Rabu, 23 April 2008

AKU SEORANG PEKERJA SEKS

Perempuan muda itu wajahnya kuyu. Matanya sembab. Entah sudah berapa lama dia menangis. Tubuhnya yang agak gemuk kelihatan layu. Pakaiannya ala kadarnya. Kacau. Dia datang menemuiku di suatu malam yang disiram gerimis kecil. Aku baru pertama kali ini melihat wajahnya. Dia memperkenalkan diri. Ketika kutanya dimana rumahnya, dia mengatakan sebuah daerah yang tidak jauh dari gereja. Aku tanya kenapa dia tidak ikut mudika? Ternyata dia bukan orang Katolik. Dia mengetahui namaku dari salah seorang temannya. Lalu dia menyebutkan nama seorang perempuan, tapi aku sendiri lupa apakah pernah bertemu dengan pemilik nama itu atau belum. Temannya menyarankan agar dia datang padaku untuk meminta pertolongan. Melihat penampilannya yang kacau aku tahu bahwa gadis ini sangat menderita. Maka kutawari dia minuman. Sedikit senyum menghiasi bibirnya.

Setelah meminum air kemasan, gadis itu mulai bercerita. Aku seorang perempuan yang jatuh dalam dunia hitam katanya memulai ceritanya. Sejak lulus SMP di desa aku datang ke Surabaya diajak oleh seorang teman. Aku tidak tahu bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh temanku itu adalah pekerjaan seperti ini. Semula dia mengatakan bahwa aku akan bekerja di sebuah restoran seperti dia. Siapa yang tidak tergiur bila melihat perhiasan yang menempel di leher dan pergelangan tangannya. Baju-baju yang sangat bagus. Satu tas besar berisi alat kosmetik. Kiriman uang kepada keluarga yang cukup besar bagi ukuran orang desa. Semua itu diperoleh dari hasil kerjanya di restoran. Mendengar ceritanya dan melihat apa yang dikenakannya, maka orang tuaku tanpa berpikir panjang menyarankan agar aku ikut dengannya. Apa yang dapat diharapkan di desa yang miskin ini? Paling kau akan menikah dengan pemuda desa, katanya membujuk. Setelah semalam membangun mimpi dengan bapak dan ibu tentang masa depan keluarga. Tentang kemiskinan yang akan berakhir. Tentang hidup kota yang gemerlap. Akhirnya ketika surya mengintip bumi, aku berangkat bersama temanku.

Dolly adalah nama yang sangat asing bagi telingaku. Temanku bilang disanalah tempatku. Siang hari aku sudah sampai daerah yang dituju. Kekecewaan segera menerkam hatiku ketika melihat lingkungan Dolly. Semua itu jauh dari bayanganku sebelum berangkat. Aku hanya melihat jalan kecil yang ramai dilalui aneka kendaraan. Deretan rumah yang cukup padat berjajar di sepanjang jalan. Dari beberapa rumah yang terbuka daun pintunya terdengar suara musik yang memekakkan telinga. Beberapa pemuda berdiri di dekat pintu masuk. Ada yang memakai seragam ada pula yang tanpa seragam. Temanku mengajak ke salah satu rumah. Disana aku berkenalan dengan beberapa perempuan. Mereka sangat genit. Dandanan mencolok. Aku tertegun. Apakah aku tidak salah masuk? Temanku memperkenalkan aku pada seorang ibu separo baya yang menjadi pemilik rumah. Dia memuji-muji kecantikanku. Padahal wajahku biasa saja. Tidak berapa lama kemudian dia memberiku pakaian yang bagus. Aku sudah mulai curiga. Tempat apakah ini? Beberapa kali aku pernah dengar tentang tempat semacam ini. Di kotaku juga ada perempuan-perempuan semacam ini. Perempuan yang dipandang sangat hina. Tapi aku berusaha menghibur diri bahwa temanku hanya mampir ke rumah salah satu teman. Aku tidak akan bekerja disini. Temanku pasti tidak akan memasukan aku dalam lingkaran dosa. Malam jatuh ke bumi. Jalan kecil semakin ramai. Lampu kelap kelip menghiasi beberapa rumah. Suara musik yang keras terdengar dari mana-mana. Lelaki dengan aneka dandanan mulai muncul di rumah tempatku. Ibu pemilik rumah memanggilku. Kulihat dia berbisik-bisik sambil tersenyum pada seorang lelaki setengah baya. Itulah awal petaka. Malam itu aku mengalami malam yang sangat mengerikan dalam hidup. Suatu malam yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Segala impian yang sudah kubangun dari desa hancur. Aku merasa kehilangan diriku. Tidak ada lagi yang kupertahankan dalam hidup.

Dua tahun aku menjalani kehidupan yang sangat merendahkan diri. Aku seperti sebuah toilet umum yang menerima buangan dari para lelaki. Aku harus tersenyum tanpa tahu mengapa aku tersenyum. Aku dipaksa merayu dan melayani setiap lelaki di depanku. Hidupku hanya bergerak dari satu lelaki ke lekaki lain. Semula aku merasa berat menjalani hidup semacam ini. Pernah terpercik pikiran akan lari, namun beberapa teman berbisik-bisik bahwa lari dari tempat ini bukanlah langkah yang mudah. Mereka akan mencari dan memaksaku kembali. Akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam rumah yang penuh dosa ini. Selama dua tahun aku tidak tahu berapa banyak lelaki yang sudah aku layani. Aku menjadi semakin tahu bagaimana harus melakukan pekerjaan itu. Tiga kali aku pulang ke desa. Banyak barang kubawa. Tidak beda dengan temanku dulu. Orang tuaku bangga. Mereka bercerita ke semua tetangga bahwa aku sudah berhasil di kota. Padahal setiap pulang aku selalu seperti melihat diri dalam sebuah cermin. Aku malu untuk melihat diri tapi aku tidak berkuasa untuk melarikan diri dari hadapan cermin. Aku lebih banyak mengurung diri di rumah daripada pergi ke rumah tetangga, ke pasar atau tempat yang lain. Setiap aku berjalan ke luar rumah aku tidak berani mendongakkan kepala. Aku malu. Seolah semua orang menatapku penuh dengan kejijikan. Di desaku dan pasti juga di semua desa, pekerja seks adalah orang yang sangat hina dan akan digunjingkan oleh banyak orang. Tidak ada satu pun orang yang pernah memahami pekerjaan ini. Mereka hanya mencaci maki dan memandang penuh kejijikan. Padahal belum tentu mereka tidak pernah menggunakan jasaku.

Suatu hari ada seorang dari luar pulau datang ke rumah tempat kami bekerja. Dia sangat baik. Usianya sudah jauh diatasku. Dia langganan utama. Kami berhubungan sangat dekat. Setiap saat kami saling menelpon. Setelah berhubungan selama beberapa bulan akhirnya aku hamil. Orang dari luar pulau itu merasa kasihan padaku. Usiaku belum genap 17 tahun dan sudah harus mempunyai anak. Beberapa kali aku mencoba untuk menggugurkan tapi tidak berhasil. Akhirnya lelaki itu mau menikahiku, meski kami tidak tahu siapa ayah dari anak yang ada dalam kandunganku. Kami menikah di modin, sebab dia sudah punya istri sah dan beberapa anak. Dia memaksaku untuk meninggalkan rumah tempat bekerja dan mencari kost diluar. Akhirnya aku kost di sebuah kampung yang tidak terlalu jauh dari Dolly. Aku melahirkan anak perempuan. Kini berusia 4 bulan.

Sejak anakku lahir, lelaki itu tidak pernah datang lagi. Ditelpon pun tidak pernah diangkat. Bahkan dia sudah ganti nomor HP. Aku tidak dapat menghubunginya. Pernah aku mencari di tempat kerjaku dulu. Beberapa teman mengatakan bahwa lelaki itu masih sering datang. Beberapa kali aku berusaha menemuinya tapi tidak berhasil. Kini aku harus hidup bersama anakku. Tanpa penghasilan. Uang tabungan sudah habis untuk biaya persalinan. Aku tidak ingin kembali ke pekerjaan yang lama. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Sudah banyak lamaran yang aku ajukan ke toko atau rumah tangga sebagai pembantu, tapi semua tidak ada hasilnya. Ijasah yang kumiliki hanya ijasah SMP di desa. Apa arti ijasah itu dikota? Aku juga kecewa pada suamiku. Dia memang berjasa mengeluarkan aku dari Dolly, tapi mengapa sekarang dia tidak mau menyapaku? Aku hanya ingin tahu bagaimana kelanjutan hubungan kami. Apakah dia menginginkan putus denganku atau melanjutkannya. Aku tidak mempermasalahkan apakah aku akan menjadi istri ketiga atau keempat dan sebagainya. Aku hanya ingin keluar dari tempatku bekerja dan memulai hidup baru sehingga bila suatu saat pulang ke desa aku dapat menegakkan kepala tanpa rasa malu atas pandangan orang lain. Itu saja yang aku inginkan. Tapi mengapa dia meninggalkan begitu saja? Mengapa tidak mau menerima telponku? Apalagi menemuiku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Saat ini aku sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Pulang ke desa tidak menyelesaikan masalah. Bahkan lebih menambah masalah bagi orang tua. Apa kata penduduk desa bila melihatku pulang dengan menggendong seorang bayi? Bagaimana bila mereka tahu bahwa aku selama ini bekerja di Dolly, sebuah kompleks pelacuran yang katanya terbesar di Asia? Dimana orang tuaku harus meletakkan mukanya? Bagi mereka kehormatan dan harga diri sangat besar artinya. Menjadi pekerja seks adalah tindakan penghancuran harga diri bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh keluarga. Keluargaku pasti akan sulit menerimaku meski mereka sangat mudah menerima apa yang aku hasilkan.

Wajah perempuan muda itu semakin kuyu. Air mata mengalir membasahi pipinya. Matanya semakin sembab. Kemanakah aku harus berjalan? Tanyanya putus asa. Sesaat kami masuk dalam keheningan. Cerita seperti ini sudah pernah aku dengar dulu. Dulu aku berusaha membantu memberinya modal untuk alih profesi. Tapi orang yang kubantu akhirnya gagal. Maka aku bertanya pada perempuan di depanku apakah yang dapat kubantu? Perempuan itu hanya menggelengkan kepala. Dia mengucapkan terima kasih sebab aku mau mendengarkan dan meneguhkannya. Meski dia bukan orang Kristen tapi aku masih mau mendengarkan dan tidak menyalahkannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu harus kepada siapa dia bercerita untuk mendapat peneguhan dan pencerahan bagi hidupnya yang kelam sekelam malam yang gerimis.

Aku heran dengan pernyataan gadis itu, sebab selama dia bercerita aku hanya duduk memandanginya. Aku hanya diam dan berusaha memahaminya segala pergolakan hatinya. Aku hanya berusaha membayangkan seandainya aku ada dalam posisinya. Ternyata ini sudah merupakan peneguhan padanya. Beberapa kali dia bercerita pada orang, ternyata orang itu memberikan banyak nasehat yang intinya hanya menyalahkan dia mengapa mau bekerja di Dolly. Dia mengatakan kalau tahu akan bekerja sebagai pekerja seks pasti tawaran temannya itu akan ditolak oleh semua keluarganya. Tidak ada satupun orang tua yang bangga anaknya bekerja sebagai pekerja seks meski dia mampu memberi banyak barang dan uang. Lebih baik baginya makan sehari sekali tanpa lauk sekalipun, daripada menjadi pekerja seks. Tapi semua sudah terlanjur. Sekali orang masuk maka sulit sekali keluar, kecuali sudah tidak laku lagi maka akan dibuang begitu saja. Sekali lagi kutawari apakah dia mau modal untuk usaha? Perempuan itu menolak. Dia merasa bahwa aku sudah cukup memberi bantuan. Dia berharap bila suatu saat mengalami kebuntuan hidup maka dia akan datang lagi padaku. Aku terkejut. Biasanya orang bercerita sedih dan ujungnya meminta bantuan. Tapi perempuan ini menolak bantuan materi yang kutawarkan. Dia sudah merasa nyaman karena aku mau mendengarkan kisahnya dan memahaminya. Bagiku ini pengalaman baru dimana orang membutuhkan bantuan materi tapi menolak ketika akan diberi. Penolakan perempuan itu merupakan tamparan bagiku. Dia mampu mencelikkan mataku bahwa pertolongan tidak dapat disempitkan hanya pada materi.

Sering kali aku sudah merasa menolong seseorang bila mampu berbagi materi dengannya. Orang miskin yang datang cukup diberi uang. Selesai. Namun dari pengalaman ini aku menjadi sadar bahwa pertolongan lebih luas dari sekedar pemberian materi. Pertolongan adalah penghargaan martabat manusia. Yesus menyembuhkan orang kusta karena sebagai orang kusta mereka telah kehilangan martabatnya sebagai manusia. Yesus berteman dengan Zakheus sebab Zakheus dikucilkan oleh masyarakat. Dia kehilangan martabatnya sebagai manusia. Maka ketika Yesus menawarkan akan makan di rumahnya dia segera turun dari pohon dan mengadakan perjamuan bahkan dia berani membagikan kekayaannya. Sebagai pekerja seks perempuan ini juga telah kehilangan martabatnya. Maka ketika aku mau mendengarkan dan tidak mengadilinya, dia merasa bahwa aku sudah menghargai martabatnya. Ini jauh lebih besar dari pertolongan materi yang dapat aku berikan, maka dia menolaknya.

Setelah berbasa basi sejenak, maka perempuan muda itu mohon pamit. Hujan gerimis segera menelan tubuh perempuan itu. Dia berjalan cepat dan menghilang di jalan raya. Berapa banyak orang yang mengalami hidup seperti perempuan itu? Tanyaku dalam hati. Dia harus berjuang untuk mengatasi masalah hidupnya sendiri. Dia harus menyimpan semua kegalauan hatinya sendiri. Dia memang telah masuk dalam sebuah pekerjaan yang dianggap hina, namun itu bukan merupakan pilihannya. Dia terpaksa masuk dan menjalani semua itu. Namun orang sering mudah menuduh tanpa mau mendengarkan latar belakangnya. Orang mudah merasa jijik melihat para pekerja seks padahal belum tentu mereka adalah orang yang menjijikkan dan belum tentu juga orang yang merasa jijik hidupnya lebih baik dari para pekerja seks.

Di depan pintu pasturan aku menatap air hujan yang turun semakin deras. Terlintas wajah perempuan tadi. Kemana dia akan melangkah pada hari esok? Bagaimana dia harus menghidupi anaknya? Perempuan tadi hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai pekerja seks. Sering orang hanya mampu menuding dan menyalahkan mereka tanpa berusaha mengetahui mengapa mereka memilih pekerjaan itu. WS Rendra, salah seorang penyair terkenal, pernah menulis sajak berjudul “Nyanyian Angsa” yang menceritakan tentang seorang pekerja seks yang akhirnya meninggal dalam pelukan Yesus. Bila Yesus ada saat ini apakah yang akan diperbuatNya? Sejak dahulu kala pekerja seks dianggap orang yang hina, tapi dalam sejarah keselamatan ada pula seorang pekerja seks yang berjasa bagi bangsa Israel. Atas bantuan seorang perempuan sundal maka mata-mata Israel selamat dari kejaran orang Yerikho (Yos 2:1-24). Yesus pun berteman dengan perempuan yang tertangkap berbuat jinah dan banyak ahli Kitab Suci yang mengatakan bahwa perempuan itu adalah seorang pekerja seks. Bahkan Yesus menurut Yohanes menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena yang diduga adalah seorang pekerja seks yang bertobat. (Yoh 20:11-18). Dengan demikian belum tentu seorang pekerja seks adalah orang yang hina dan dapat diperlakukan sesuka hati. Mereka adalah manusia yang memilih pekerjaan yang dianggap tidak layak bagi masyarakat.

Pekerja seks juga manusia yang mempunyai harga diri. Mereka masih mempunyai nurani dan malu pada situasi hidupnya. Namun sering kali mereka tidak berdaya menghadapi kenyataan. Memang bagi orang yang ada diluar hidup mereka dapat mengatakan dengan mudah seharusnya mereka begini atau begitu. Tapi bagi mereka yang menjadi pelakunya perubahan hidup atau alih profesi bukanlah hal yang mudah. Status mereka sebagai pekerja seks saja sudah menjadi salib yang sangat berat baginya. Perempuan tadi pun merasakan betapa banyak orang hanya menyalahkan tanpa memberi alternatif jalan keluar dari hidupnya. Banyak orang hanya mampu menuding tanpa mau memahaminya. Inilah yang membuatnya merasa semakin terkucil dan tidak berani melangkah keluar dari kehidupannya. Bagaimana akan mampu alih profesi bila semua orang memandang rendah padanya? Seorang teman yang dulu pekerja seks dan mau meninggalkan pekerjaannya dengan memulai usaha baru, ternyata mengalami kegagalan. Usahanya tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapinya. Salah satunya adalah pandangan orang terhadap dirinya.

Aku masih berdiri di depan pintu menatap air hujan yang mulai menggenangi halaman yang gelap. Hidup perempuan itu bagaikan halaman yang gelap penuh genangan air mata.

0 komentar:

 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks