Senin, 16 Juni 2008

ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI

1 komentar

Adikku telpon. Nadanya datar tapi isi kalimatnya menunjukkan kekesalan hati. Dia cerita baru saja menerima berkat dari Tuhan. Dia menawarkan apakah aku mau menerima berkat itu. Di perumahan tempatnya tinggal ada seorang pemuda yang tidak jelas asal usulnya. Badannya kurus kering. Tinggal kulit membalut tulang, sehingga semua persendian tampak sebagai benjolan-benjolan besar. Mirip foto orang kelaparan yang banyak tersebar di berbagai media. Pemuda ini sakit parah. Dia muntah darah dan sudah tidak mampu bangun lagi. Tampaknya umurnya tidak akan lama lagi. Orang yang menemukan tahu bahwa pemuda ini adalah seorang Katolik, maka dia membawanya ke rumah adikku. Maka adikku berinisiatif untuk melaporkan ke tokoh iman di paroki, sebab yakin bahwa pemuda ini membutuhkan pengobatan segera.

Adikku menceritakan masalahnya pada tokoh tersebut. Pertanyaan yang muncul pertama kali dari dia adalah apakah pemuda ini Katolik atau bukan? Mendengar pertanyaan itu adikku menjadi jengkel sekali. Bukankah pemuda ini sudah akan meninggal dunia, tapi mengapa masih dipertanyakan soal agamanya? Dalam kekecewaan adikku menyarankan agar tokoh itu sebaiknya menyobek Injil yang bercerita tentang orang Samaria yang baik hati. Bila perikop itu tidak ada maka pertanyaannya menjadi relevan. Mendengar omelan adikku akhirnya sang tokoh menyarankan agar pemuda itu dibawa ke rumah sakit dan Gereja akan menanggung sebagian biayanya. Adikku membawa pemuda itu ke sebuah rumah sakit swasta. Ternyata pemuda ini terkena pneumonia. Lebih parah lagi dia terjangkit HIV positif. Rumah sakit swasta mengirimnya ke rumah sakit umum. Adikku melaporkan kepada sang tokoh bahwa pemuda itu terkena AIDS. Mendengar itu tokoh itu memberikan banyak aturan dan penjelasan yang intinya bahwa gereja kekurangan dana. Artinya dia tidak mau terlibat dalam pengobatan pemuda ini. Adikku lalu mengumpulkan teman-temannya untuk urunan. Sedikit uang yang ada dijadikan modal untuk membayar biaya perawatan rumah sakit.

Oleh karena biaya rumah sakit cukup banyak sedang bantuan tidak ada, maka adikku bertanya apakah aku mau membantunya? Siapa lagi yang akan membantunya kalau bukan aku? Katanya berusaha memelas agar aku mau membantunya. Mendengar semuanya aku menjadi tersenyum. Aku katakan inilah hidup yang sering kali tidak berjalan sesuai dengan ajaran Injil. Injil memang enak untuk dikotbahkan tapi berat untuk dilaksanakan. Kebetulan bacaan Injil minggu itu diambil dari perikop tentang orang Samaria yang baik hati. Aku bayangkan bagaimana tokoh itu akan merenungkan Injil? Beranikah dia mengajarkan cinta kasih dan kepedulian pada sesama yang menderita seperti orang Samaria yang rela menolong tanpa mempedulikan siapa orang yang ditolongnya? Mungkin dia mempersiapkan sebuah renungan bagus yang akan mendapatkan decak kagum banyak orang yang mendengar, namun apakah dia tidak malu dengan diri sendiri? Aku tersenyum geli membayangkan semua itu.

Pemuda itu adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ayahnya tidak jelas siapa. Dia hidup dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain. Akhirnya menjadi anak jalanan yang hidup dari mengamen di perempatan jalan. Kemana dia harus minta tolong pada saat genting hidupnya? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap dirinya? Aku mengatakan pada adikku mengapa dia ribut padahal baru merawat satu sedangkan aku sudah sekian tahun dengan sejumlah anak jalanan. Namun adikku berkilah bahwa anak jalanan yang ada bersamaku tidak satu pun yang AIDS. Aku bersyukur selama mengadakan pertemanan dengan anak jalanan tidak pernah menemui mereka yang terinfeksi HIV meski kehidupan mereka sangat memungkinan terjangkit HIV. Akhirnya aku menyarankan pada adikku untuk mencari orang Samaria lain.

Saat ini memang sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Dalam kisah tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37), Yesus menceritakan bahwa pada saat itu ada imam dan orang Lewi yang melihat orang yang dirampok namun mereka melaluinya lewat seberang jalan. Imam dan orang Lewi adalah petugas di Bait Allah. Mungkin mereka menduga bahwa orang yang tergeletak di tepi jalan itu sudah mati. Bila mereka menyentuh orang mati, maka akan najis selama 7 hari (Bil 19:11-13). Mereka tidak mau mengambil resiko yang menyebabkannya najis sehingga tidak dapat masuk dalam bait Allah. Orang Samaria tidak terikat oleh aturan najis dan haram orang Israel, maka dia berani menyentuh dan merawat orang yang sudah sekarat itu.

Banyak orang enggan menolong orang lain sebab takut dengan resiko yang terkait dengan tindakannya. Bila orang menolong maka dia akan kehilangan entah harta, tenaga, waktu dan sebagainya. Banyak orang enggan kehilangan apa yang dimilikinya maka mereka tidak peduli pada orang yang menderita. Ada pula orang menjadi enggan menolong sesama sebab perbuatannya dipandang tidak baik oleh orang lain. Orang membantu sesamanya dikatakan ingin menjadikan orang lain beriman sama, dikatakan sok suci dan sebagainya. Belum lagi bila yang ditolong tidak berterima kasih bahkan sebaliknya menjadi pengkhianat. Orang ingin hidup aman. Tidak mau ambil resiko.

Orang Samaria adalah orang yang berani mengambil resiko. Dia sedang dalam perjalanan ke luar kota. Mungkin dia sedang dalam perjalanan bisnis. Namun dia berani meninggalkan segala kepentingan dirinya demi orang lain. Segala perhatiannya hanya terarah pada keselamatan orang yang sedang menderita. Maka dia berani merawat, menaikkan ke keledainya, membawanya ke rumah penginapan, memberi ongkos pada pemilik rumah penginapan dan berjanji akan melunasi bila uang yang dititipkanya ternyata kurang ketika dia kembali. Orang Samaria berani mengurbankan waktunya, uangnya, bahkan mungkin keselamatannya sebab ada kemungkinan para perampok itu akan datang lagi dan merampoknya.

Pada jaman ini sangat dibutuhkan orang yang berani mengurbankan segalanya demi orang lain. Pengurbanan yang terbesar adalah pemberian dirinya. Orang Samaria itu merawat orang yang menderita. Dia terlibat dalam penderitaan orang. Dia berempati. Banyak orang hanya memiliki simpati. Seorang presiden meneteskan air mata ketika mendengar kisah sedih para kurban lumpur. Dia berjanji akan datang ke tempat kurban. Ternyata ketika datang dia hanya melihat dari atas helikopter yang berkeliling di daerah kurban dan menyatakan aneka janji. Padahal dia tahu masalah ada dalam keputusan yang dibuatnya dan memiliki kekuatan hukum. Presiden itu hanya bersimpati tapi tidak memiliki empati. Orang yang berempati pada sesamanya yang menderita bukan hanya melihat dari jauh atau berkotbah mengenai kasih. Namun dia harus terlibat. Merawat orang yang menderita, menyentuh dan disentuh serta mengusahakan keselamatannya.

Yesus datang ke dunia untuk mengajarkan empati Allah akan penderitaan manusia. Dia tidak menangis dari surga sambil mendengarkan atau melihat penderitaan manusia. Dia datang dan terlibat dalam penderitaan manusia bahkan Dia memberikan diriNya untuk keselamatan manusia. Rasa inilah yang saat ini sudah menipis. Orang sudah merasa puas bila mampu berkotbah tentang kasih, memberikan harapan pada orang yang menderita dan menampakkan wajah sedih bila melihat orang menderita. Maka saat ini sangat dibutuhkan orang Samaria yang baik hati. Orang yang berani menanggung resiko demi keselamatan orang lain. Orang yang menomor duakan kepentinganya sendiri demi nyawa seseorang. Orang yang berani dengan tangannya sendiri menyentuh dan merawat orang yang sangat menderita.

Pemuda yang terinfeksi HIV saat ini sudah keluar dari RSU, maka adikku bertanya dia harus tinggal dimana? Tidak ada satu tempatpun yang bersedia menampungnya. Aku katakan sebaiknya dikontrakkan rumah saja. Sekali lagi adikku menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kami saling tersenyum. Aku katakan bukankah mendiang ibu kita sudah mengajarkan untuk berani memberi meski hanya memiliki sedikit bahkan sampai kita sendiri menjadi kekurangan? Aku sarankan agar dia berserah pada Tuhan. Pemuda itu adalah utusan Tuhan bahkan mungkin Tuhan sendiri yang datang padanya untuk meminta apa yang sudah diberikanNya selama ini. Kita sering bersyukur atas segala anugerah Tuhan. Dengan demikian semua yang kita miliki adalah milik Tuhan yang dititipankan pada kita. Sekarang Tuhan datang dan meminta mengapa kita tidak memberikannya? Ada saatnya Tuhan memberi namun ada saatnya Tuhan meminta kembali. Dia datang kepada kita tanpa kita duga dan dalam wujud orang yang miskin dan menderita. Inilah saat Tuhan datang, maka inilah anugerah besar yang kita terima. Adikku bertanya sekali lagi apakah aku mau menerima sebagian anugerah Tuhan? Aku hanya tersenyum.

silakan baca selanjutnya "ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI" ...

DOA

0 komentar

Aku baru saja mengcopy beberapa lagu dari keping MP3 ke dalam komputer. MP3 ini baru kubeli di trotoar pertokoan Siola. Kupikir lebih baik membeli MP3 yang berisi puluhan lagu dari pada membeli kaset yang harganya dua kali dari MP3 dan lagunya hanya beberapa saja. Ketika sedang asyik memilih lagu dari deretan lagu yang tertera di keping MP3 yang hendak kucopy tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat khas milik temanku. Keras dan ribut sekali. Dalam waktu sekejap dia sudah berdiri di sebelahku.

Sejenak dia melihat-lihat cover MP3. Dia ingin meminjam MP3 yang baru kubeli, sebab ada lagu yang disukainya juga. Memang selera lagu kami boleh dikatakan sama. Dia lalu memilih beberapa lagu dan memintaku untuk mencobanya di Winamp. Sambil mendengarkan musik kami mulai bercerita aneka pengalaman kami selama ini. Kami sudah lama tidak bertemu. Sejak dia mendapat pekerjaan yang mapan, maka dia jarang sekali main ke kamarku. Sebelumnya dia sering main ke kamarku entah hanya sekedar untuk mengobrol sambil mendengarkan tape, main komputer atau membaca buku. Obrolan kami pun meloncat dari satu topik ke topik lain.

Akhirnya dia mengeluh bahwa sekarang malas berdoa, sebab jenuh. Dia menceritakan bahwa dia sudah mencoba berdoa dari buku-buku doa dan doa rasorio, tapi dia merasa doa-doanya kosong. Hanya sekedar mengucapkan saja. Bahkan tidak jarang doa rosario tidak selesai, sebab ketiduran atau dia sengaja menghentikan di tengah jalan sebab pikirannya sudah tidak lagi dalam doa itu. Dia tanya bagaimana mengatasi rasa jenuh berdoa. Pertanyaan ini membuat kami masuk dalam diskusi mengenai doa. Dia bertanya bagaimana agar dapat berdoa secara khusuk? Aku sendiri tidak tahu bagaimana doa yang khusuk itu. Apakah berdoa sampai pingsan? Apakah bisa menyelesaikan rosario dengan kesadaran penuh telah berdoa Salam Maria, Kemuliaan dan Bapa Kami? Apakah sampai terasa melayang-layang? Ataukah bisa memahami setiap kata yang diucapkanya?

Kami terus berdiskusi untuk menemukan doa yang baik itu bagaimana. Dalam buku-buku tentang doa memang banyak teori doa. Kutunjukan pada temanku beberapa buku doa yang kumiliki. Tapi temanku masih ingin mengetahui pendapatku dari pada membaca, sebab dia sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk membaca buku rohani. Dia mengandaikan aku sudah membaca buku-buku yang ditawarkan padanya. Kukatakan bahwa doa itu bicara pada Tuhan. Dia langsung menjawab bahwa jawabanku itu klasik dan sudah dimengertinya. Dia ingin tahu bicara dengan Tuhan itu yang bagaimana? Persoalannya dia tidak bisa konsentrasi doa. Ketika dia berusaha untuk hening maka dalam sesaat saja pikirannya sudah melayang kemana-mana, sehingga tidak tahu lagi apa yang dikatakan. Dalam misa pun dia sering kali hanya duduk dan tanpa sadar misa sudah selesai. Dia merasa tidak mendapatkan apa-apa ketika misa dan berdoa pribadi.

Aku diam saja, sebab memang tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Kamarku menjadi hening. Temanku membaca daftar lagu yang ada di cover MP3, lalu dia menujuk sebuah lagu, apakah lagu ini sudah kucopy, sebab lagu itu bagus sekali. Aku katakan sudah. Lho kan sudah kita dengarkan bersama? Jawabku. Temanku heran, maka dia melihat lagi daftar lagu yang ada di winamp. Memang lagu itu sudah terlewati. Lho aku kok nggak mendengarnya ya? Tanyanya dengan penuh keheranan.

Inilah jawaban Tuhan pada kami. Aku katakan bahwa dia tidak mendengarkan lagu itu berkumandang sebab terlalu asyik berbantahan denganku soal doa. Mungkin inilah persoalan doa, yaitu tidak adanya topik menarik yang hendak dibicarakan dengan Tuhan. Akibatnya orang berdoa hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai orang beriman, atau membaca rumusan-rumusan doa yang dibuat oleh orang suci, tetapi tidak mengungkapkan persoalan diri sendiri. Apa yang diungkapkan dalam doa bukan kebahagiaan dan kepedihan diri melainkan puji-pujian dan segala kata-kata indah, dogmatis, biblis dan sebagainya yang tidak bersentuhan dengan hidup pribadinya. Akibatnya orang mengalami kejenuhan.

Jika doa adalah percakapan manusia dengan Tuhan, seharusnya sungguh-sungguh sebagai suatu percakapan. Ungkapan hatiku, secara pribadi pada Tuhan sebagai Bapa yang penuh belas kasih. Persoalannya memang tidak semua orang mempunyai hubungan yang baik dengan bapaknya, sehingga sulit membayangkan bagaimana caranya bisa bercakap-cakap yang menyenangkan dengan bapaknya. Kupikir mengapa tidak mengganti Tuhan sebagai Bapa menjadi Tuhan sebagai Ibu? Jika dengan ibu pun susah berkomunikasi, sehingga sulit membayangkan bagaimana sharing dengan ibu, mengapa tidak mengubah Tuhan menjadi Sahabat? Temanku mengatakan pendapatku ini konyol, sebab bagaimana mau berdoa “Ibu kami yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu...” Tapi aku masih bertahan buat apa aku mempertahankan sebutan Tuhan sebagai Bapa kalau aku mempunyai pengalaman traumatik pada bapaku? Kalau aku tidak mempunyai gambaran bapa yang baik dan enak diajak ngobrol? Bukankah percakapanku dengan Tuhan harus pribadi, sehingga aku bisa senang berbicara padaNya? Aku bisa sharing tentang kehidupanku padaNya?

Temanku masih belum bisa menerima ide gilaku ini. Pembicaraan kami terus berputar-putar sampai akhirnya dia menyatakan mau pulang. Sambil menikmati suara lagu, aku berusaha merenungkan kembali percakapan dengan temanku tentang bagaimana berdoa yang baik itu. Bagiku berdoa akan menyenangkan kalau aku sharing tentang kehidupanku pada Tuhan. Yesus sudah mendobrak pemahaman orang Yahudi tentang Tuhan, yang dianggap sangat besar, sehingga untuk menyebut namaNya saja orang merasa tidak pantas. Yesus menyebut Tuhan bukan lagi Yahweh tetapi Bapa, sehingga jarak antara manusia dan Tuhan tidak terlalu jauh lagi. Yesus ingin membuat manusia mempunyai hubungan pribadi dengan Bapanya. Diapun dengan para rasul sudah memposisikan diri sebagai sahabat. Para rasul bukan lagi hamba tapi sahabat. Hubunganku dengan Yesus bukan lagi antara hamba dengan tuan, melainkan antar sahabat. Aku bisa sharing sesukaku seperti aku sharing dengan sahabatku yaitu orang yang dapat memahami kegelisahan hatiku. Orang yang dapat ikut bersyukur kalau aku berhasil. Orang yang dapat memberiku semangat kala aku jatuh. Orang yang siap mendengarkan segala kepedihan hatiku. Orang yang tidak jijik sebab aku telah berbuat banyak dosa. Orang yang cepat menolongku ketika kuberitahu kesulitanku. Orang yang mampu diam dan tenang saat aku mengungkapkan seluruh kegalauan hati. Orang yang mampu menerima diriku apa adanya.

Tapi memang susah memandang Yesus sebagai sahabat, sebab aku masih sering memposisikan diri sebagai hamba, sehingga aku tidak berani berbicara sembarangan padaNya. Aku harus menjaga sopan satun. Berbicara padanya harus formil dan dengan kata-kata yang indah. Lebih hebat lagi kalau bisa mengutip sebagian ayat-ayat dari Kitab Suci dan berbicara panjang lebar untuk membuatnya bahagia. Tapi semua kadang kosong. Apakah aku harus banyak aturan jika berhadapan dengan sahabatku? Bukankah aku bisa terbuka untuk menceritakan apa saja padanya? Lebih parah lagi aku memposisikan diri seperti pengemis. Aku hanya merengek meminta belas kasihan pada Tuhan. Aku hanya datang padaNya kalau aku sedang kalut. Aku membuat Tuhan tidak lebih dari keranjang sampah yang menampung segala persoalan hidupku.

Jika aku bisa memposisikan Tuhan sebagai sahabat atau orang yang sangat dekat entah itu bapa atau ibu atau adik atau kakak, mungkin aku bisa memulai doa dengan cara yang baru. Doa bukan lagi suatu kewajiban melainkan kebutuhanku untuk sharing pada orang yang paling dekat denganku. Doa bukan lagi rangkaian kata-kata indah, biblis, dogmatis, melainkan suatu ungkapan perasaanku yang sedang aku alami saat ini. Suatu pengalaman hidup yang ingin aku bagikan pada sahabatku. Pada orang yang sangat dekat padaku. Jika aku bisa berdoa seperti ini, maka doa tidak lagi membosankan. Aku tidak lagi bingung mau mengatakan apa pada sahabatku itu. Aku tidak lagi dibingungkan tidak bisa konsentrasi dalam doa. Sama seperti akibat keasyikanku sharing dengan temanku, maka lagu-lagu yang berkumandang dari komputer berlalu begitu saja tanpa aku sadari.

Salah satu pertanyaan temanku tadi adalah dia bisa saja berdebat denganku sebab aku bisa menyatakan argumen-argumenku. Aku berkata-kata padanya. Tapi bagaimana dengan Tuhan? Dia bicara panjang lebar dalam doa tapi Tuhan diam saja, sehingga dia seolah-olah berbicara sendiri. Ini membosankan. Aku pikir mengapa dia mempersoalkan bahwa Tuhan tidak menjawab apa yang dikatakannya? Bukankah ada Kitab Suci yang diyakini sebagai sabda Tuhan. Bukankan Tuhan juga sudah mengatakan bahwa tubuhku adalah baitNya, tempat dimana Dia bersemayam. Dengan demikian Dia bisa saja bersabda melalui hati manusia. Bukankah Yesus juga mengatakan ada tanda-tanda jaman, dimana Tuhan berbicara pada manusia melalui peristiwa-peristiwa jaman? Mengapa orang masih bingun mencari sabda Tuhan? Mungkin kejenuhan doa juga disebabkan oleh tidak adanya waktu manusia untuk mendengarkan Tuhan, sehingga seolah-olah manusia berbicara sendiri. Atau orang malas untuk merenungkan sesuatu sebagai sabda Tuhan.

Kulihat sudah beberapa lagu terlalui, tapi aku tidak bisa menikmatinya bahkan tidak mendengarnya sebab aku sibuk menulis di komputer. Seandainya aku susah berbicara dengan Tuhan dengan kata-kata mengapa aku tidak menuliskan semua doaku? Aku tenggelam dalam tulisanku sehingga aku tidak sadar akan banyak hal. Jika ini adalah suatu doa bukankah aku sudah berdoa dengan baik? Sayang aku masih sering menjadi hamba dan pengemis dihadapan Tuhan. Aku masih malas mendengarkan sabda Tuhan, sehingga menganggap bahwa Tuhan tidak dapat kuajak untuk sharing.

silakan baca selanjutnya "DOA" ...

Senin, 09 Juni 2008

BESUKI

0 komentar

Akhir-akhir ini di media massa dikabarkan bahwa Lapindo akan membayar sisa pembayara sebanyak 80%. Banyak orang merasa bahwa persoalan lumpur panas yang disebabkan oleh pengeboran minyak Lapindo Inc sudah selesai. Banyak orang merasa persoalan Porong sudah ditangani oleh pemerintah dengan baik, sehingga banyak orang tidak peduli lagi dengan persoalan Porong. Bahkan ada banyak orang menolak untuk membantu pengungsi kurban lumpur panas dengan alasan sudah ditangani oleh pemerintah dan Lapindo.

Disinilah sebetulnya letak kesalahan pandangan banyak orang. Pada jaman ini media massa memang sangat kuat pengaruhnya pada masyarakat, maka orang yang menguasai media akan menguasai dunia. Dia dapat mempengaruhi dan mengubah pandangan orang mengenai aneka hal. Pemberitaan Lapindo yang sering kali tidak jujur oleh media sangat mempengaruhi masyarakat, sehingga berita mengenai pembayaran 80% seolah sudah menyelesaikan masalah. Kelemahan lain masyarakat masih banyak yang kurang kritis, sehingga mereka menelan begitu saja aneka pemberitaan. Diberitakan di koran bahwa sudah dimulai pembayaran, maka masyarakat merasa persoalan sudah selesai. Padahal jelas dikatakan “dimulai”, sebuah kata yang sangat kabur. Sejak dulu Lapindo selalu menggunakan kata “memulai atau dimulai” tanpa mengatakan “mengakhir atau diakhiri”. Ketika mengadakan pembayaran 20% juga menggunakan kata “dimulai” persoalannya kapan diakhiri? Sampai sekarang masih ada ratusan keluarga yang belum mendapat ganti 20%. Tapi orang tidak peduli lagi, sebab sudah dijebak dengan kata “dimulai”.

Salah satu kasus yang sangat memprihatinkan adalah pengungsi di daerah Besuki. Desa Besuki terbelah oleh jalan tol yang sekarang sudah tidak berfungsi. Oleh pemerintah melalui kepres 14/2007 daerah ini tidak termasuk daerah kurban, sebab yang dianggap daerah kurban lumpur hanyalah desa Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedung bendo. Akibatnya daerah yang tidak termasuk dalam peta terdampak tidak mendapat perhatian oleh pemerintah dan Lapindo. Keppres 14 ini sudah ditolak oleh banyak pihak dan warga Porong yang merasa dirugikan. Mereka menuntut sampai MA tapi segala usaha itu seperti bertemu dengan tembok yang keras, tuli dan tidak berhati nurani. Salah satu alasan yang dilontarkan oleh orang MA adalah bahwa pihak Lapindo sudah bertanggungjawab dengan memberikan uang ganti rugi. Padahal bila membaca teks keppres 14 dan realisasi yang terjadi banyak yang berbeda. Misalnya dalam keppres 14 art 10 dikatakan bahwa pembayaran 80% dilakukan sebulan sebelum uang kontrak atau masa dua tahun selesai. Padahal dalam perjanjian dengan notaris Lapindo ditulis bahwa pembayaran 80% dilakukan setelah selesainya uang kontrak. Jadi keppres 14 sudah dilanggar oleh Lapindo sendiri dan pemerintah tidak peduli. Seharusnya orang yang bertanggungjawab terhadap keppres itu mengubah isi keppres atau memberi sanksi kepada pihak yang melanggar. Belum lagi pasal-pasal lain yang tidak pernah ada realisasinya oleh pihak Lapindo.

Akibat keppres yang jelas sangat merugikan kurban lumpur ini juga berdampak pada desa Besuki. Oleh karena desa Besuki tidak termasuk desa terdampak, maka desa ini tidak diperhatikan dan mendapatkan ganti rugi. Pada bulan Agustus 2007 ada tanggul yang jebol sehingga air dan lumpur panas meluber ke desa Besuki sebelah barat dan menenggelamkan 3 RT dengan jumlah penduduk lebih dari 200 keluaga. Pemerintah dan Lapindo belum peduli sebab hanya dianggap banjir biasa. Tapi air panas itu sudah merusak perabot rumah tangga. Tidak ada ganti rugi sama sekali dari pemerintah dan Lapindo. Bulan September 2007 sekali lagi tanggul jebol sehingga air dan lumpur panas sekali lagi menenggelamkan desa Besuki sebelah barat. Penduduk mengungsi dan kembali lagi. Akhirnya pada 10 Februari 2008 tanggul jebol lagi, sehingga air dan lumpur menenggelamkan sawah dan rumah penduduk sampai ketinggian 1 m lebih. Penduduk mengungsi ke bekas jalan tol. Rumah mereka hancur oleh lumpur dan sawah mereka seluas 33,2 ha telah menjadi lautan lumpur.

Mereka menuntut agar pihak lapindo dan pemerintah memberikan ganti rugi, tapi terbentur oleh keppres 14 maka mereka tidak mendapatkan ganti rugi. Pihak Lapindo berjanji akan memberikan ganti rugi gagal panen untuk jangka waktu 2 tahun. Pihak kurban desa Besuki menuntut 1,2 milyard rupiah, tapi pihak Lapindo menawar menjadi sekitar Rp 772 juta. Pihak Lapindo menggunakan istilah santunan. Bila orang membaca istilah ini maka orang dapat menangkap itu adalah kemurahan hati pihak Lapindo, tapi sebetulnya disini letak perancuan bahasa. Seharusnya Lapindo bertanggungjawab atas gagal panen yang dialami oleh penduduk Besuki, sebab sawah mereka tertimbun lumpur yang dikeluarkan oleh semburan lumpur. Dengan demikian kata “santunan” tidak tepat dan dapat membangun persepsi yang salah. Seharusnya dipakai kata ganti rugi. Uang itu bukan belas kasih Lapindo tapi tanggungjawab Lapindo dan pemerintah. Hal yang lebih memprihatinkan adalah sampai saat ini uang itu belum dibayarkan. Dengan demikian Lapindo telah membuat sekian puluh petani kehilangan mata pencahariannya dan melalaikan tanggungjawabnya sebagai penyebab semua itu. Usaha untuk menuntut lewat pemerintah ternyata gagal, sebab mereka bertahan pada keppres 14 yang sangat merugikan masyarakat. Bagaimana mungkin sebuah keppres yang merugikan dapat dipertahankan? Inilah kebijakan pemerintah dan penguasa yang tidak adil dan hanya berpihak pada pengusaha.

Kini warga Besuki kehilangan rumah, perabot dan matapencaharian. Mereka terpaksa tidur di gubuk-gubuk darurat berukuran 3X3 m atau di tenda bantuan depsos di tepi bekas jalan tol. Sebagian jalan tol masih digunakan oleh pihak Lapindo unuk lalu lalang truk-truk besar mengangkut tanah dan peralatan membuat tanggul serta mobil lainnya. Debu berterbangan dimana-mana. Bila siang hari akan terasa sangat panas sekali. Seorang penduduk mengatakan bahwa selama ini tidak ada bantuan dari pihak lain. Pemerintah melalui depsos memang terkadang membantu tapi tidak bisa dijadwalkan kapan mereka akan memberikan bantuan.

Seorang penduduk mengeluh bahwa seharusnya pemerintah dan Lapindo bertanggungjawab atas semua ini. Mereka telah kehilangan apa yang mereka miliki selama ini bahkan masa depannya. Mereka sudah merasa mengalah sebab tidak menuntut segala barang dan perabot rumah tangga yang hancur oleh lumpur, tapi mereka menuntut pemulihan mata pencaharian mereka. Air dan lumpur Lapindo sangat ganas. Setiap perabot bahkan sepeda motor yang terendam akan langsung rusak. Dia menceritakan bahwa banjir itu datang sangat cepat dan deras sekali. Air bercampur lumpur panas menerjang rumah dan menghanyutkan aneka perabot yang masih tertinggal. Kini rumah mereka terendam lumpur yang sudah mengering. Mereka iklas bila Lapindo tidak membayar kerugian perabot, tapi mereka harus membayar ganti rugi sawah dan biaya kehidupan mereka. Betapa memprihatinkan negara ini, dimana rakyat miskin mengiklaskan seluruh miliknya sebuah perusahaan besar. Betapa tidak malunya penguasa dan pemilik Lapindo ketika merusakkan barang milik orang lain dan orang itu tidak menuntut, padahal pemilik Lapindo adalah orang terkaya. Inilah pengorbanan rakyat miskin untuk Lapindo. Bagaimana mungkin rakyat miskin harus berkorban untuk orang terkaya? Dimana hati nurani di negara ini? Apakah pemilik Lapindo tidak pernah terbersit rasa malu bahwa dia sudah tidak bertanggungjawab pada sekian ratus rakyat miskin padahal dia orang yang sangat kaya?

Melihat nasib rakyat di Besuki barat sangat memprihatinkan. Pemerintah, penguasa dan pemilik Lapindo tidak mempedulikan mereka. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom rakyat tampaknya membiarkan pihak Lapindo bertindak sewenang-wenang bahkan dengan keppres 14 pemerintah membela Lapindo yang jelas sangat merugikan masyarakat. Pemerintah telah mengkhianati rakyat dan hanya mencari amannya dengan membiarkan pihak Lapindo bertindak tidak adil. Ataukah memang penguasa adalah robot yang tidak mempunyai mata dan telinga apalagi hati, sehingga membela orang yang bersalah dan menulikan diri terhadap jeritan rakyat?.

silakan baca selanjutnya "BESUKI" ...
 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks