinya dan kesadaran bahwa apa yang dilakukan sebetulnya adalah pekerjaan Allah. Kita hanya sebagai pelaksana belaka. “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku,” (Yoh 9:4). Yesus mengingatkan bahwa kita hanyalah hamba yang tidak berguna yang mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Bila perbuatan baik adalah apa yang seharusnya kita kerjakan, maka orang tidak akan merasa bangga telah mengerjakan hal itu. Seperti seorang ibu yang setiap hari memasak bagi keluarganya. Dia mengerjakan itu sebagai apa yang seharusnya dia kerjakan, maka dia tidak merasa berprestasi atau menonjolkan apa yang sudah dilakukanya. Perbuatan baik adalah bagian dari iman, maka tidak ada yang dapat dibanggakan bila kita melakukannya.

Tuhan menganugerahkan kepada kita kemampuan dan bakat. Setiap orang diberi secara berbeda-beda, sebab Tuhan mengingkan semua orang melalui apa yang dimilikinya itu meneruskan apa yang sudah diawali olehNya. Tuhan menciptakan dunia baik adanya dan manusia diminta untuk menjaganya. Perbuatan baik bertujuan menjaga agar ciptaan Tuhan dapat hidup bahagia. Maka kita melakukan apa yang sesuai dengan anugerah yang telah diterima dari Tuhan. “jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” (Rm 12:8).
Perbuatan baik juga hendaknya dilakukan secara iklas dan didorong oleh belas kasihan. Iklas adalah ketulusan hati dimana bila seseorang melakukan suatu tindakan tanpa memiliki motivasi demi dirinya sendiri melainkan demi kebahagiaan sesama. Dia tidak peduli apakah pekerjaan yang telah dilakukan akan dipuji atau dicela oleh sesama. Dia hanya ingin melakukan sebab merasa berbelas kasih oada sesama. Bila pekerjaan dilakukan dengan iklas, maka dia akan bergembira, tidak putus asa, kecewa dan lain-lain.

silakan baca selanjutnya "PERBUATAN BAIK DEMI MEMULIAKAN ALLAH" ...

Rabu, 23 April 2008

NILAI YANG MASIH TERSISA

0 komentar

Sepuluh anak muda duduk di sekelilingku. Mereka akan sharing tetang pengalaman mereka selama live in di rumah penduduk. Sejak kemarin ada 128 anak yang mengikuti acara jambore di Klepu. Sebuah desa kecil di sebelah barat kota Ponorogo. Desa Klepu mempunyai penduduk sekitar 2800 jiwa dan yang Katolik sekitar 1300 an dan selebihnya beragama Islam. Kehidupan disini seperti layaknya desa-desa di Jawa lainnya. Penduduk pada umumnya adalah petani. Mereka hidup dalam kesederhaan seorang petani. Kalau toh ada rumah yang tampak bagus, pada umumnya mereka adalah TKI. Mereka masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang dulu pernah ada namun sekarang sudah semakin temaram yaitu rasa persaudaraan yang tinggi, ramah dan terbuka terhadap orang pendatang.

Seorang gadis umur belasan tahun bercerita dengan penuh semangat mengenai keluarga yang ditinggalinya. Dia menceritakan betapa penduduk sini sangat ramah. Di kota memang ada orang yang ramah, tapi keramahan di kota beda dengan yang dia rasakan di tempat ini. Mereka ramah tampa memakai topeng, sedangkan di kota biasanya orang pura-pura ramah. Disini ketika berjalan dia selalu disapa orang, sehingga dia pun turut menyapa setiap berpasasan dengan orang. Sedangkan di kota dia tidak pernah merasakan disapa dan menyapa orang seperti disini. Dikota hanya orang yang kenal saja yang mau saling menyapa, sedangkan disini semua orang yang berpapasan pasti akan disapa atau menyapa. Pengalaman ini tidak ditemukan di tempat asalnya.

Seorang lain lagi menceritakan bahwa di halaman rumah tempat dia menginap ada sebatang pohon jeruk. Saat itu berbuah banyak tapi yang besar dan sudah dapat dimakan hanya dua buah. Pemilik rumah dengan ramah menawarkan untuk mengambilnya. Anak ini menolak sebab buah hanya dua. Tapi pemilik rumah mengatakan silakan mengambil sebab dia masih dapat menanti buah yang masih kecil menjadi besar dan masak. Dia sangat kagum dengan sikap tuan rumah itu. Dia membandingkan bila di kota sulit sekali mendapati orang yang mau mengalah pada orang lain. Dia berani berbagi dengan orang lain, meski dia harus menunggu lama lagi untuk menikmati buah pohonnya.

Teman-teman masih terus bercerita dengan semangat mengenai keramahan penduduk desa ini. Kepolosan dan ketulusan mereka dalam menerima para tamu. Seorang anak mengatakan dia heran mengapa disambut seperti itu, padahal dia hanya anak muda biasa. Pengalaman hidup bersama penduduk desa membuat mereka membandingkan dengan kehidupan mereka selama ini di kota. Mengapa hal yang baik disini sudah tidak ada lagi di kota? Memang tidak semua yang terjadi di sini dapat dikatakan baik. Ada pula sisi negatifnya, tapi pada umumnya masih baik.

Aku bertanya pada mereka kira-kira apa yang membuat orang di daerah sini dapat begitu ramah dan saling memberi sedangkan di kota sudah tidak ramah dan tidak saling berbagi lagi? Banyak jawab yang mereka berikan. Mereka pada umumnya masih duduk di bangku SMA sehingga segala analisanya hanya apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak memakai aneka teori sosiologi atau antropologi atau ilmu lain yang berbelit-belit.

Pada umumnya mereka merasa bahwa di kota orang sudah menjadikan uang dan kekayaan sebagai tujuan hidup. Bila orang menjadikan uang sebagai tujuan maka semua perhatian dipusatkan pada uang atau kekayaan. Akibatnya juga orang menjadi egois. Mereka tidak mau berbagi dengan tetangga. Seorang anak bercerita bahwa dia pernah sampai mencuri buah milik tetangga sebab dia minta tidak diberi. Mendengar semua itu kami tertawa. Akhirnya kelompok kami bubar dan mempersiapkan acara berikutnya.

Dalam kesendirian sambil menikmati sejuknya aliran angin dari pegunungan, aku berusaha merenungkan apa saja yang telah dipercakapkan anak-anak tadi. Aku merasa memang di bangsa ini ada nilai-nilai bagus yang sudah hilang atau langka ditemukan. Di kota aku melihat banyak orang tertindih oleh kegelisahan. Mereka gelisah untuk bertahan hidup. Bertahan untuk apa yang sudah diperolehnya. Kegelisahan ini menekannya sehingga orang cenderung mudah marah dan curiga. Lebih jauh mungkin mereka dikuasai oleh uang atau kekayaan seperti kata anak-anak tadi. Ketika orang masih miskin dia berusaha keras untuk mendapatkan uang, tapi setelah dipandang kaya pun orang masih terus berusaha memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya, bahkan kalau memungkinkan dia akan merampas milik orang lain untuk dijadikan miliknya.

Menurut salah satu anak kekayaan sekarang sudah menjadi syarat untuk dihargai oleh sesama. Diakui oleh orang lain. Maka orang mengejar kekayaan juga agar diakui bukan hanya sekedar menumpuk kekayaan. Hal ini beda dengan disini dimana orang dihargai karena dia adalah sesama. Dia adalah manusia meski orang asing. Aku tersenyum sendiri bila teringat analisa anak itu. Aku pikir ada benarnya juga. Beberapa waktu lalu orang berlomba mengajukan dana yang cukup besar untuk liturgi tahun baru Imlek. Di paroki kami juga orang mengajukan dana yang cukup besar untuk misa Imlek. Melihat angka itu aku hanya mampu menghela nafas, bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, dimana beberapa daerah terkena bencana yang parah orang masih ribut untuk membagi jeruk setelah misa dan meminjam aneka baju untuk misa? Mengapa tidak berpikir soal saudara-saudaranya yang kelaparan akibat bencana? Inilah sisi kecil kehidupan kota dimana orang lebih mementingkan kemegahan diri daripada berpikir mengenai sesamanya. Orang lebih mementingkan misa dengan beberapa romo yang hebat dan aneka hiasan yang indah serta asesoris mahal lain daripada prihatin dengan sesamanya yang menderita akibat bencana.

Penilaian manusia saat ini ditentukan oleh kekayaan. Barang siapa memiliki kekayaan maka dia akan diperhitungkan. Semakin banyak kekayaan yang dimilikinya maka dia akan semakin dihargai dan diperhitungkan. Pernah aku pergi ke sebuah toko elektronik dan akan membeli sebuah barang elektronik. Setelah beberapa saat aku berdiri dan melihat-lihat barang tidak ada satu pun pegawai yang datang dan berusaha menjelaskan produknya. Tapi ada orang yang begitu datang langsung dilayani oleh pegawai toko itu. Hal ini disebabkan aku hanya mengenakan kaos dan bersandal sedangkan orang yang dilayani datang mengenakan baju yang bagus dan bersepatu. Ketika aku beranikan diri untuk bertanya-tanya tentang sebuah produk maka pegawai itu menjawab ala kadarnya. Berbeda ketika dia melayani orang yang berpenampilan bagus. Mungkin pegawai itu mengira aku hanya bertanya-tanya dan tidak akan membeli sebab tidak mempunyai uang. Berbeda dengan pelanggan yang lain. Ketika aku memilih barang dan menentukan akan membeli barulah mereka melayani dengan baik. Aku dilayani dengan baik bukan karena aku mau membeli atau tidak melainkan karena penampilanku. Andaikan aku datang dengan mengendarai mobil merk mahal dan berpakaian bagus pasti akan dilayani seperti orang lain. Ketika aku ceritakan hal ini pada temanku, dia bilang memang hal itu sering terjadi bahwa orang dinilai dari apa yang menempel di tubuhnya. Inilah kekuatan saat ini yaitu kepemilikan. Apa yang menempel di tubuh bukan jati diri dan martabat manusia. Bila pegawai toko yang seharusnya melayani setiap orang yang datang saja sudah membeda-bedakan pembeli bagaimana dengan orang yang mempunyai kekuasaan dan jabatan?

Oleh karena orang ingin dihargai dan diperhitungkan maka dia ingin memiliki banyak materi. Akibatnya orang berlomba untuk mengumpulkan materi sebanyak mungkin agar dia semakin dihargai dan diperhitungkan jati diri atau martabatnya. Orang berlomba untuk mengumpulkan materi sehingga terkadang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya. Orang pun menjadi cemas untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya serta keinginan untuk mendapatkan materi sebanyak mungkin. Padahal apa yang diperebutkan sangat terbatas, sehingga orang menjadi berebut untuk memperolehnya. Hal ini menekan hati banyak orang, sehingga banyak orang menjadi mudah marah. Tidak mampu lagi ramah terhadap sesamanya bahkan orang mudah curiga pada sesamanya, sebab kuatir orang itu akan menjadi saingannya dalam memperoleh materi atau mengambil apa yang dimilikinya.

Yesus bukan orang yang membenci atau menolak uang atau kekayaan, sebab Dia mempunyai uang dan diikuti oleh perempuan-perempuan kaya. Bila Dia tidak mempunyai uang sama sekali mengapa Yudas diangkat menjadi bendahara? Tapi Yesus tidak ingin dikuasai oleh materi atau jabatan, sebab Dia tahu bahwa keinginan memperoleh harta dapat merusak manusia. Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Luk 12:15). Dia sejak awal sudah menolak kekayaan, jabatan dan kehormatan yang ditawarkan oleh iblis. Dia pun menolak ketika hendak dijadikan raja. Bagi Yesus tujuan hidupNya adalah untuk sesama. Bukan untuk menumpuk prestasi atau kekayaan. Bila orang mengejar kekayaan dan aneka prestasi maka dia akan menjadi egois dan sulit untuk melayani. Yesus datang ke dunia untuk melayani, maka Dia melepaskan semua itu. Dia tidak ingin terjebak untuk menikmati segala popularitas, kekayaan, status sosial, jabatan dan sebagainya. Bagi Yesus hal yang sangat penting adalah melayani manusia terutama yang miskin dan menderita. Kekayaan dan sebagainya dapat menghalangiNya untuk menjadi pelayan manusia.

Yesus menjadi terkenal bukan karena Dia kaya atau memiliki status terhormat, gelar yang hebat dan sebagainya. Dia menjadi terkenal sebab Dia melayani sesama. Dia mampu mewujudkan kasih secara nyata dan dapat dirasakan oleh banyak orang. Maka Dia pun berpesan kepada para muridNya untuk melakukan kasih secara nyata bukan mengumpulkan kekayaan atau aneka gelar. Inilah hukum yang utama dan terutama. Hukum yang menjadi inti dan dasar semua hukum. Kasih yang diajarkan oleh Yesus adalah kasih yang tulus dan sampai mengurbankan diri. Bila orang melakukan kasih yang tulus bagi sesama maka dia akan dihormati oleh Allah meski mungkin tidak dihormati oleh sesama. Kasih yang tulus mampu membangun persaudaraan diantara manusia. Orang yang hidup penuh kasih dia akan bahagia bila sesamanya berbahagia. Maka dia akan rela berbagi dengan sesamanya. Dia tidak digelisahkan oleh sesama yang ingin memiliki banyak hal. Dia akan berlaku ramah dan sopan terhadap setiap orang. Dia sadar bahwa yang penting adalah bukan apa yang dimilikinya melainkan sesamanya.

Penduduk di Klepu yang jauh dari gebyar kota besar masih belum terjangkit keinginan untuk menumpuk materi, sehingga mereka dapat hidup dengan tentram. Mereka melihat sesama bukan pesaing yang akan merampas apa yang dimilikinya melainkan sebagai manusia yang bermartabat sehingga patut dihormati. Mereka masih senang berbagi, sebab tidak berusaha mempertahankan apa yang dimilikinya. Mereka dapat ramah kepada setiap orang sebab baginya persaudaraan jauh lebih berharga daripada segala kepemilikan yang dimilikinya. Semoga saja apa yang nilai-nilai yang indah di Klepu tidak tergerus oleh arus pemikiran yang muncul di kota besar.

silakan baca selanjutnya "NILAI YANG MASIH TERSISA" ...

MARIA POTRET BURUH YANG DIKALAHKAN

0 komentar

Aku duduk disekitar 43 buruh. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Saat itu kami sedang mengadakan dialog mengenai kehidupan. Satu demi satu buruh dengan bebas menyatakan kegelisahannya, penderitaannya, harapan‑harapannya akan masa mendatang, gambaran kehidupan buruh yang sesungguhnya di pabrik tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Dialog berjalan mengalir dari satu tema ke tema yang lain. Aku hanya duduk mendengarkan mereka mengungkapkan isi hatinya.

Setelah beberapa buruh menyatakan pengalaman hidupnya, tiba‑tiba seorang buruh yang ada di hadapanku mengangkat jari. Maka aku persilahkan dia berbicara. Buruh perempuan ini berdiri dengan tanpa ragu. "Namaku Maria," katanya "Aku berasal dari sebuah desa di Sumatera Utara. Keluargaku miskin, maka aku hanya bisa sekolah sampai SMA. Setelah lulus aku memutuskan untuk merantau ke Batam. Alasanku, aku sudah besar dan tidak mau membebani orang tuaku dan kalau kerja, maka aku bisa membantu biaya sekolah adik‑adikku. Tapi pastur...." katanya berhenti sejenak, "setelah 7 tahun disini, aku ternyata tetap sebagai operator. Aku tidak punya tabungan. Aku juga belum punya jodoh, padahal umurku sudah 28 tahun." kontan semua buruh yang hadir tertawa ngakak. Mulailah perkataan simpang siur saling menggoda.

Dalam perjalanan pulang, perkataan Maria masih membekas dalam ingatanku. Tujuh tahun dia tetap sebagai operator, tabungan tidak punya dan jodoh juga belum dapat. Suatu penderitaan yang bertumpuk‑tumpuk. Soal tidak naik jabatan bagi Maria tidak menjadi persoalan yang mendasar, sebab dia sadar bahwa dia hanya lulusan SMA di desa. Tapi soal tabungan baginya merupakan persoalan yang cukup membebani. Setelah bekerja sekian lama, dia tetap tidak mampu menabung sedikitpun. Padahal tabungan adalah modal bagi masa depannya, sebab sistem kontrak membuatnya dapat diberhentikan dari pekerjaannya begitu masa kontrak selesai.

Maria bukan perempuan pemboros. Sebaliknya hidupnya sangat sederhana. Dia tinggal di sebuah kamar ukuran 2X3 m di ruli (rumah liar). Kalau melihat penampilannya, aku tidak yakin bahwa dia memiliki beberapa baju yang bagus. Dia juga tidak bermake up. Katanya dia sudah mencoba untuk makan sehari sekali saja, meski harus kerja seven to seven (12 jam perhari) dan kerap kali selama 7 hari penuh, sebab hari minggu atau hari raya biasanya di dipaksa oleh perusahaannya untuk OT (over time istilah untuk kerja lembur). Aku tanya kalau begitu kemana uang hasil kerjanya? Maria mengatakan bahwa sebagian besar uangnya dikirimkan ke keluarganya di desa. Dia menjadi salah satu tiang keluarga, sebab dia anak pertama dan masih mempunyai 5 adik yang harus dibiayai.

Bagi Maria mengirim uang ke orang tua adalah suatu perwujudan balas budi atau bakti. Bagi orang tuanya hal itu merupakan kewajiban seorang anak. Mereka tidak peduli bagaimana Maria harus mengumpulkan uang. Mereka tidak mengerti betapa beratnya hidup di Batam. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Maria bekerja di suatu perusahaan dengan gaji yang sangat tinggi untuk ukuran penghasilan di desa, maka dia wajib mengirimkan sebagian upahnya kepada mereka.

Maria juga gelisah dengan umurnya. Dia sudah tua dan belum mempunyai pacar. Hal ini membuatnya malu untuk pulang ke kampung, sebab apa kata orang di desanya kalau melihat dia belum menikah. Pasti akan menjadi bahan gunjingan. Selain itu siapa yang sudi menikah dengan perempuan yang sudah berumur seperi dia. Persoalan umur dan jodoh sering kali menekannya. Orang tuanya sudah beberapa kali mendesak dia untuk segera mencari pacar dan menikah, tapi untuk mendapatkan pacar di sini tidak mudah, sebab jumlah pria dan perempuan sangat tidak seimbang.

Maria adalah salah satu potret kecil penderitaan kaum perempuan di Batam. Masih banyak lagi kaum perempuan di Batam yang hidupnya jauh lebih menderita dibandingkan Maria. Mereka bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan dengan sistem kontrak dan aku yakin selamanya mereka akan tetap dikontrak sebagai operator, suatu bidang pekerjaan yang melakukan hal yang sama sepanjang bekerja. Misalnya dia bagian memasang kancing di perusahaan konveksi, maka selamanya dia akan memasang kancing.

Banyaknya perusahaan yang menggunakan tenaga perempuan, maka di sini jumlah antara pria dan perempuan tidak seimbang. Bagi pria yang tinggal disini akan sangat mudah mencari pacar. Dalam pembicaraan itu juga diceritakan adanya pria yang mempunyai beberapa pacar dan memanfaatkan pacarnya. Setiap hari dia hanya beralih dari satu perempuan ke perempuan yang lainnya untuk minta uang. Dia hidup dari pacar‑pacarnya. Dan banyak perempuan tidak tahu kalau dia ditipu oleh pria semacam ini, sebab ada begitu banyak perempuan. Kalau toh dia tahu, maka dia akan diam dan menerima saja. Dia terus saja berpacaran dengan pria itu demi gengsi, sebab ada banyak perempuan yang merasa malu bila tidak mempunyai pacar, sehingga mereka merelakan dirinya menjadi sapi perasan seorang pria asal dia mau menjadi pacarnya.

Aku protes dalam hati, mengapa ada pria yang memanfaatkan kelemahan dan peluang seperti ini? Sebetulnya ada protes yang lebih jauh lagi yaitu mengapa kaum perempuan sering dianggap rendah, tidak laku nikah, bila sudah agak tua belum mempunyai pacar dan menikah? Mengapa hal yang sama bagi kaum pria tidak pernah dipersoalkan? Akibat ketakutan ini (tidak laku) maka beberapa teman mau saja diperlakukan sebagai istri atau pacar yang sekian. Bahkan dia rela menghidupi pacarnya. Ini juga terjadi di komunitasku. Hampir semua pekerja seks mempunyai kiwir (istilah untuk suami‑suamian). Mereka pada umumnya tidak bekerja dan hanya mengandalkan hasil dari istrinya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, seorang pekerja seks mukanya lebam dan luka‑luka sebab habis dipukuli oleh kiwirnya, sebab ketika kiwir itu minta uang, si pekerja seks tidak punya uang sama sekali. Katanya malam harinya tidak ada tamu. tapi si kiwir itu tidak peduli. Padahal uang itu hanya untuk main judi dan beli minuman keras.

Di Batam ada pula ruli yang dihuni oleh perempuan‑perempuan simpanan apek‑apek (istilah untuk orang tua‑tua dari Singapura). Apek‑apek itu datang setiap hari sabtu sampai minggu. Pada umumnya perempuan itu memiliki suami, tapi mereka membiarkan istrinya menjadi simpanan apek‑apek. Jika sabtu sampai minggu mereka pergi, sehingga apek‑apek itu bisa leluasa. Masih banyak ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Banyak orang yang kurang peduli akan semua itu. Banyak orang mengaku pedih melihat ketidakadilan itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Kisah buruh perempuan di Batam adalah secuil cerita mengerikan tentang penderitaan perempuan di hampir seluruh pelosok bumi. Maria adalah satu dari jutaan perempuan yang sering diperlakukan tidak adil. Banyak kaum perempuan yang dengan sengaja dibisukan dan ditindas. Mereka hanya dijadikan obyek kesenangan oleh orang yang merasa dirinya mempunyai kekuatan. Mereka dirampas hak-haknya dan tidak dihargai martabatnya. Bila sistem dunia memang tidak adil dan menindas perempuan, maka seharusnya lembaga agama yang berusaha berjuang untuk mengangkat martabat perempuan. Namun ada banyak orang mendasarkan diri dengan ajaran agamanya melakukan penindasan pada perempuan. Ada orang mendasarkan diri pada hukum agama memutuskan untuk menikahi perempuan sebanyak mungkin, sebab menurut agamanya hal ini sah saja. Bagaimana bila hal itu dibalik sehingga dia menjadi suami yang kesekian dari seorang perempuan? Tentu hal ini akan ditolaknya.

Dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa manusia adalah gambaran diri Allah. Memang ciptaan pertama adalah lelaki namun Allah menciptakan perempuan sebagai ciptaan yang sepadan dengan lelaki. TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2:28). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa Allah menciptakan perempuan bukan hanya sepadan dengan lelaki tapi juga penolongnya. Bila lelaki sadar bahwa perempuan adalah penolongnya, maka dia akan menghormati perempuan. Yesus pun berusaha melawan pandangan saat itu dimana perempuan menduduki posisi yang rendah. Dalam Injil Yohanes digambarkan bahwa perempuanlah yang menjadi pewarta pertama sehingga banyak membawa orang pada Yesus. “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh 4:28-29). Dalam Injil Matius Yesus memuji iman perempuan Kanaan (Mat 15:21-28). Dalam surat Paulus yang menggambarkan kehidupan menggereja saat itu memang perempuan masih rendah kedudukannya. Namun seturut perkembangan jaman yang disertai oleh pemikiran-pemikiran kaum cerdik pandai, maka seharusnya perempuan semakin lama semakin dihargai dan memperoleh posisi yang setara dengan pria.

Maria dan masih banyak Maria-Maria yang lain hidup dalam penindasan. Memang di negara kita sejak awal abad ke 20 Ibu Kartini sudah mengungkapkan kegelisahannya sebagai perempuan yang sering dikalahkan oleh adat dan tradisi yang tidak adil. Apa yang dituliskan Ibu Kartini dalam surat-suratnya mendorong banyak orang untuk semakin peduli pada perempuan. Namun sampai saat ini Maria masih menjadi perempuan yang dikalahkan. Dengan demikian masih panjang jalan yang harus dilalui oleh perempuan untuk dihargai martabatnya.

Sampai larut malam aku masih duduk bersama teman-teman buruh di ruang pertemuan. Mendengar kisah beberapa temanku, aku jadi ngeri. Timbul pertanyaan dalam hati sampai dimana sosialisasi gender? Sampai dimana gerakan emansipasi? Bagaimana reaksi ibu Kartini jika melihat nasib para perempuan di Batam? Mengapa perempuan‑perempuan itu diam saja, meski ditindas? Apakah mereka tidak sadar kalau dirinya ditindas? Apakah mereka sadar kalau ditindas, namun pasrah pada nasib? Banyak pertanyaan yang bergulung‑gulung dibenakku, tapi semuanya tidak bisa kutemukan jawabannya satupun. Maria akan terus menjalani hidupnya dalam penderitaan. Aku hanya bisa diam terpaku disini.

silakan baca selanjutnya "MARIA POTRET BURUH YANG DIKALAHKAN" ...

AKU SEORANG PEKERJA SEKS

0 komentar

Perempuan muda itu wajahnya kuyu. Matanya sembab. Entah sudah berapa lama dia menangis. Tubuhnya yang agak gemuk kelihatan layu. Pakaiannya ala kadarnya. Kacau. Dia datang menemuiku di suatu malam yang disiram gerimis kecil. Aku baru pertama kali ini melihat wajahnya. Dia memperkenalkan diri. Ketika kutanya dimana rumahnya, dia mengatakan sebuah daerah yang tidak jauh dari gereja. Aku tanya kenapa dia tidak ikut mudika? Ternyata dia bukan orang Katolik. Dia mengetahui namaku dari salah seorang temannya. Lalu dia menyebutkan nama seorang perempuan, tapi aku sendiri lupa apakah pernah bertemu dengan pemilik nama itu atau belum. Temannya menyarankan agar dia datang padaku untuk meminta pertolongan. Melihat penampilannya yang kacau aku tahu bahwa gadis ini sangat menderita. Maka kutawari dia minuman. Sedikit senyum menghiasi bibirnya.

Setelah meminum air kemasan, gadis itu mulai bercerita. Aku seorang perempuan yang jatuh dalam dunia hitam katanya memulai ceritanya. Sejak lulus SMP di desa aku datang ke Surabaya diajak oleh seorang teman. Aku tidak tahu bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh temanku itu adalah pekerjaan seperti ini. Semula dia mengatakan bahwa aku akan bekerja di sebuah restoran seperti dia. Siapa yang tidak tergiur bila melihat perhiasan yang menempel di leher dan pergelangan tangannya. Baju-baju yang sangat bagus. Satu tas besar berisi alat kosmetik. Kiriman uang kepada keluarga yang cukup besar bagi ukuran orang desa. Semua itu diperoleh dari hasil kerjanya di restoran. Mendengar ceritanya dan melihat apa yang dikenakannya, maka orang tuaku tanpa berpikir panjang menyarankan agar aku ikut dengannya. Apa yang dapat diharapkan di desa yang miskin ini? Paling kau akan menikah dengan pemuda desa, katanya membujuk. Setelah semalam membangun mimpi dengan bapak dan ibu tentang masa depan keluarga. Tentang kemiskinan yang akan berakhir. Tentang hidup kota yang gemerlap. Akhirnya ketika surya mengintip bumi, aku berangkat bersama temanku.

Dolly adalah nama yang sangat asing bagi telingaku. Temanku bilang disanalah tempatku. Siang hari aku sudah sampai daerah yang dituju. Kekecewaan segera menerkam hatiku ketika melihat lingkungan Dolly. Semua itu jauh dari bayanganku sebelum berangkat. Aku hanya melihat jalan kecil yang ramai dilalui aneka kendaraan. Deretan rumah yang cukup padat berjajar di sepanjang jalan. Dari beberapa rumah yang terbuka daun pintunya terdengar suara musik yang memekakkan telinga. Beberapa pemuda berdiri di dekat pintu masuk. Ada yang memakai seragam ada pula yang tanpa seragam. Temanku mengajak ke salah satu rumah. Disana aku berkenalan dengan beberapa perempuan. Mereka sangat genit. Dandanan mencolok. Aku tertegun. Apakah aku tidak salah masuk? Temanku memperkenalkan aku pada seorang ibu separo baya yang menjadi pemilik rumah. Dia memuji-muji kecantikanku. Padahal wajahku biasa saja. Tidak berapa lama kemudian dia memberiku pakaian yang bagus. Aku sudah mulai curiga. Tempat apakah ini? Beberapa kali aku pernah dengar tentang tempat semacam ini. Di kotaku juga ada perempuan-perempuan semacam ini. Perempuan yang dipandang sangat hina. Tapi aku berusaha menghibur diri bahwa temanku hanya mampir ke rumah salah satu teman. Aku tidak akan bekerja disini. Temanku pasti tidak akan memasukan aku dalam lingkaran dosa. Malam jatuh ke bumi. Jalan kecil semakin ramai. Lampu kelap kelip menghiasi beberapa rumah. Suara musik yang keras terdengar dari mana-mana. Lelaki dengan aneka dandanan mulai muncul di rumah tempatku. Ibu pemilik rumah memanggilku. Kulihat dia berbisik-bisik sambil tersenyum pada seorang lelaki setengah baya. Itulah awal petaka. Malam itu aku mengalami malam yang sangat mengerikan dalam hidup. Suatu malam yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Segala impian yang sudah kubangun dari desa hancur. Aku merasa kehilangan diriku. Tidak ada lagi yang kupertahankan dalam hidup.

Dua tahun aku menjalani kehidupan yang sangat merendahkan diri. Aku seperti sebuah toilet umum yang menerima buangan dari para lelaki. Aku harus tersenyum tanpa tahu mengapa aku tersenyum. Aku dipaksa merayu dan melayani setiap lelaki di depanku. Hidupku hanya bergerak dari satu lelaki ke lekaki lain. Semula aku merasa berat menjalani hidup semacam ini. Pernah terpercik pikiran akan lari, namun beberapa teman berbisik-bisik bahwa lari dari tempat ini bukanlah langkah yang mudah. Mereka akan mencari dan memaksaku kembali. Akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam rumah yang penuh dosa ini. Selama dua tahun aku tidak tahu berapa banyak lelaki yang sudah aku layani. Aku menjadi semakin tahu bagaimana harus melakukan pekerjaan itu. Tiga kali aku pulang ke desa. Banyak barang kubawa. Tidak beda dengan temanku dulu. Orang tuaku bangga. Mereka bercerita ke semua tetangga bahwa aku sudah berhasil di kota. Padahal setiap pulang aku selalu seperti melihat diri dalam sebuah cermin. Aku malu untuk melihat diri tapi aku tidak berkuasa untuk melarikan diri dari hadapan cermin. Aku lebih banyak mengurung diri di rumah daripada pergi ke rumah tetangga, ke pasar atau tempat yang lain. Setiap aku berjalan ke luar rumah aku tidak berani mendongakkan kepala. Aku malu. Seolah semua orang menatapku penuh dengan kejijikan. Di desaku dan pasti juga di semua desa, pekerja seks adalah orang yang sangat hina dan akan digunjingkan oleh banyak orang. Tidak ada satu pun orang yang pernah memahami pekerjaan ini. Mereka hanya mencaci maki dan memandang penuh kejijikan. Padahal belum tentu mereka tidak pernah menggunakan jasaku.

Suatu hari ada seorang dari luar pulau datang ke rumah tempat kami bekerja. Dia sangat baik. Usianya sudah jauh diatasku. Dia langganan utama. Kami berhubungan sangat dekat. Setiap saat kami saling menelpon. Setelah berhubungan selama beberapa bulan akhirnya aku hamil. Orang dari luar pulau itu merasa kasihan padaku. Usiaku belum genap 17 tahun dan sudah harus mempunyai anak. Beberapa kali aku mencoba untuk menggugurkan tapi tidak berhasil. Akhirnya lelaki itu mau menikahiku, meski kami tidak tahu siapa ayah dari anak yang ada dalam kandunganku. Kami menikah di modin, sebab dia sudah punya istri sah dan beberapa anak. Dia memaksaku untuk meninggalkan rumah tempat bekerja dan mencari kost diluar. Akhirnya aku kost di sebuah kampung yang tidak terlalu jauh dari Dolly. Aku melahirkan anak perempuan. Kini berusia 4 bulan.

Sejak anakku lahir, lelaki itu tidak pernah datang lagi. Ditelpon pun tidak pernah diangkat. Bahkan dia sudah ganti nomor HP. Aku tidak dapat menghubunginya. Pernah aku mencari di tempat kerjaku dulu. Beberapa teman mengatakan bahwa lelaki itu masih sering datang. Beberapa kali aku berusaha menemuinya tapi tidak berhasil. Kini aku harus hidup bersama anakku. Tanpa penghasilan. Uang tabungan sudah habis untuk biaya persalinan. Aku tidak ingin kembali ke pekerjaan yang lama. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Sudah banyak lamaran yang aku ajukan ke toko atau rumah tangga sebagai pembantu, tapi semua tidak ada hasilnya. Ijasah yang kumiliki hanya ijasah SMP di desa. Apa arti ijasah itu dikota? Aku juga kecewa pada suamiku. Dia memang berjasa mengeluarkan aku dari Dolly, tapi mengapa sekarang dia tidak mau menyapaku? Aku hanya ingin tahu bagaimana kelanjutan hubungan kami. Apakah dia menginginkan putus denganku atau melanjutkannya. Aku tidak mempermasalahkan apakah aku akan menjadi istri ketiga atau keempat dan sebagainya. Aku hanya ingin keluar dari tempatku bekerja dan memulai hidup baru sehingga bila suatu saat pulang ke desa aku dapat menegakkan kepala tanpa rasa malu atas pandangan orang lain. Itu saja yang aku inginkan. Tapi mengapa dia meninggalkan begitu saja? Mengapa tidak mau menerima telponku? Apalagi menemuiku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Saat ini aku sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Pulang ke desa tidak menyelesaikan masalah. Bahkan lebih menambah masalah bagi orang tua. Apa kata penduduk desa bila melihatku pulang dengan menggendong seorang bayi? Bagaimana bila mereka tahu bahwa aku selama ini bekerja di Dolly, sebuah kompleks pelacuran yang katanya terbesar di Asia? Dimana orang tuaku harus meletakkan mukanya? Bagi mereka kehormatan dan harga diri sangat besar artinya. Menjadi pekerja seks adalah tindakan penghancuran harga diri bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh keluarga. Keluargaku pasti akan sulit menerimaku meski mereka sangat mudah menerima apa yang aku hasilkan.

Wajah perempuan muda itu semakin kuyu. Air mata mengalir membasahi pipinya. Matanya semakin sembab. Kemanakah aku harus berjalan? Tanyanya putus asa. Sesaat kami masuk dalam keheningan. Cerita seperti ini sudah pernah aku dengar dulu. Dulu aku berusaha membantu memberinya modal untuk alih profesi. Tapi orang yang kubantu akhirnya gagal. Maka aku bertanya pada perempuan di depanku apakah yang dapat kubantu? Perempuan itu hanya menggelengkan kepala. Dia mengucapkan terima kasih sebab aku mau mendengarkan dan meneguhkannya. Meski dia bukan orang Kristen tapi aku masih mau mendengarkan dan tidak menyalahkannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu harus kepada siapa dia bercerita untuk mendapat peneguhan dan pencerahan bagi hidupnya yang kelam sekelam malam yang gerimis.

Aku heran dengan pernyataan gadis itu, sebab selama dia bercerita aku hanya duduk memandanginya. Aku hanya diam dan berusaha memahaminya segala pergolakan hatinya. Aku hanya berusaha membayangkan seandainya aku ada dalam posisinya. Ternyata ini sudah merupakan peneguhan padanya. Beberapa kali dia bercerita pada orang, ternyata orang itu memberikan banyak nasehat yang intinya hanya menyalahkan dia mengapa mau bekerja di Dolly. Dia mengatakan kalau tahu akan bekerja sebagai pekerja seks pasti tawaran temannya itu akan ditolak oleh semua keluarganya. Tidak ada satupun orang tua yang bangga anaknya bekerja sebagai pekerja seks meski dia mampu memberi banyak barang dan uang. Lebih baik baginya makan sehari sekali tanpa lauk sekalipun, daripada menjadi pekerja seks. Tapi semua sudah terlanjur. Sekali orang masuk maka sulit sekali keluar, kecuali sudah tidak laku lagi maka akan dibuang begitu saja. Sekali lagi kutawari apakah dia mau modal untuk usaha? Perempuan itu menolak. Dia merasa bahwa aku sudah cukup memberi bantuan. Dia berharap bila suatu saat mengalami kebuntuan hidup maka dia akan datang lagi padaku. Aku terkejut. Biasanya orang bercerita sedih dan ujungnya meminta bantuan. Tapi perempuan ini menolak bantuan materi yang kutawarkan. Dia sudah merasa nyaman karena aku mau mendengarkan kisahnya dan memahaminya. Bagiku ini pengalaman baru dimana orang membutuhkan bantuan materi tapi menolak ketika akan diberi. Penolakan perempuan itu merupakan tamparan bagiku. Dia mampu mencelikkan mataku bahwa pertolongan tidak dapat disempitkan hanya pada materi.

Sering kali aku sudah merasa menolong seseorang bila mampu berbagi materi dengannya. Orang miskin yang datang cukup diberi uang. Selesai. Namun dari pengalaman ini aku menjadi sadar bahwa pertolongan lebih luas dari sekedar pemberian materi. Pertolongan adalah penghargaan martabat manusia. Yesus menyembuhkan orang kusta karena sebagai orang kusta mereka telah kehilangan martabatnya sebagai manusia. Yesus berteman dengan Zakheus sebab Zakheus dikucilkan oleh masyarakat. Dia kehilangan martabatnya sebagai manusia. Maka ketika Yesus menawarkan akan makan di rumahnya dia segera turun dari pohon dan mengadakan perjamuan bahkan dia berani membagikan kekayaannya. Sebagai pekerja seks perempuan ini juga telah kehilangan martabatnya. Maka ketika aku mau mendengarkan dan tidak mengadilinya, dia merasa bahwa aku sudah menghargai martabatnya. Ini jauh lebih besar dari pertolongan materi yang dapat aku berikan, maka dia menolaknya.

Setelah berbasa basi sejenak, maka perempuan muda itu mohon pamit. Hujan gerimis segera menelan tubuh perempuan itu. Dia berjalan cepat dan menghilang di jalan raya. Berapa banyak orang yang mengalami hidup seperti perempuan itu? Tanyaku dalam hati. Dia harus berjuang untuk mengatasi masalah hidupnya sendiri. Dia harus menyimpan semua kegalauan hatinya sendiri. Dia memang telah masuk dalam sebuah pekerjaan yang dianggap hina, namun itu bukan merupakan pilihannya. Dia terpaksa masuk dan menjalani semua itu. Namun orang sering mudah menuduh tanpa mau mendengarkan latar belakangnya. Orang mudah merasa jijik melihat para pekerja seks padahal belum tentu mereka adalah orang yang menjijikkan dan belum tentu juga orang yang merasa jijik hidupnya lebih baik dari para pekerja seks.

Di depan pintu pasturan aku menatap air hujan yang turun semakin deras. Terlintas wajah perempuan tadi. Kemana dia akan melangkah pada hari esok? Bagaimana dia harus menghidupi anaknya? Perempuan tadi hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai pekerja seks. Sering orang hanya mampu menuding dan menyalahkan mereka tanpa berusaha mengetahui mengapa mereka memilih pekerjaan itu. WS Rendra, salah seorang penyair terkenal, pernah menulis sajak berjudul “Nyanyian Angsa” yang menceritakan tentang seorang pekerja seks yang akhirnya meninggal dalam pelukan Yesus. Bila Yesus ada saat ini apakah yang akan diperbuatNya? Sejak dahulu kala pekerja seks dianggap orang yang hina, tapi dalam sejarah keselamatan ada pula seorang pekerja seks yang berjasa bagi bangsa Israel. Atas bantuan seorang perempuan sundal maka mata-mata Israel selamat dari kejaran orang Yerikho (Yos 2:1-24). Yesus pun berteman dengan perempuan yang tertangkap berbuat jinah dan banyak ahli Kitab Suci yang mengatakan bahwa perempuan itu adalah seorang pekerja seks. Bahkan Yesus menurut Yohanes menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena yang diduga adalah seorang pekerja seks yang bertobat. (Yoh 20:11-18). Dengan demikian belum tentu seorang pekerja seks adalah orang yang hina dan dapat diperlakukan sesuka hati. Mereka adalah manusia yang memilih pekerjaan yang dianggap tidak layak bagi masyarakat.

Pekerja seks juga manusia yang mempunyai harga diri. Mereka masih mempunyai nurani dan malu pada situasi hidupnya. Namun sering kali mereka tidak berdaya menghadapi kenyataan. Memang bagi orang yang ada diluar hidup mereka dapat mengatakan dengan mudah seharusnya mereka begini atau begitu. Tapi bagi mereka yang menjadi pelakunya perubahan hidup atau alih profesi bukanlah hal yang mudah. Status mereka sebagai pekerja seks saja sudah menjadi salib yang sangat berat baginya. Perempuan tadi pun merasakan betapa banyak orang hanya menyalahkan tanpa memberi alternatif jalan keluar dari hidupnya. Banyak orang hanya mampu menuding tanpa mau memahaminya. Inilah yang membuatnya merasa semakin terkucil dan tidak berani melangkah keluar dari kehidupannya. Bagaimana akan mampu alih profesi bila semua orang memandang rendah padanya? Seorang teman yang dulu pekerja seks dan mau meninggalkan pekerjaannya dengan memulai usaha baru, ternyata mengalami kegagalan. Usahanya tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapinya. Salah satunya adalah pandangan orang terhadap dirinya.

Aku masih berdiri di depan pintu menatap air hujan yang mulai menggenangi halaman yang gelap. Hidup perempuan itu bagaikan halaman yang gelap penuh genangan air mata.

silakan baca selanjutnya "AKU SEORANG PEKERJA SEKS" ...

MANUSIA YANG DIKALAHKAN

0 komentar

Puluhan orang duduk berdesakan di sela rak-rak buku bekas. Asap rokok memenuhi ruangan. Mengepung setiap tubuh. Udara segar yang ditebarkan oleh kipas angin tua yang tergantung di langit-langit dan berputar dengan suara gemerisik, tidak mampu menyentuh hidungku. Angin malam yang berhembus dingin hanya sesekali lewat sedikit memberi kesegaran. Aku sedot air dari gelas air kemasan untuk mengurangi rasa kering di tenggorokan.

Di sekelilingku berderet dalam desakan wajah-wajah kumuh. Rambut gondrong. Pakaian kumal. Persis seperti situasi kehidupan yang sedang kami bahas. Kehidupan kami adalah wajah kumal dari sebuah kota. Jerawat di seraut wajah. Ingin disingkirkan agar wajah tampak bersih. Tapi satu disingkirkan dia akan tumbuh di lain tempat. Maka dilakukan kekerasan dengan aneka cara meski tidak menyelesaikan masalah. Digencet. Dicukil. Dipencet-pencet sampai berdarah-darah sehingga menimbulkan luka dimana-mana. Demikian pula kehidupan kami. Digencet. Dimarginalkan. Diusir dan dicaci maki. Ditendang dan digebuki sampai berdarah-darah. Kehadiran kami dianggap sebagai noda buruk di wajah ibu kota yang sedang bersolek agar dapat anugerah.

Beberapa hari ini aparat mulai dari pasukan dari Polwil, Koramil, SatPol PP, pegawai kecamatan, kelurahan, pemkot dan sebagainya datang untuk memberitahukan batas akhir keberadaan kami di Jl. Semarang. Kami terheran-heran melihat banyaknya petugas dari berbagai pasukan, layaknya hendak maju perang. Seorang ibu yang menjadi kepala pasukan dengan tegas dan keras memutuskan tanpa memberi ruang tawar. Kami seolah bukan warga negara yang dilindungi hukum, sehingga tidak ada hak untuk membela diri atau memberikan penawaran. Apakah memang hukum tidak ada bagi kami yang hanya dianggap kaum liar? Memang sudah banyak contoh bila kaum seperti kami ini selalu kalah atau dikalahkan. Kadang kami berpikir apakah benar negara ini disebut sebagai negara hukum yang sering diagungkan dan dikatakan oleh orang-orang hebat? Bila negara hukum apakah hukum itu adil bagi semua rakyat? Terkadang ada tontonan hukum yang bergerak dan diatur oleh orang yang kuat dan ditamengi oleh uang, kekuasaan, jabatan dan sebagainya.

Orang-orang yang duduk berkumpul memanjang seiring sela rak buku bekas saling memberikan pendapat untuk mendukung para kurban yang akan digusur. Mengapa kami selalu digusur? Kehadiran PKL penjual buku bekas di Jl. Semarang sudah bertahun-tahun. Jauh lebih lama daripada mall atau supermarket yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Mall dan supermarket dibangun oleh orang yang mempunyai dana sangat besar sehingga gedung-gedungnya besar dan indah meski tidak jarang menggusur pemukiman penduduk bahkan fasilitas umum, seperti lapangan olah raga. Gedung-gedung itu diijinkan berdiri sebab dianggap mampu menunjukkan kemakmuran warga kota. Sedangkan PKL dianggap sebagai bukti kemiskinan warga. Para pejabat enggan melihat ada warga miskin di daerahnya. Maka mereka harus dibersihkan dan disingkirkan. Ada banyak alasan yang digunakan oleh pihak berwenang untuk melakukan hal itu. Pemerintah membuat perda-perda yang digunakan landasan hukum, meski perda itu dapat tidak sevisi dengan UUD 45. Dalam UUD 45 yang seharusnya menjadi landasan hukum dari setiap keputusan pemerintah atau UU dikatakan bahwa kaum miskin dipelihara negara, namun perda dapat menyatakan yang berbeda. Memang perda tidak secara jelas menyingkirkan kaum miskin, namun akibat perda itu kaum miskin disingkirkan atau dimarginalkan.

Beberapa orang berusaha mencari jalan damai dengan berusaha mengajukan tempat sebagai alternatif pinggir jalan. Namun usulan mereka ditolak. Penguasa hanya berusaha menyingkirkan tanpa memberi ruang baru. Kalau toh mereka memberikan tempat baru, maka tempat itu sangat tidak mendukung. Penguasa menyodorkan tempat di lantai dua sebuah pasar pakaian. Usulan ini kami anggap kurang bijak. Bagaimana mungkin kami akan berjualan buku bekas ditengah orang berjualan pakaian? Selain itu tempatnya cukup jauh dari rumah kami yang berada di sekitar Jl Semarang. Penguasa juga mengajukan usul agar kami pindah ke pinggiran kota. Bagaimana mungkin kami berjualan buku di sekitar tanah yang masih berupa persawahan? Seorang teman bertanya apakah kita akan mengajari kodok membaca?

Kehadiran PKL penjual buku bekas sebetulnya sangat menguntungkan bagi masyarakat di Surabaya. Mereka menyediakan buku-buku dengan harga yang sangat murah. Meski disebut bekas namun masih banyak buku yang cukup bagus. Dengan tingginya biaya pendidikan dan mahalnya harga buku baru, maka buku bekas dapat mengurangi anggaran yang harus dikeluarkan oleh pelajar dan mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa dan pelajar tapi orang umum pun banyak yang datang untuk mencari buku-buku sebagai bahan bacaan menambah ilmu pengetahuan. Orang harus mengeluarkan jutaan rupiah bahkan puluhan juta untuk memiliki ensiklopedia, tapi dengan membeli ensiklopedia bekas orang tidak perlu mengeluarkan jutaan rupiah. Selain itu ada banyak buku-buku lama yang sudah tidak ada di toko buku namun ada di sini. Dengan demikian kehadiran para penjual buku bekas sangat penting bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah untuk memperluas wawasan. Bila kami digusur entah kemana, maka kemana masyarakat akan membeli buku yang murah?

Jam terus bergerak menuju dini hari. Orang-orang yang hadir sudah mendapatkan titik terang untuk mempertahankan diri. Namun perjalanan untuk memperoleh keadilan dan hak sebagai warga negara masih sangat jauh. Kekalahan dan penggusuran masih kuat terbayang di mata kami. Bagi kami yang hadir disini kekalahan dan penggusuran mungkin akan kami alami. Kami tidak akan mampu melawan orang yang bersenjata api dan didukung oleh peralatan perang sedangkan kami hanya bersenjatakan tekad untuk bertahan. Kami akan kalah dan dikalahkan namun setidaknya kami berusaha untuk bertahan. Kami ingin sedikit menujukkan kepada penguasa agar tidak memperlakukan masyarakat miskin kota sebagai warga yang sungguh-sungguh tidak ada manfaatnya sama sekali bagi warga kota lainnya. Kami ingin sedikit menunjukkan bahwa kami adalah warga negara yang ingin meraih hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi oleh UUD 45.

silakan baca selanjutnya "MANUSIA YANG DIKALAHKAN" ...

Kamis, 17 April 2008

RUMAHKU PENUH LUMPUR

0 komentar

Seorang ibu muda dengan terisak mengatakan, “Bila saya ditanya apa yang saya butuhkan, maka saya tidak tahu apa yang saya butuhkan. Saya hanya butuh rumah saya kembali.” Ibu ini adalah salah satu kurban semburan lumpur Lapindo, Porong. Dia menceritakan seminggu yang lalu dia bersama anak dan suaminya masih makan bersama di ruang makan yang kecil. Menonton TV bersama setelah seharian bekerja. Bernyanyi bersama para tetangga untuk mempersiapkan misa Natal. Tapi sekarang semua tidak dapat dilakukan kembali. Rumahnya sudah tergenang lumpur. Dia harus meninggalkan rumah yang dibeli ketika masih pacaran. Rumah yang menjadi saksi bisu suka duka membangun keluarga baru. Di rumah itu dia melahirkan anak semata wayang. Mengasuh anaknya dan membangun masa depan. Semua musnah begitu saja akibat lumpur yang terus mengalir dan menggenangi rumahnya.Semburan lumpur yang sudah sejak bulan Mei 2006 dan entah kapan berakhir secara perlahan melebar kemana-mana. Puluhan hektar sawah dan kompleks perumahan sudah tenggelam. Meledaknya pipa gas milik pertamina semakin memperparah situasi. Lumpur yang diperkirakan tidak memasuki perumahan padat ternyata mengalir dan menggenangi perumahan. Memaksa orang di perumahan untuk meninggalkan rumahnya dalam waktu singkat. Mereka dicabut begitu saja dari tempat mereka berpijak. Mereka harus mengungsi dan tidak mungkin kembali lagi pada rumah yang mereka beli dengan susah payah. Rumah yang mereka jadikan harapan untuk membangun keluarga. Rumah yang menjadi idaman mereka ketika memulai hidup berkeluarga kini semua musnah. Rumah tinggal menjadi bangunan tidak berarti yang menyembul dari lumpur kering bahkan hilang menjadi sebuah tanggul.Para petinggi pemerintah dan perusahaan Lapindo hanya menghitung rumah yang rusak dan perkiraan ganti rugi. Padahal masalah kehilangan rumah tidak sesederhana itu. Rumah bagi para kurban bukanlah sekedar bangunan mati melainkan gerak dan denyut kehidupan mereka. Tempat mereka membangun kehidupan keluarga. Tempat yang dapat mereka banggakan pada sesamanya. Tempat mereka kembali setelah bekerja. Banyak orang membangun rumah yang disesuaikan dengan karakter dirinya. Rumah adalah cerminan diri seseorang. Apalagi orang sederhana yang harus dengan susah payah mengumpulkan uang untuk membangun sedikit demi sedikit. Pembangunan yang merupakan sebuah bentuk perjuangan yang lama dan keras. Bangunan rumah itu menjadi kebanggaan dan monumen perjuangan hidup. Kini semua hancur. Mereka kehilangan apa yang dibanggakannya. Mereka dipaksa pergi dengan cepat tanpa persiapan apa-apa. Maka ibu muda tadi bila ditanya orang apa yang dibutuhkan saat ini, dia menjawab bahwa dia tidak tahu. Dia kehilangan kebanggaannya dan hasil perjuangannya dalam waktu yang singkat. Dia tidak mungkin kembali untuk membangun apa yang sudah dimulai. Dia harus mengawali dari nol kembali.Pengungsian membuat orang kehilangan komunitasnya. Selama di perumahan mereka sudah membangun pertemanan yang baik dengan sesamanya. Hancurnya kampung mereka membuat mereka harus terpisah dari teman-teman atau komunitasnya. Memang mereka dapat membangun pertemanan atau komunitas dimana saja. Tapi hal itu tidak mudah. Jaman ini kecenderungan individualis sangat kuat, meski dalam hati yang terdalam manusia membutuhkan sesamanya. Situasi jaman juga membentuk orang untuk tidak mudah percaya pada sesamanya. Mereka butuh waktu untuk membangun persaudaraan atau pertemanan. Di perumahan para kurban sudah mampu membangun persaudaraan dengan baik. Kini mereka kehilangan pertemanan dan harus membangun kembali pertemanan yang baru.“Saya adalah salah satu orang yang pertama di perumahan TAS,” kata seorang bapak muda. Dia seorang guru. “Saat itu TAS masih belum ada listrik. Kami menggunakan lampu minyak. Sedikit demi sedikit saya membangun rumah yang sederhana untuk masa depan anak-anak. Kini semua musnah. Kami hanya mampu menatap sisa rumah kami di tengah lautan lumpur.” Lanjutnya sambil terisak. “Saat itu saya sedang mengajar di sebuah SMP swasta di Surabaya ketika istri saya menelpon bahwa air sudah masuk. Segera saya pulang. Saya memacu sepeda motor dengan gila. Pikiran saya kalut. Saya harus menyelamatkan anak dan istri saya.” Lanjutnya. Semua keluarganya selamat tapi rumahnya tenggelam dalam lumpur. Gajinya sebagai seorang guru tidaklah cukup banyak. Dia harus menabung sedikit demi sedikit untuk mencicil rumah dan merenovasinya. Kini setelah rumahnya dianggap layak huni, dia dipaksa meninggalkannya. “Saya masih harus mencicil rumah yang tidak mungkin saya tempati lagi.” Katanya menutup pembicaraan.Banyak para penghuni perumahan TAS (Tanggulangin Anggun Sejahtera) yang masih harus mencicil rumahnya. Penghuni TAS pada umumnya adalah keluarga muda yang baru merintis karir atau menjadi pegawai sederhana. Mereka harus pintar membelanjakan penghasilan yang tidak banyak untuk biaya hidup dan mencicil rumah. Setelah bertahun-tahun mencicil kini mereka dipaksa pindah oleh lumpur. Pemerintah dan Lapindo di koran dan media massa lain mengatakan akan mengganti rumah, tanah, atau ladang yang terkena lumpur. Mereka juga berjanji akan memberikan uang Rp 2.000.000 untuk kontrak rumah. Berita itu dimuat di koran dengan tulisan besar-besar. Dalam waktu sekejap harga kontrakan rumah di Sidoarjo melambung tinggi. Hal ini disebabkan berita adanya uang ganti kontrak dan melonjaknya orang yang membutuhkan rumah kontrakkan. Parahnya janji itu masih sekedar ditulis di koran. “Kami harus kos,” kata seorang ibu muda, “Biaya kos sebulan Rp 300.000. Ini sangat berat bagi kami. Tapi tidak ada pilihan. Maka saya tidak tahu bulan depan apakah akan mampu membayar uang kos atau pindah entah kemana lagi.”Bencana lumpur Lapindo memang tidak segempar bencana tsunami di Aceh atau gempa di Jogjakarta. Namun sebetulnya bencana ini menimbulkan kepedihan yang mendalam bagi para kurban. Bila orang Jogjakarta setelah bencana mampu kembali ke tanah mereka. Membangun kembali rumah mereka. Menggarap sawah mereka kembali, bahkan ada banyak sawah yang tidak hancur akibat gempa sehingga masih dapat diharapkan hasilnya. Tapi kurban Lapindo tidak mungkin akan kembali ke tanah mereka. Rumah mereka musnah atau tersisa sebagian bangunan. Sawah mereka sudah menjadi lautan lumpur yang tidak mungkin ditanami kembali. Mereka dipaksa meninggalkan tempatnya berpijak selama ini. Tempat mereka membangun harapan. Inilah kepedihan mereka yang mendalam.Selama ini pemerintah hanya berbicara soal hasil survey tentang data material dan jumlah kurban lalu mengeluarkan aneka analisa dan keputusan yang dilakukan di belakang meja sebuah hotel mewah. Mereka tidak pernah mencoba memposisikan diri menjadi kurban. Orang yang diusir dari tempatnya berlindung. Dalam hal ini perasaan kehilangan dan terusir tidak pernah diungkapkan. Padahal hal itu sangat besar pengaruhnya pada para kurban. Anak-anak kehilangan arena bermain. Mereka juga cemas kalau sekolah mereka tenggelam dan sudah ada sekolah yang tenggelam. Mereka bingung dengan masa depan pendidikan mereka. Mereka juga malu dikatakan sebagai anak pengungsi yang tinggal di pasar Porong.Memang bagi orang yang cukup mampu dalam segi ekonomi mereka akan cepat pindah rumah dan memindahkan sekolah anak-anak mereka. Atau orang yang masih mempunyai keluarga di sekitar Sidoarjo dan Surabaya akan segera bergabung kembali dengan keluarga mereka. Tapi bagaimana dengan orang yang kurang mampu dan jauh dari keluarga mereka? Mereka tidak mungkin meninggalkan Porong sebab mereka bekerja di Sidoarjo. Disinilah sumber kehidupannya. Pemerintah pernah menganjurkan agar mereka sudi untuk mengikuti program transmigrasi tapi apakah itu akan menyelesaikan masalah kemanusian? Disini terjadi perbedaan pandangan antara penguasa dan para kurban. Penguasa melihat semua dari data dan pemecahan yang memungkinkan. Tapi kurban melihat dari perasaan terusir dan ketidakadilan. Bagi mereka pengeboran minyak bukan urusan mereka. Tidak sekalipun mereka diajak berunding oleh Lapindo bahwa perusahaan itu akan mengadakan pengeboran minyak disana. Kini mereka harus menanggung bencana yang diakibatkan oleh sesuatu yang bukan salah mereka. Bila pengeboran minyak itu berhasil apakah Lapindo akan memberikan keuntungan pada penghuni perumahan dan para petani? Pasti tidak. Semua keuntungan akan dinikmati sendiri oleh perusahaan dan pemerintah. Tapi ketika terjadi bencana maka yang dirugikan adalah masyarakat yang tidak tahu menahu soal pengeboran minyak.Luapan lumpur dengan cepat mengubah status seseorang. “Dulu saya sering mengkoordinir teman-teman untuk menyumbangkan sembako pada kaum miskin. Kini saya harus menerima tas kresek hitam berisi sembako.” Kata seorang ibu muda dengan nada pedih. “Saya sebenarnya malu. Tapi bagaimana lagi.” Katanya pasrah. Lumpur membuat orang kehilangan harga dirinya. Dia tidak mampu mempertahankan kebanggaan diri sebagai seorang pemberi. Kini dia harus menjadi orang penerima. Orang yang menunggu belas kasih dari para penentu kebijakan. Padahal seharusnya dia tidak membutuhkan itu.“Saya tidak tahu bagaimana masa depan pendidikan anak-anak saya,” kata seorang bapak dengan berlinang air mata. “Kami harus tinggal di kios pasar. Ada sekitar 24.000 orang yang harus berdesakan di pasar. Bagaimana anak-anak dapat belajar dengan baik? Anda dapat membayangkan betapa repotnya kami harus mandi dan buang air, sebab kamar mandi sangat terbatas.” Lanjutnya. “Lapindo memang memberikan jatah makanan, tapi makanan datang tidak pasti. Kadang juga sudah bau dan rasa tidak enak sama sekali. Kami tidak mungkin masak sendiri.” Kata seorang lelaki muda yang baru beberapa tahun menikah. Dia menyesalkan tindakan pemerintah yang sangat lambat. Para pejabat hanya berunding dan mengumbar janji di koran dan TV tapi kenyataan sangat jauh dari apa yang dikatakan. Para kurban tidak makan janji dan diskusi atau kunjungan para pejabat yang tidak menyelesaikan masalah. Sudah banyak pejabat yang datang dan melihat. Mereka hanya mengumbar janji penghiburan yang tidak terealisasikan. Para kurban butuh terpenuhinya uang ganti rugi dalam bentuk lembaran rupiah di tangan mereka. Inilah yang masih dalam mimpi.Masih banyak lagi kurban yang tidak dapat menyerukan kepedihan hatinya. Seandainya pemerintah dan Lapindo melihat masalah ini dari hati mungkin penyelesaian tidak serumit saat ini. Kebanyakan penyelesaian masalah bencana dilihat dari data dan analisa yang dibicarakan oleh orang yang tidak bertanya pada para kurban. Mereka tidak berusaha merasakan menjadi kurban. Inilah yang dibutuhkan saat ini yaitu empati. Orang bersedia masuk dalam penderitaan orang lain. Melihat dari sisi kurban bukan hanya dari sisi ganti rugi belaka. Melihat dari sisi kehidupan bukan hanya dari angka dan analisa. Seandainya pemerintah dan Lapindo mau semalam tidur di pasar Porong atau rumahnya turut tenggelam oleh lumpur mungkin mereka akan mempunyai pemikiran lain dan bertindak dengan cepat. Namun apakah untuk menumbuhkan belas kasih dan rasa solidaritas harus mengalami menjadi kurban? Bila hal ini yang dituntut maka akan sulit sekali. Belas kasih dan solidaritas hanya tumbuh dalam hati yang peka akan penderitaan sesama. Hati yang berusaha memposisikan diri ditempat kurban. Bukan mengandalkan akal budi dan aneka analisa belaka. Sayang semua hanya seandainya.

silakan baca selanjutnya "RUMAHKU PENUH LUMPUR" ...

MENGAPA AKU MENDERITA

0 komentar

Seorang datang padaku di siang yang terik. Wajahnya kusut. Matanya cekung mungkin kurang tidur. Tubuhnya kurus. Gurat penderitaan terpampang jelas di wajahnya. Sorot matanya yang tidak memancarkan kehidupan penuh dengan air mata. Orang ini sangat menderita, pikirku dalam hati. Dia kupersilahkan duduk. baru saja duduk dia sudah mulai membuka cerita hidupnya. Sebuah rentetan kepedihan yang panjang. Setelah sekian lama mendengarkan aku menjadi heran bagaimana Tuhan bisa menciptakan situasi hidup yang demikian pedih? Dia pun bertanya apakah Tuhan belum puas menghukumnya dengan aneka penderitaan? Siang semakin terik ketika orang itu pamit pulang. Dalam kesendirian aku berusaha merenungkan segala kisah pedih dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh tamu tadi.Orang itu berulang kali bertanya mengapa Tuhan menghukumnya? Pertanyaan ini sering kali muncul bila orang masuk dalam penderitaan. Banyak orang senantiasa mengkaitkan penderitaan dengan hukuman Tuhan. Pemahaman ini membuat banyak orang kebingungan bila masuk dalam penderitaan. Apakah dirinya pantas mendapat hukuman Tuhan sedemikian rupa? Jika penderitaan tidak dikaitkan dengan dosa maka akan semakin membingungkan. Orang dapat bertanya apakah Tuhan memang suka menghukum orang tanpa alasan? Bila toh orang ini mempunyai dosa, yang kurasa tidak berat, mengapa hukuman itu sedemikian berat? Sebaliknya mengapa orang yang sudah jelas sangat merugikan masyarakat dapat hidup tenang dengan harta yang melimpah? Bila demikian dimana keadilan Tuhan?Dalam kitab Ayub dituliskan bahwa penyebab penderitaan adalah iblis atas persetujuan Tuhan (Ay 1:7-19; 2:1-7). Seolah iblis dan Tuhan sedang bertaruh mengenai iman Ayub. Tuhan yakin akan kesalehan Ayub sedang iblis melihat bahwa Ayub saleh sebab dia hidupnya penuh dengan kebahagiaan yang dianggap sebagai berkat dari Tuhan. Akhirnya Tuhan mengijinkan iblis untuk membuat Ayub menderita. Meski dirundung penderitaan yang bertubi-tubi Ayub tetap setia. Dia tidak terpengaruh hasutan istrinya untuk menghujat Tuhan (Ay 2:9-10). Ayub bergulat untuk memahami Tuhan yang memberinya penderitaan sebab dia yakin bahwa dirinya bukan orang berdosa. Bila merujuk pembukaan kitab Ayub apakah memang penderitaan adalah perbuatan iblis atas persetujuan Tuhan? Pada akhir kitab Ayub dijelaskan bahwa penderitaan adalah misteri Tuhan yang tidak mudah dipecahkan oleh manusia.Dalam Injil diceritakan suatu hari Yesus diberitahu bahwa Lazarus sedang sakit parah. Namun Yesus tidak cepat datang ke rumah Lazarus. Dia mengatakan "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan." (Yoh 11:4). Dengan demikian Yesus melihat penderitaan dari segi positifnya yaitu sebagai sarana untuk menyatakan kemuliaan Allah. Yesus pun melihat bahwa orang yang menderita belum tentu dia orang yang berdosa (Luk 13:2-4). Yesus mengingatkan bahwa kita pun dapat mengalami penderitaan yang saat ini sedang menimpa saudara kita. Maka bila kita tidak menderita jangan merasa lebih saleh daripada orang yang menderita. Dengan demikian penderitaan tidak terkait dengan kesalehan.Semua orang ingin hidupnya bahagia. Namun penderitaan dapat datang begitu saja tanpa pernah direncanakan. Seorang teman sedang bahagia sebab dia baru saja menerima gaji pertamanya. Dia sudah berjanji akan membelikan hadiah kecil buat orang tuanya sebagai ucapan syukur atas gaji pertama. Ketika dia berjalan menuju sebuah toko tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Oleh karena pengemudi tidak mampu mengotrol sepada motornya maka menabrak teman yang sedang berbahagia. Dia meninggal setelah beberapa saat dirawat di rumah sakit. Penderitaan itu datang begitu cepat tanpa diduga.Yesus bersabda, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29). Yesus memberikan tawaran kepada orang yang sedang letih dan berbeban berat agar datang padaNya. Namun Dia tidak melepaskan beban itu, melainkan mengajak kita untuk belajar dariNya bagaimana menyikapi beban itu. Yesus mengajar agar kita rendah hati dan lemah lembut. Penderitaan akan semakin menyakitkan bila kita mengadakan pemberontakan melawan penderitaan itu. Pemberontakan itu dapat dengan cara mempertanyakan mengapa penderitaan itu datang padaku? Bukankah aku ini sudah berusaha mentaati perintah Tuhan? Masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dalam hati. Bila kita rendah hati maka kita menerima saja penderitaan itu. Di Taman Getsemani Yesus pun berulat akan penderitaan yang akan dijalaniNya. Dia melihat bahwa penderitaan itu adalah kehendak Allah, maka Dia bertanya "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39). Penyerahan total kepada kehendak Allah inilah yang membuat Yesus berani menghadapi semua penderitaan.Sering kita ingin hidup seturut keinginan kita. Keinginan kita adalah kebahagiaan. Penderitaan bukan termasuk dalam daftar keinginan. Disinilah tantangan bagi diri kita. Sejauh mana kita mampu rendah hati menerima setiap penderitaan yang ada. Melihat penderitaan sebagai bagian dari kehendak Allah yang tidak mungkin kita tolak. Allah bukanlah Allah yang kejam dan sewenang-wenang. Dia senantiasa mempunyai maksud atas segala kehendakNya. Yesus menerima penderitaan akhirnya mengalami kebangkitan yang menjadi titik keselamatan manusia. Banyak orang Kristen dibunuh namun pembunuhan dan penindasan itu membuat Gereja berkembang sampai saat ini. Semua rencana Allah tersembunyi bagi kita. Apa yang pahit saat ini mungkin menghasilkan yang manis dikemudian hari.Penderitaan “diadakan” oleh Allah agar kasih Allah semakin nyata. Ketika Aceh terkena tsunami maka ada ribuan orang yang memberikan dananya bagi masyarakat Aceh. Ada banyak orang datang ke Aceh untuk membantu masyarakat disana. Sebelum terjadi tsunami bukan berarti Aceh mengalami kehidupan yang menyenangkan. Banyak sekali pertikaian dan pembunuhan yang terjadi disana akibat konflik yang ditimbulkan perbedaan politik. Banyak masyarakat Aceh yang menderita akibat konflik itu. Tetapi jarang sekali orang datang untuk membantu mereka atau menyumbangkan dana bagi mereka. Dengan demikian adanya bencana membuat orang mulai berbelas kasih pada sesamanya. Bila kita melihat ada orang yang menderita itulah saatnya kita menunjukkan belas kasih Allah kepada masyarakat. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat 5:16).Dengan demikian penderitaan bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi manusia. Bila kita mengalami penderitaan kita hendaknya semakin berserah pada Tuhan dan melihatnya sebagai kehendak Tuhan. "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:5-6) Kita menanggapinya dengan lemah lembut dan rendah hati. Bila ada orang lain yang menderita ini adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih Allah sehingga semakin banyak orang memuliakan nama Allah.

silakan baca selanjutnya "MENGAPA AKU MENDERITA" ...
 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks