Selasa, 29 April 2008

PEMIMPIN DALAM GEREJA PERDANA

0 komentar

“Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu”, (Kis 6:3). Dalam perkembangannya Gereja para rasul atau biasanya disebut Gereja perdana membutuhkan awam untuk membantu para rasul dalam pelayanan umat. Hal ini disebabkan semakin banyaknya pekerjaan yang harus ditangani oleh para rasul. Mereka kini tidak hanya mengajar dan melayani orang yang datang padanya, melainkan juga berusaha mengembangkan jumlah komunitasnya. Para petugas yang akan membantu para rasul dipilih oleh umat dan akan disahkan oleh para rasul.

Dalam Gereja perdana mulai ada pemisahan pelayanan. Ada bagian yang dilakukan oleh umat dan ada yang dilakukan oleh pengganti para rasul. Setiap pemilihan melibatkan umat namun dengan syarat yang berbeda. Syarat pemilihan Matias sebagai pengganti Yudas berbeda dengan syarat 7 diakon sebagai pembantu pelayanan. Namun semua melibatkan umat. Dengan demikian Gereja perdana sudah meletakkan dasar demokrasi dalam pemilihan pengurus dengan syarat yang ditetapkan oleh para rasul dan umat diminta untuk mimilih secara benar dan bertanggungjawab.

Para rasul memberikan syarat bagi diakon yang hendak dipilih yaitu orang yang itu harus terkenal baik, penuh Roh dan hikmat. Dengan demikian umat diminta untuk bertanggungjawab terhadap pilihannya. Mereka tidak dapat memilih orang asal memilih atau berdasarkan suka atau tidak suka pada seseorang. Mereka harus memberikan penilaian tentang orang ini. Hal ini agar tidak menjadi batu sandungan dikemudian hari. Paulus lebih merinci tentang syarat itu. “Demikian juga diaken-diaken haruslah orang terhormat, jangan bercabang lidah, jangan penggemar anggur, jangan serakah, melainkan orang yang memelihara rahasia iman dalam hati nurani yang suci.
Mereka juga harus diuji dahulu, baru ditetapkan dalam pelayanan itu setelah ternyata mereka tak bercacat Demikian pula isteri-isteri hendaklah orang terhormat, jangan pemfitnah, hendaklah dapat menahan diri dan dapat dipercayai dalam segala hal. Diaken haruslah suami dari satu isteri dan mengurus anak-anaknya dan keluarganya dengan baik. (1Tim 3:8-12). Syarat ini hampir sama dengan syarat untuk penilik jemaat (bdk 1 Tim 3:2-7).
Dalam pemilihan selain mengandalkan suara umat juga membutuhkan peran Roh. Sebetulnya Rohlah yang memilih melalui umat. Gereja memang mirip sebuah organisasi namun ada perbedaan yang mendasar. Organisasi lebih mementingkan keuntungan bagi diri sendiri dan tujuannya mengenai hal duniawi sedangkan Gereja bertujuan hal ilahi dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Yesus sejak awal sudah menekankan bahwa seorang pemimpin adalah hamba yaitu orang yang mau dengan suka cita melayani tuannya yaitu sesamanya. Memang para murid Yesus pun saling berebut ingin menjadi yang terbesar bahkan Yohanes dan Yakobus tanpa malu-malu menyatakan hal itu baik melalui dirinya sendiri maupun melalui ibunya. "Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.” (Mrk 10:35). Para murid yang lain mendengar itu mereka menjadi marah, sebab mereka juga ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi.

Yesus mengingatkan bahwa kebesaran seseorang bukan karena kedudukan yang tinggi tapi keberanian dia untuk melayani. Kedudukan yang tinggi dalam Gereja sudah ditentukan oleh Allah bukan oleh keinginan manusia. Inilah yang membedakan antara kepemimpinan dalam Gereja dan dalam dunia. Jika dalam organisasi duniawi semakin tinggi kedudukan semakin besar kuasanya dan semakin besar kuasanya. Yesus menentang hal itu.

Gereja adalah kumpulan manusia yang mendunia, sehingga persoalan kepemimpinan juga masih tercampur aduk dengan pola pemikiran duniawi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam tubuh Gereja banyak orang yang berambisi mengejar kedudukan baik secara terbuka seperti Yohanes bersaudara maupun secara tersembunyi, maka tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan. Memang bila dilihat bahwa menjadi pelayan Gereja seseorang tidak akan mendapatkan upah materi, namun salah satu ciri jaman ini adalah pencitraan diri yang semakin kuat dimana orang mengejar citra diri. Orang membeli baju di butik agar dilihat sebagai orang yang hebat. Demikian pula menjadi jabatan adalah sarana untuk menaikkan citra diri.

Maka ada baiknya kita belajar dari Gereja perdana dimana orang dipilih dengan kuasa Roh yang bekerja melalui umat dan tujuan menjadi pemimpin adalah melayani umat.

silakan baca selanjutnya "PEMIMPIN DALAM GEREJA PERDANA" ...

KITA ADALAH CERMINAN YESUS

0 komentar

“Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku." (Luk 10:16) Yesus menyatu dengan Bapa. Dia ada dalam Bapa dan Bapa ada dalam Dia. Dia pun menyatu dengan muridNya secara nyata. Persatuan ini utuh, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan oleh para muridNya menunjukkan apa yang dikatakan dan dilakukan olehNya sendiri. Yesus ada dalam diriku, sehingga bila orang melihatku maka dia akan melihat Yesus yang hidup dalam diriku.

Pernah aku tinggal di negara asing. Teman-teman di negara itu beberapa kali mendapat kiriman post-card dari Indonesia dengan gambar suku Asmat yang memakai koteka, sawah, laut, hutan dan sebagainya. Gambar dari post-card itu membangun gambaran teman-teman disana mengenai Indonesia. Mereka menduga Indonesia masih begitu terbelakang. Akibatnya sering kali mereka bertanya padaku apakah di Indonesia ada ini atau itu seperti yang ada di negaranya. Dalam situasi semacam ini aku harus mampu menunjukkan bahwa Indonesia tidak seburuk yang mereka bayangkan. Aku berusaha membangun gambaran tentang Indonesia dari diriku sendiri, sebab teman-teman disana mungkin tidak akan pernah melihat Indonesia secara langsung. Bila teman-teman ingin melihat Indonesia maka cukup dengan melihatku.

Demikian pula kita sebagai pengikut Kristus. Dengan baptis maka kita telah bersatu dengan Kristus. Kita bukan manusia biasa lagi, sebab di dalam diri kita ada Yesus bahkan ada Allah. “Barangsiapa mengaku, bahwa Yesus adalah Anak Allah, Allah tetap berada di dalam dia dan dia di dalam Allah.” (1Yoh 4:15). Kita adalah manusia berdosa dan mudah sekali menyimpang dan mengingkari Allah, tapi melalui baptisan Allah telah mengangkat kita menjadi anakNya dan Dia tinggal dalam diri kita. Ini sebuah anugerah yang maha hebat. Tidak ada satu pun agama yang mempunyai konsep seperti ini.

Namun konsep ini juga membawa konsekwensi bagi diri kita. Perkataan, sikap, dan pemikiran kita harus sesuai atau mendekati perkataan, sikap dan pemikiran Allah. hal ini tidak mudah, sebab kita adalah manusia lemah yang mempunyai aneka keterbatasan, sedangkan Allah adalah sempurna. Namun bukan berarti bila kita lemah, maka kita dapat memaafkan diri untuk tidak melakukannya atau kita terlalu permisif, menjadikan kelemahan kita untuk bersembunyi dari apa yang seharusnya kita lakukan.

Dunia membutuhkan kesaksian akan hadirnya Allah. Banyaknya penderitaan membuat orang apatis atau pesimis dengan Allah. Bahkan ada orang yang bertanya bila Allah ada mengapa ada banyak penderitaan. Banyak ornag tidak peduli pada sesamanya. Di satu sisi ada orang membelanjakan ratusan ribu untuk sebuah kosmetik sedangkan disisi lain ada jutaan bayi kekurangan gizi. Setiap saat kita juga disuguhi berita tentang kekerasan dalam aneka bentuk. Kekerasan bukan hanya di luar rumah tapi juga sudah melanda di dalam rumah. Dunia krisis kasih.

Dalam situasi seperti ini kita dituntut untuk menjadi saksi kehadiran Allah. kita tidak mungkin memaksa Yesus untuk datang kembali dan menyelesaikan semua masalah ini. Tidak cukup kita memohon pada Allah agar memperbaiki
Situasi yang carut marut ini. Allah telah memilih kita dan mengutus kita untuk menjadi saksiNya di dunia. “Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar.(Kis 22:14-15)

Agar mampu menampakkan Allah, maka kita hendaknya mendekatkan diri padaNya. Hanya dengan cinta yang besar kita akan sanggup mengikuti jejak Allah. Cinta terwujud dalam kesukaan membaca firman Allah untuk melihat apa yang dikerjakan oleh Yesus dan memahamiNya. Tapi sayang masih banyak orang enggan membaca Kitab Suci dengan berbagai alasan. Selain itu juga berdoa dan meditasi. Doa adalah saat kita berusaha berbicara dan mendengarkan Allah, namun sering kali dalam doa kita hanya berbicara sehingga lupa mendengar Allah yang ada dalam hati kita. Meditasi adalah saat kita berusaha hening untuk melihat seluruh hidup kita dalam terang Allah. Namun banyak orang merasa tidak punya waktu, sebab seluruh waktu sudah habis untuk beraktifitas. Bila kita tidak melakukan semua itu, maka akan sulit bagi kita untuk menjadi cermin Allah.

silakan baca selanjutnya "KITA ADALAH CERMINAN YESUS" ...

PERBUATAN BAIK DEMI MEMULIAKAN ALLAH

0 komentar

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5:16) Yesus selama hidupnya senantiasa berbuat baik kepada setiap orang yang membutuhkan. Maka Dia pun menghendaki agar para muridNya melakukan hal yang sama. Perbuatan baik harus dinyatakan agar dilihat oleh banyak orang dan mereka akan memuji Bapa yang di surga. Jadi tujuan perbuatan baik adalah agar manusia memuji Bapa yang disurga.

Sabda Yesus ini sangat berat. Orang cenderung ingin menonjolkan diri. Orang ingin dihargai dan diperhitungkan. Perbuatan baik juga menjadi sarana untuk menonjolkan diri atau minimal diperhitungkan. Akibatnya dia tidak mewartakan Allah melainkan dirinya sendiri. Hal ini tampak banyaknya orang putus asa atau menjadi jenuh untuk melakukan kebaikan sebab apa yang dia lakukan terasa tidak ada hasilnya. Orang yang dibantu tetap saja tidak berubah dan orang lain pun dianggap kurang menghargai apa yang sudah dikerjakan, sehingga dia merasa apa yang telah dilakukan hanyalah sia-sia.

Menyikapi akan hal ini Yesus bersabda, “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Mat 6:3). Orang tidak perlu menunjukkan apa yang sudah dilakukannya sebab Allah sudah melihat. Allah bukan melihat apa yang nampak tapi apa yang ada dalam hati manusia. Allah menilai apa yang tersirat dalam hati orang. Ketika Yesus melihat orang Farisi dan seorang pendosa berdoa, Dia bersabda bahwa Allah mendengarkan doa orang berdosa, sebab dia berdoa didasari oleh hati yang tulus. Tidak mencari pujian

Dalam dunia saat ini dimana prestasi sangat diagungkan sehingga manusia dihargai bukan karena dia adalah manusia tapi karena dia berprestasi maka ada bahaya besar dimana orang berbuat baik agar dihargai. Orang saling menonjolkan apa yang sudah dilakukan dan kehebatan-kehebatannya. Saat terjadi reformasi di negara kita, tiba-tiba muncul orang yang menyatakan diri sebagai tokoh reformasi, padahal sebelum ada gerakan mahasiswa dia tidak pernah menunjukkan dirinya sebagai oposisi pemerintah. Dia muncul begitu saja dan berusaha berbuat baik agar diperhitungkan oleh rakyat. Banyak contoh yang dapat kita lihat dimana orang berbuat baik demi kepentingan pribadi. Hal ini juga ada dalam tubuh Gereja.

Agar mampu berbuat baik demi memuji Tuhan, seseorang harus memiliki semangat rendah hati. Setiap pekerjaan yang dilakukan didasari oleh kerendahan hatinya dan kesadaran bahwa apa yang dilakukan sebetulnya adalah pekerjaan Allah. Kita hanya sebagai pelaksana belaka. “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku,” (Yoh 9:4). Yesus mengingatkan bahwa kita hanyalah hamba yang tidak berguna yang mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Bila perbuatan baik adalah apa yang seharusnya kita kerjakan, maka orang tidak akan merasa bangga telah mengerjakan hal itu. Seperti seorang ibu yang setiap hari memasak bagi keluarganya. Dia mengerjakan itu sebagai apa yang seharusnya dia kerjakan, maka dia tidak merasa berprestasi atau menonjolkan apa yang sudah dilakukanya. Perbuatan baik adalah bagian dari iman, maka tidak ada yang dapat dibanggakan bila kita melakukannya.

Tuhan menganugerahkan kepada kita kemampuan dan bakat. Setiap orang diberi secara berbeda-beda, sebab Tuhan mengingkan semua orang melalui apa yang dimilikinya itu meneruskan apa yang sudah diawali olehNya. Tuhan menciptakan dunia baik adanya dan manusia diminta untuk menjaganya. Perbuatan baik bertujuan menjaga agar ciptaan Tuhan dapat hidup bahagia. Maka kita melakukan apa yang sesuai dengan anugerah yang telah diterima dari Tuhan. “jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” (Rm 12:8).
Perbuatan baik juga hendaknya dilakukan secara iklas dan didorong oleh belas kasihan. Iklas adalah ketulusan hati dimana bila seseorang melakukan suatu tindakan tanpa memiliki motivasi demi dirinya sendiri melainkan demi kebahagiaan sesama. Dia tidak peduli apakah pekerjaan yang telah dilakukan akan dipuji atau dicela oleh sesama. Dia hanya ingin melakukan sebab merasa berbelas kasih oada sesama. Bila pekerjaan dilakukan dengan iklas, maka dia akan bergembira, tidak putus asa, kecewa dan lain-lain.

silakan baca selanjutnya "PERBUATAN BAIK DEMI MEMULIAKAN ALLAH" ...

Rabu, 23 April 2008

NILAI YANG MASIH TERSISA

0 komentar

Sepuluh anak muda duduk di sekelilingku. Mereka akan sharing tetang pengalaman mereka selama live in di rumah penduduk. Sejak kemarin ada 128 anak yang mengikuti acara jambore di Klepu. Sebuah desa kecil di sebelah barat kota Ponorogo. Desa Klepu mempunyai penduduk sekitar 2800 jiwa dan yang Katolik sekitar 1300 an dan selebihnya beragama Islam. Kehidupan disini seperti layaknya desa-desa di Jawa lainnya. Penduduk pada umumnya adalah petani. Mereka hidup dalam kesederhaan seorang petani. Kalau toh ada rumah yang tampak bagus, pada umumnya mereka adalah TKI. Mereka masih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa ini yang dulu pernah ada namun sekarang sudah semakin temaram yaitu rasa persaudaraan yang tinggi, ramah dan terbuka terhadap orang pendatang.

Seorang gadis umur belasan tahun bercerita dengan penuh semangat mengenai keluarga yang ditinggalinya. Dia menceritakan betapa penduduk sini sangat ramah. Di kota memang ada orang yang ramah, tapi keramahan di kota beda dengan yang dia rasakan di tempat ini. Mereka ramah tampa memakai topeng, sedangkan di kota biasanya orang pura-pura ramah. Disini ketika berjalan dia selalu disapa orang, sehingga dia pun turut menyapa setiap berpasasan dengan orang. Sedangkan di kota dia tidak pernah merasakan disapa dan menyapa orang seperti disini. Dikota hanya orang yang kenal saja yang mau saling menyapa, sedangkan disini semua orang yang berpapasan pasti akan disapa atau menyapa. Pengalaman ini tidak ditemukan di tempat asalnya.

Seorang lain lagi menceritakan bahwa di halaman rumah tempat dia menginap ada sebatang pohon jeruk. Saat itu berbuah banyak tapi yang besar dan sudah dapat dimakan hanya dua buah. Pemilik rumah dengan ramah menawarkan untuk mengambilnya. Anak ini menolak sebab buah hanya dua. Tapi pemilik rumah mengatakan silakan mengambil sebab dia masih dapat menanti buah yang masih kecil menjadi besar dan masak. Dia sangat kagum dengan sikap tuan rumah itu. Dia membandingkan bila di kota sulit sekali mendapati orang yang mau mengalah pada orang lain. Dia berani berbagi dengan orang lain, meski dia harus menunggu lama lagi untuk menikmati buah pohonnya.

Teman-teman masih terus bercerita dengan semangat mengenai keramahan penduduk desa ini. Kepolosan dan ketulusan mereka dalam menerima para tamu. Seorang anak mengatakan dia heran mengapa disambut seperti itu, padahal dia hanya anak muda biasa. Pengalaman hidup bersama penduduk desa membuat mereka membandingkan dengan kehidupan mereka selama ini di kota. Mengapa hal yang baik disini sudah tidak ada lagi di kota? Memang tidak semua yang terjadi di sini dapat dikatakan baik. Ada pula sisi negatifnya, tapi pada umumnya masih baik.

Aku bertanya pada mereka kira-kira apa yang membuat orang di daerah sini dapat begitu ramah dan saling memberi sedangkan di kota sudah tidak ramah dan tidak saling berbagi lagi? Banyak jawab yang mereka berikan. Mereka pada umumnya masih duduk di bangku SMA sehingga segala analisanya hanya apa yang mereka lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak memakai aneka teori sosiologi atau antropologi atau ilmu lain yang berbelit-belit.

Pada umumnya mereka merasa bahwa di kota orang sudah menjadikan uang dan kekayaan sebagai tujuan hidup. Bila orang menjadikan uang sebagai tujuan maka semua perhatian dipusatkan pada uang atau kekayaan. Akibatnya juga orang menjadi egois. Mereka tidak mau berbagi dengan tetangga. Seorang anak bercerita bahwa dia pernah sampai mencuri buah milik tetangga sebab dia minta tidak diberi. Mendengar semua itu kami tertawa. Akhirnya kelompok kami bubar dan mempersiapkan acara berikutnya.

Dalam kesendirian sambil menikmati sejuknya aliran angin dari pegunungan, aku berusaha merenungkan apa saja yang telah dipercakapkan anak-anak tadi. Aku merasa memang di bangsa ini ada nilai-nilai bagus yang sudah hilang atau langka ditemukan. Di kota aku melihat banyak orang tertindih oleh kegelisahan. Mereka gelisah untuk bertahan hidup. Bertahan untuk apa yang sudah diperolehnya. Kegelisahan ini menekannya sehingga orang cenderung mudah marah dan curiga. Lebih jauh mungkin mereka dikuasai oleh uang atau kekayaan seperti kata anak-anak tadi. Ketika orang masih miskin dia berusaha keras untuk mendapatkan uang, tapi setelah dipandang kaya pun orang masih terus berusaha memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Orang tidak akan pernah puas dengan apa yang dimilikinya, bahkan kalau memungkinkan dia akan merampas milik orang lain untuk dijadikan miliknya.

Menurut salah satu anak kekayaan sekarang sudah menjadi syarat untuk dihargai oleh sesama. Diakui oleh orang lain. Maka orang mengejar kekayaan juga agar diakui bukan hanya sekedar menumpuk kekayaan. Hal ini beda dengan disini dimana orang dihargai karena dia adalah sesama. Dia adalah manusia meski orang asing. Aku tersenyum sendiri bila teringat analisa anak itu. Aku pikir ada benarnya juga. Beberapa waktu lalu orang berlomba mengajukan dana yang cukup besar untuk liturgi tahun baru Imlek. Di paroki kami juga orang mengajukan dana yang cukup besar untuk misa Imlek. Melihat angka itu aku hanya mampu menghela nafas, bagaimana mungkin dalam situasi seperti ini, dimana beberapa daerah terkena bencana yang parah orang masih ribut untuk membagi jeruk setelah misa dan meminjam aneka baju untuk misa? Mengapa tidak berpikir soal saudara-saudaranya yang kelaparan akibat bencana? Inilah sisi kecil kehidupan kota dimana orang lebih mementingkan kemegahan diri daripada berpikir mengenai sesamanya. Orang lebih mementingkan misa dengan beberapa romo yang hebat dan aneka hiasan yang indah serta asesoris mahal lain daripada prihatin dengan sesamanya yang menderita akibat bencana.

Penilaian manusia saat ini ditentukan oleh kekayaan. Barang siapa memiliki kekayaan maka dia akan diperhitungkan. Semakin banyak kekayaan yang dimilikinya maka dia akan semakin dihargai dan diperhitungkan. Pernah aku pergi ke sebuah toko elektronik dan akan membeli sebuah barang elektronik. Setelah beberapa saat aku berdiri dan melihat-lihat barang tidak ada satu pun pegawai yang datang dan berusaha menjelaskan produknya. Tapi ada orang yang begitu datang langsung dilayani oleh pegawai toko itu. Hal ini disebabkan aku hanya mengenakan kaos dan bersandal sedangkan orang yang dilayani datang mengenakan baju yang bagus dan bersepatu. Ketika aku beranikan diri untuk bertanya-tanya tentang sebuah produk maka pegawai itu menjawab ala kadarnya. Berbeda ketika dia melayani orang yang berpenampilan bagus. Mungkin pegawai itu mengira aku hanya bertanya-tanya dan tidak akan membeli sebab tidak mempunyai uang. Berbeda dengan pelanggan yang lain. Ketika aku memilih barang dan menentukan akan membeli barulah mereka melayani dengan baik. Aku dilayani dengan baik bukan karena aku mau membeli atau tidak melainkan karena penampilanku. Andaikan aku datang dengan mengendarai mobil merk mahal dan berpakaian bagus pasti akan dilayani seperti orang lain. Ketika aku ceritakan hal ini pada temanku, dia bilang memang hal itu sering terjadi bahwa orang dinilai dari apa yang menempel di tubuhnya. Inilah kekuatan saat ini yaitu kepemilikan. Apa yang menempel di tubuh bukan jati diri dan martabat manusia. Bila pegawai toko yang seharusnya melayani setiap orang yang datang saja sudah membeda-bedakan pembeli bagaimana dengan orang yang mempunyai kekuasaan dan jabatan?

Oleh karena orang ingin dihargai dan diperhitungkan maka dia ingin memiliki banyak materi. Akibatnya orang berlomba untuk mengumpulkan materi sebanyak mungkin agar dia semakin dihargai dan diperhitungkan jati diri atau martabatnya. Orang berlomba untuk mengumpulkan materi sehingga terkadang menggunakan segala cara untuk mempertahankannya. Orang pun menjadi cemas untuk mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya serta keinginan untuk mendapatkan materi sebanyak mungkin. Padahal apa yang diperebutkan sangat terbatas, sehingga orang menjadi berebut untuk memperolehnya. Hal ini menekan hati banyak orang, sehingga banyak orang menjadi mudah marah. Tidak mampu lagi ramah terhadap sesamanya bahkan orang mudah curiga pada sesamanya, sebab kuatir orang itu akan menjadi saingannya dalam memperoleh materi atau mengambil apa yang dimilikinya.

Yesus bukan orang yang membenci atau menolak uang atau kekayaan, sebab Dia mempunyai uang dan diikuti oleh perempuan-perempuan kaya. Bila Dia tidak mempunyai uang sama sekali mengapa Yudas diangkat menjadi bendahara? Tapi Yesus tidak ingin dikuasai oleh materi atau jabatan, sebab Dia tahu bahwa keinginan memperoleh harta dapat merusak manusia. Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Luk 12:15). Dia sejak awal sudah menolak kekayaan, jabatan dan kehormatan yang ditawarkan oleh iblis. Dia pun menolak ketika hendak dijadikan raja. Bagi Yesus tujuan hidupNya adalah untuk sesama. Bukan untuk menumpuk prestasi atau kekayaan. Bila orang mengejar kekayaan dan aneka prestasi maka dia akan menjadi egois dan sulit untuk melayani. Yesus datang ke dunia untuk melayani, maka Dia melepaskan semua itu. Dia tidak ingin terjebak untuk menikmati segala popularitas, kekayaan, status sosial, jabatan dan sebagainya. Bagi Yesus hal yang sangat penting adalah melayani manusia terutama yang miskin dan menderita. Kekayaan dan sebagainya dapat menghalangiNya untuk menjadi pelayan manusia.

Yesus menjadi terkenal bukan karena Dia kaya atau memiliki status terhormat, gelar yang hebat dan sebagainya. Dia menjadi terkenal sebab Dia melayani sesama. Dia mampu mewujudkan kasih secara nyata dan dapat dirasakan oleh banyak orang. Maka Dia pun berpesan kepada para muridNya untuk melakukan kasih secara nyata bukan mengumpulkan kekayaan atau aneka gelar. Inilah hukum yang utama dan terutama. Hukum yang menjadi inti dan dasar semua hukum. Kasih yang diajarkan oleh Yesus adalah kasih yang tulus dan sampai mengurbankan diri. Bila orang melakukan kasih yang tulus bagi sesama maka dia akan dihormati oleh Allah meski mungkin tidak dihormati oleh sesama. Kasih yang tulus mampu membangun persaudaraan diantara manusia. Orang yang hidup penuh kasih dia akan bahagia bila sesamanya berbahagia. Maka dia akan rela berbagi dengan sesamanya. Dia tidak digelisahkan oleh sesama yang ingin memiliki banyak hal. Dia akan berlaku ramah dan sopan terhadap setiap orang. Dia sadar bahwa yang penting adalah bukan apa yang dimilikinya melainkan sesamanya.

Penduduk di Klepu yang jauh dari gebyar kota besar masih belum terjangkit keinginan untuk menumpuk materi, sehingga mereka dapat hidup dengan tentram. Mereka melihat sesama bukan pesaing yang akan merampas apa yang dimilikinya melainkan sebagai manusia yang bermartabat sehingga patut dihormati. Mereka masih senang berbagi, sebab tidak berusaha mempertahankan apa yang dimilikinya. Mereka dapat ramah kepada setiap orang sebab baginya persaudaraan jauh lebih berharga daripada segala kepemilikan yang dimilikinya. Semoga saja apa yang nilai-nilai yang indah di Klepu tidak tergerus oleh arus pemikiran yang muncul di kota besar.

silakan baca selanjutnya "NILAI YANG MASIH TERSISA" ...

MARIA POTRET BURUH YANG DIKALAHKAN

0 komentar

Aku duduk disekitar 43 buruh. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan. Saat itu kami sedang mengadakan dialog mengenai kehidupan. Satu demi satu buruh dengan bebas menyatakan kegelisahannya, penderitaannya, harapan‑harapannya akan masa mendatang, gambaran kehidupan buruh yang sesungguhnya di pabrik tempat mereka bekerja, dan lain sebagainya. Dialog berjalan mengalir dari satu tema ke tema yang lain. Aku hanya duduk mendengarkan mereka mengungkapkan isi hatinya.

Setelah beberapa buruh menyatakan pengalaman hidupnya, tiba‑tiba seorang buruh yang ada di hadapanku mengangkat jari. Maka aku persilahkan dia berbicara. Buruh perempuan ini berdiri dengan tanpa ragu. "Namaku Maria," katanya "Aku berasal dari sebuah desa di Sumatera Utara. Keluargaku miskin, maka aku hanya bisa sekolah sampai SMA. Setelah lulus aku memutuskan untuk merantau ke Batam. Alasanku, aku sudah besar dan tidak mau membebani orang tuaku dan kalau kerja, maka aku bisa membantu biaya sekolah adik‑adikku. Tapi pastur...." katanya berhenti sejenak, "setelah 7 tahun disini, aku ternyata tetap sebagai operator. Aku tidak punya tabungan. Aku juga belum punya jodoh, padahal umurku sudah 28 tahun." kontan semua buruh yang hadir tertawa ngakak. Mulailah perkataan simpang siur saling menggoda.

Dalam perjalanan pulang, perkataan Maria masih membekas dalam ingatanku. Tujuh tahun dia tetap sebagai operator, tabungan tidak punya dan jodoh juga belum dapat. Suatu penderitaan yang bertumpuk‑tumpuk. Soal tidak naik jabatan bagi Maria tidak menjadi persoalan yang mendasar, sebab dia sadar bahwa dia hanya lulusan SMA di desa. Tapi soal tabungan baginya merupakan persoalan yang cukup membebani. Setelah bekerja sekian lama, dia tetap tidak mampu menabung sedikitpun. Padahal tabungan adalah modal bagi masa depannya, sebab sistem kontrak membuatnya dapat diberhentikan dari pekerjaannya begitu masa kontrak selesai.

Maria bukan perempuan pemboros. Sebaliknya hidupnya sangat sederhana. Dia tinggal di sebuah kamar ukuran 2X3 m di ruli (rumah liar). Kalau melihat penampilannya, aku tidak yakin bahwa dia memiliki beberapa baju yang bagus. Dia juga tidak bermake up. Katanya dia sudah mencoba untuk makan sehari sekali saja, meski harus kerja seven to seven (12 jam perhari) dan kerap kali selama 7 hari penuh, sebab hari minggu atau hari raya biasanya di dipaksa oleh perusahaannya untuk OT (over time istilah untuk kerja lembur). Aku tanya kalau begitu kemana uang hasil kerjanya? Maria mengatakan bahwa sebagian besar uangnya dikirimkan ke keluarganya di desa. Dia menjadi salah satu tiang keluarga, sebab dia anak pertama dan masih mempunyai 5 adik yang harus dibiayai.

Bagi Maria mengirim uang ke orang tua adalah suatu perwujudan balas budi atau bakti. Bagi orang tuanya hal itu merupakan kewajiban seorang anak. Mereka tidak peduli bagaimana Maria harus mengumpulkan uang. Mereka tidak mengerti betapa beratnya hidup di Batam. Yang mereka tahu hanyalah bahwa Maria bekerja di suatu perusahaan dengan gaji yang sangat tinggi untuk ukuran penghasilan di desa, maka dia wajib mengirimkan sebagian upahnya kepada mereka.

Maria juga gelisah dengan umurnya. Dia sudah tua dan belum mempunyai pacar. Hal ini membuatnya malu untuk pulang ke kampung, sebab apa kata orang di desanya kalau melihat dia belum menikah. Pasti akan menjadi bahan gunjingan. Selain itu siapa yang sudi menikah dengan perempuan yang sudah berumur seperi dia. Persoalan umur dan jodoh sering kali menekannya. Orang tuanya sudah beberapa kali mendesak dia untuk segera mencari pacar dan menikah, tapi untuk mendapatkan pacar di sini tidak mudah, sebab jumlah pria dan perempuan sangat tidak seimbang.

Maria adalah salah satu potret kecil penderitaan kaum perempuan di Batam. Masih banyak lagi kaum perempuan di Batam yang hidupnya jauh lebih menderita dibandingkan Maria. Mereka bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan dengan sistem kontrak dan aku yakin selamanya mereka akan tetap dikontrak sebagai operator, suatu bidang pekerjaan yang melakukan hal yang sama sepanjang bekerja. Misalnya dia bagian memasang kancing di perusahaan konveksi, maka selamanya dia akan memasang kancing.

Banyaknya perusahaan yang menggunakan tenaga perempuan, maka di sini jumlah antara pria dan perempuan tidak seimbang. Bagi pria yang tinggal disini akan sangat mudah mencari pacar. Dalam pembicaraan itu juga diceritakan adanya pria yang mempunyai beberapa pacar dan memanfaatkan pacarnya. Setiap hari dia hanya beralih dari satu perempuan ke perempuan yang lainnya untuk minta uang. Dia hidup dari pacar‑pacarnya. Dan banyak perempuan tidak tahu kalau dia ditipu oleh pria semacam ini, sebab ada begitu banyak perempuan. Kalau toh dia tahu, maka dia akan diam dan menerima saja. Dia terus saja berpacaran dengan pria itu demi gengsi, sebab ada banyak perempuan yang merasa malu bila tidak mempunyai pacar, sehingga mereka merelakan dirinya menjadi sapi perasan seorang pria asal dia mau menjadi pacarnya.

Aku protes dalam hati, mengapa ada pria yang memanfaatkan kelemahan dan peluang seperti ini? Sebetulnya ada protes yang lebih jauh lagi yaitu mengapa kaum perempuan sering dianggap rendah, tidak laku nikah, bila sudah agak tua belum mempunyai pacar dan menikah? Mengapa hal yang sama bagi kaum pria tidak pernah dipersoalkan? Akibat ketakutan ini (tidak laku) maka beberapa teman mau saja diperlakukan sebagai istri atau pacar yang sekian. Bahkan dia rela menghidupi pacarnya. Ini juga terjadi di komunitasku. Hampir semua pekerja seks mempunyai kiwir (istilah untuk suami‑suamian). Mereka pada umumnya tidak bekerja dan hanya mengandalkan hasil dari istrinya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, seorang pekerja seks mukanya lebam dan luka‑luka sebab habis dipukuli oleh kiwirnya, sebab ketika kiwir itu minta uang, si pekerja seks tidak punya uang sama sekali. Katanya malam harinya tidak ada tamu. tapi si kiwir itu tidak peduli. Padahal uang itu hanya untuk main judi dan beli minuman keras.

Di Batam ada pula ruli yang dihuni oleh perempuan‑perempuan simpanan apek‑apek (istilah untuk orang tua‑tua dari Singapura). Apek‑apek itu datang setiap hari sabtu sampai minggu. Pada umumnya perempuan itu memiliki suami, tapi mereka membiarkan istrinya menjadi simpanan apek‑apek. Jika sabtu sampai minggu mereka pergi, sehingga apek‑apek itu bisa leluasa. Masih banyak ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Banyak orang yang kurang peduli akan semua itu. Banyak orang mengaku pedih melihat ketidakadilan itu, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Kisah buruh perempuan di Batam adalah secuil cerita mengerikan tentang penderitaan perempuan di hampir seluruh pelosok bumi. Maria adalah satu dari jutaan perempuan yang sering diperlakukan tidak adil. Banyak kaum perempuan yang dengan sengaja dibisukan dan ditindas. Mereka hanya dijadikan obyek kesenangan oleh orang yang merasa dirinya mempunyai kekuatan. Mereka dirampas hak-haknya dan tidak dihargai martabatnya. Bila sistem dunia memang tidak adil dan menindas perempuan, maka seharusnya lembaga agama yang berusaha berjuang untuk mengangkat martabat perempuan. Namun ada banyak orang mendasarkan diri dengan ajaran agamanya melakukan penindasan pada perempuan. Ada orang mendasarkan diri pada hukum agama memutuskan untuk menikahi perempuan sebanyak mungkin, sebab menurut agamanya hal ini sah saja. Bagaimana bila hal itu dibalik sehingga dia menjadi suami yang kesekian dari seorang perempuan? Tentu hal ini akan ditolaknya.

Dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa manusia adalah gambaran diri Allah. Memang ciptaan pertama adalah lelaki namun Allah menciptakan perempuan sebagai ciptaan yang sepadan dengan lelaki. TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2:28). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa Allah menciptakan perempuan bukan hanya sepadan dengan lelaki tapi juga penolongnya. Bila lelaki sadar bahwa perempuan adalah penolongnya, maka dia akan menghormati perempuan. Yesus pun berusaha melawan pandangan saat itu dimana perempuan menduduki posisi yang rendah. Dalam Injil Yohanes digambarkan bahwa perempuanlah yang menjadi pewarta pertama sehingga banyak membawa orang pada Yesus. “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh 4:28-29). Dalam Injil Matius Yesus memuji iman perempuan Kanaan (Mat 15:21-28). Dalam surat Paulus yang menggambarkan kehidupan menggereja saat itu memang perempuan masih rendah kedudukannya. Namun seturut perkembangan jaman yang disertai oleh pemikiran-pemikiran kaum cerdik pandai, maka seharusnya perempuan semakin lama semakin dihargai dan memperoleh posisi yang setara dengan pria.

Maria dan masih banyak Maria-Maria yang lain hidup dalam penindasan. Memang di negara kita sejak awal abad ke 20 Ibu Kartini sudah mengungkapkan kegelisahannya sebagai perempuan yang sering dikalahkan oleh adat dan tradisi yang tidak adil. Apa yang dituliskan Ibu Kartini dalam surat-suratnya mendorong banyak orang untuk semakin peduli pada perempuan. Namun sampai saat ini Maria masih menjadi perempuan yang dikalahkan. Dengan demikian masih panjang jalan yang harus dilalui oleh perempuan untuk dihargai martabatnya.

Sampai larut malam aku masih duduk bersama teman-teman buruh di ruang pertemuan. Mendengar kisah beberapa temanku, aku jadi ngeri. Timbul pertanyaan dalam hati sampai dimana sosialisasi gender? Sampai dimana gerakan emansipasi? Bagaimana reaksi ibu Kartini jika melihat nasib para perempuan di Batam? Mengapa perempuan‑perempuan itu diam saja, meski ditindas? Apakah mereka tidak sadar kalau dirinya ditindas? Apakah mereka sadar kalau ditindas, namun pasrah pada nasib? Banyak pertanyaan yang bergulung‑gulung dibenakku, tapi semuanya tidak bisa kutemukan jawabannya satupun. Maria akan terus menjalani hidupnya dalam penderitaan. Aku hanya bisa diam terpaku disini.

silakan baca selanjutnya "MARIA POTRET BURUH YANG DIKALAHKAN" ...

AKU SEORANG PEKERJA SEKS

0 komentar

Perempuan muda itu wajahnya kuyu. Matanya sembab. Entah sudah berapa lama dia menangis. Tubuhnya yang agak gemuk kelihatan layu. Pakaiannya ala kadarnya. Kacau. Dia datang menemuiku di suatu malam yang disiram gerimis kecil. Aku baru pertama kali ini melihat wajahnya. Dia memperkenalkan diri. Ketika kutanya dimana rumahnya, dia mengatakan sebuah daerah yang tidak jauh dari gereja. Aku tanya kenapa dia tidak ikut mudika? Ternyata dia bukan orang Katolik. Dia mengetahui namaku dari salah seorang temannya. Lalu dia menyebutkan nama seorang perempuan, tapi aku sendiri lupa apakah pernah bertemu dengan pemilik nama itu atau belum. Temannya menyarankan agar dia datang padaku untuk meminta pertolongan. Melihat penampilannya yang kacau aku tahu bahwa gadis ini sangat menderita. Maka kutawari dia minuman. Sedikit senyum menghiasi bibirnya.

Setelah meminum air kemasan, gadis itu mulai bercerita. Aku seorang perempuan yang jatuh dalam dunia hitam katanya memulai ceritanya. Sejak lulus SMP di desa aku datang ke Surabaya diajak oleh seorang teman. Aku tidak tahu bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh temanku itu adalah pekerjaan seperti ini. Semula dia mengatakan bahwa aku akan bekerja di sebuah restoran seperti dia. Siapa yang tidak tergiur bila melihat perhiasan yang menempel di leher dan pergelangan tangannya. Baju-baju yang sangat bagus. Satu tas besar berisi alat kosmetik. Kiriman uang kepada keluarga yang cukup besar bagi ukuran orang desa. Semua itu diperoleh dari hasil kerjanya di restoran. Mendengar ceritanya dan melihat apa yang dikenakannya, maka orang tuaku tanpa berpikir panjang menyarankan agar aku ikut dengannya. Apa yang dapat diharapkan di desa yang miskin ini? Paling kau akan menikah dengan pemuda desa, katanya membujuk. Setelah semalam membangun mimpi dengan bapak dan ibu tentang masa depan keluarga. Tentang kemiskinan yang akan berakhir. Tentang hidup kota yang gemerlap. Akhirnya ketika surya mengintip bumi, aku berangkat bersama temanku.

Dolly adalah nama yang sangat asing bagi telingaku. Temanku bilang disanalah tempatku. Siang hari aku sudah sampai daerah yang dituju. Kekecewaan segera menerkam hatiku ketika melihat lingkungan Dolly. Semua itu jauh dari bayanganku sebelum berangkat. Aku hanya melihat jalan kecil yang ramai dilalui aneka kendaraan. Deretan rumah yang cukup padat berjajar di sepanjang jalan. Dari beberapa rumah yang terbuka daun pintunya terdengar suara musik yang memekakkan telinga. Beberapa pemuda berdiri di dekat pintu masuk. Ada yang memakai seragam ada pula yang tanpa seragam. Temanku mengajak ke salah satu rumah. Disana aku berkenalan dengan beberapa perempuan. Mereka sangat genit. Dandanan mencolok. Aku tertegun. Apakah aku tidak salah masuk? Temanku memperkenalkan aku pada seorang ibu separo baya yang menjadi pemilik rumah. Dia memuji-muji kecantikanku. Padahal wajahku biasa saja. Tidak berapa lama kemudian dia memberiku pakaian yang bagus. Aku sudah mulai curiga. Tempat apakah ini? Beberapa kali aku pernah dengar tentang tempat semacam ini. Di kotaku juga ada perempuan-perempuan semacam ini. Perempuan yang dipandang sangat hina. Tapi aku berusaha menghibur diri bahwa temanku hanya mampir ke rumah salah satu teman. Aku tidak akan bekerja disini. Temanku pasti tidak akan memasukan aku dalam lingkaran dosa. Malam jatuh ke bumi. Jalan kecil semakin ramai. Lampu kelap kelip menghiasi beberapa rumah. Suara musik yang keras terdengar dari mana-mana. Lelaki dengan aneka dandanan mulai muncul di rumah tempatku. Ibu pemilik rumah memanggilku. Kulihat dia berbisik-bisik sambil tersenyum pada seorang lelaki setengah baya. Itulah awal petaka. Malam itu aku mengalami malam yang sangat mengerikan dalam hidup. Suatu malam yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Segala impian yang sudah kubangun dari desa hancur. Aku merasa kehilangan diriku. Tidak ada lagi yang kupertahankan dalam hidup.

Dua tahun aku menjalani kehidupan yang sangat merendahkan diri. Aku seperti sebuah toilet umum yang menerima buangan dari para lelaki. Aku harus tersenyum tanpa tahu mengapa aku tersenyum. Aku dipaksa merayu dan melayani setiap lelaki di depanku. Hidupku hanya bergerak dari satu lelaki ke lekaki lain. Semula aku merasa berat menjalani hidup semacam ini. Pernah terpercik pikiran akan lari, namun beberapa teman berbisik-bisik bahwa lari dari tempat ini bukanlah langkah yang mudah. Mereka akan mencari dan memaksaku kembali. Akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam rumah yang penuh dosa ini. Selama dua tahun aku tidak tahu berapa banyak lelaki yang sudah aku layani. Aku menjadi semakin tahu bagaimana harus melakukan pekerjaan itu. Tiga kali aku pulang ke desa. Banyak barang kubawa. Tidak beda dengan temanku dulu. Orang tuaku bangga. Mereka bercerita ke semua tetangga bahwa aku sudah berhasil di kota. Padahal setiap pulang aku selalu seperti melihat diri dalam sebuah cermin. Aku malu untuk melihat diri tapi aku tidak berkuasa untuk melarikan diri dari hadapan cermin. Aku lebih banyak mengurung diri di rumah daripada pergi ke rumah tetangga, ke pasar atau tempat yang lain. Setiap aku berjalan ke luar rumah aku tidak berani mendongakkan kepala. Aku malu. Seolah semua orang menatapku penuh dengan kejijikan. Di desaku dan pasti juga di semua desa, pekerja seks adalah orang yang sangat hina dan akan digunjingkan oleh banyak orang. Tidak ada satu pun orang yang pernah memahami pekerjaan ini. Mereka hanya mencaci maki dan memandang penuh kejijikan. Padahal belum tentu mereka tidak pernah menggunakan jasaku.

Suatu hari ada seorang dari luar pulau datang ke rumah tempat kami bekerja. Dia sangat baik. Usianya sudah jauh diatasku. Dia langganan utama. Kami berhubungan sangat dekat. Setiap saat kami saling menelpon. Setelah berhubungan selama beberapa bulan akhirnya aku hamil. Orang dari luar pulau itu merasa kasihan padaku. Usiaku belum genap 17 tahun dan sudah harus mempunyai anak. Beberapa kali aku mencoba untuk menggugurkan tapi tidak berhasil. Akhirnya lelaki itu mau menikahiku, meski kami tidak tahu siapa ayah dari anak yang ada dalam kandunganku. Kami menikah di modin, sebab dia sudah punya istri sah dan beberapa anak. Dia memaksaku untuk meninggalkan rumah tempat bekerja dan mencari kost diluar. Akhirnya aku kost di sebuah kampung yang tidak terlalu jauh dari Dolly. Aku melahirkan anak perempuan. Kini berusia 4 bulan.

Sejak anakku lahir, lelaki itu tidak pernah datang lagi. Ditelpon pun tidak pernah diangkat. Bahkan dia sudah ganti nomor HP. Aku tidak dapat menghubunginya. Pernah aku mencari di tempat kerjaku dulu. Beberapa teman mengatakan bahwa lelaki itu masih sering datang. Beberapa kali aku berusaha menemuinya tapi tidak berhasil. Kini aku harus hidup bersama anakku. Tanpa penghasilan. Uang tabungan sudah habis untuk biaya persalinan. Aku tidak ingin kembali ke pekerjaan yang lama. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Sudah banyak lamaran yang aku ajukan ke toko atau rumah tangga sebagai pembantu, tapi semua tidak ada hasilnya. Ijasah yang kumiliki hanya ijasah SMP di desa. Apa arti ijasah itu dikota? Aku juga kecewa pada suamiku. Dia memang berjasa mengeluarkan aku dari Dolly, tapi mengapa sekarang dia tidak mau menyapaku? Aku hanya ingin tahu bagaimana kelanjutan hubungan kami. Apakah dia menginginkan putus denganku atau melanjutkannya. Aku tidak mempermasalahkan apakah aku akan menjadi istri ketiga atau keempat dan sebagainya. Aku hanya ingin keluar dari tempatku bekerja dan memulai hidup baru sehingga bila suatu saat pulang ke desa aku dapat menegakkan kepala tanpa rasa malu atas pandangan orang lain. Itu saja yang aku inginkan. Tapi mengapa dia meninggalkan begitu saja? Mengapa tidak mau menerima telponku? Apalagi menemuiku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Saat ini aku sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Pulang ke desa tidak menyelesaikan masalah. Bahkan lebih menambah masalah bagi orang tua. Apa kata penduduk desa bila melihatku pulang dengan menggendong seorang bayi? Bagaimana bila mereka tahu bahwa aku selama ini bekerja di Dolly, sebuah kompleks pelacuran yang katanya terbesar di Asia? Dimana orang tuaku harus meletakkan mukanya? Bagi mereka kehormatan dan harga diri sangat besar artinya. Menjadi pekerja seks adalah tindakan penghancuran harga diri bukan hanya bagi dirinya sendiri melainkan juga bagi seluruh keluarga. Keluargaku pasti akan sulit menerimaku meski mereka sangat mudah menerima apa yang aku hasilkan.

Wajah perempuan muda itu semakin kuyu. Air mata mengalir membasahi pipinya. Matanya semakin sembab. Kemanakah aku harus berjalan? Tanyanya putus asa. Sesaat kami masuk dalam keheningan. Cerita seperti ini sudah pernah aku dengar dulu. Dulu aku berusaha membantu memberinya modal untuk alih profesi. Tapi orang yang kubantu akhirnya gagal. Maka aku bertanya pada perempuan di depanku apakah yang dapat kubantu? Perempuan itu hanya menggelengkan kepala. Dia mengucapkan terima kasih sebab aku mau mendengarkan dan meneguhkannya. Meski dia bukan orang Kristen tapi aku masih mau mendengarkan dan tidak menyalahkannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu harus kepada siapa dia bercerita untuk mendapat peneguhan dan pencerahan bagi hidupnya yang kelam sekelam malam yang gerimis.

Aku heran dengan pernyataan gadis itu, sebab selama dia bercerita aku hanya duduk memandanginya. Aku hanya diam dan berusaha memahaminya segala pergolakan hatinya. Aku hanya berusaha membayangkan seandainya aku ada dalam posisinya. Ternyata ini sudah merupakan peneguhan padanya. Beberapa kali dia bercerita pada orang, ternyata orang itu memberikan banyak nasehat yang intinya hanya menyalahkan dia mengapa mau bekerja di Dolly. Dia mengatakan kalau tahu akan bekerja sebagai pekerja seks pasti tawaran temannya itu akan ditolak oleh semua keluarganya. Tidak ada satupun orang tua yang bangga anaknya bekerja sebagai pekerja seks meski dia mampu memberi banyak barang dan uang. Lebih baik baginya makan sehari sekali tanpa lauk sekalipun, daripada menjadi pekerja seks. Tapi semua sudah terlanjur. Sekali orang masuk maka sulit sekali keluar, kecuali sudah tidak laku lagi maka akan dibuang begitu saja. Sekali lagi kutawari apakah dia mau modal untuk usaha? Perempuan itu menolak. Dia merasa bahwa aku sudah cukup memberi bantuan. Dia berharap bila suatu saat mengalami kebuntuan hidup maka dia akan datang lagi padaku. Aku terkejut. Biasanya orang bercerita sedih dan ujungnya meminta bantuan. Tapi perempuan ini menolak bantuan materi yang kutawarkan. Dia sudah merasa nyaman karena aku mau mendengarkan kisahnya dan memahaminya. Bagiku ini pengalaman baru dimana orang membutuhkan bantuan materi tapi menolak ketika akan diberi. Penolakan perempuan itu merupakan tamparan bagiku. Dia mampu mencelikkan mataku bahwa pertolongan tidak dapat disempitkan hanya pada materi.

Sering kali aku sudah merasa menolong seseorang bila mampu berbagi materi dengannya. Orang miskin yang datang cukup diberi uang. Selesai. Namun dari pengalaman ini aku menjadi sadar bahwa pertolongan lebih luas dari sekedar pemberian materi. Pertolongan adalah penghargaan martabat manusia. Yesus menyembuhkan orang kusta karena sebagai orang kusta mereka telah kehilangan martabatnya sebagai manusia. Yesus berteman dengan Zakheus sebab Zakheus dikucilkan oleh masyarakat. Dia kehilangan martabatnya sebagai manusia. Maka ketika Yesus menawarkan akan makan di rumahnya dia segera turun dari pohon dan mengadakan perjamuan bahkan dia berani membagikan kekayaannya. Sebagai pekerja seks perempuan ini juga telah kehilangan martabatnya. Maka ketika aku mau mendengarkan dan tidak mengadilinya, dia merasa bahwa aku sudah menghargai martabatnya. Ini jauh lebih besar dari pertolongan materi yang dapat aku berikan, maka dia menolaknya.

Setelah berbasa basi sejenak, maka perempuan muda itu mohon pamit. Hujan gerimis segera menelan tubuh perempuan itu. Dia berjalan cepat dan menghilang di jalan raya. Berapa banyak orang yang mengalami hidup seperti perempuan itu? Tanyaku dalam hati. Dia harus berjuang untuk mengatasi masalah hidupnya sendiri. Dia harus menyimpan semua kegalauan hatinya sendiri. Dia memang telah masuk dalam sebuah pekerjaan yang dianggap hina, namun itu bukan merupakan pilihannya. Dia terpaksa masuk dan menjalani semua itu. Namun orang sering mudah menuduh tanpa mau mendengarkan latar belakangnya. Orang mudah merasa jijik melihat para pekerja seks padahal belum tentu mereka adalah orang yang menjijikkan dan belum tentu juga orang yang merasa jijik hidupnya lebih baik dari para pekerja seks.

Di depan pintu pasturan aku menatap air hujan yang turun semakin deras. Terlintas wajah perempuan tadi. Kemana dia akan melangkah pada hari esok? Bagaimana dia harus menghidupi anaknya? Perempuan tadi hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang terpaksa bekerja sebagai pekerja seks. Sering orang hanya mampu menuding dan menyalahkan mereka tanpa berusaha mengetahui mengapa mereka memilih pekerjaan itu. WS Rendra, salah seorang penyair terkenal, pernah menulis sajak berjudul “Nyanyian Angsa” yang menceritakan tentang seorang pekerja seks yang akhirnya meninggal dalam pelukan Yesus. Bila Yesus ada saat ini apakah yang akan diperbuatNya? Sejak dahulu kala pekerja seks dianggap orang yang hina, tapi dalam sejarah keselamatan ada pula seorang pekerja seks yang berjasa bagi bangsa Israel. Atas bantuan seorang perempuan sundal maka mata-mata Israel selamat dari kejaran orang Yerikho (Yos 2:1-24). Yesus pun berteman dengan perempuan yang tertangkap berbuat jinah dan banyak ahli Kitab Suci yang mengatakan bahwa perempuan itu adalah seorang pekerja seks. Bahkan Yesus menurut Yohanes menampakkan diri pertama kali kepada Maria Magdalena yang diduga adalah seorang pekerja seks yang bertobat. (Yoh 20:11-18). Dengan demikian belum tentu seorang pekerja seks adalah orang yang hina dan dapat diperlakukan sesuka hati. Mereka adalah manusia yang memilih pekerjaan yang dianggap tidak layak bagi masyarakat.

Pekerja seks juga manusia yang mempunyai harga diri. Mereka masih mempunyai nurani dan malu pada situasi hidupnya. Namun sering kali mereka tidak berdaya menghadapi kenyataan. Memang bagi orang yang ada diluar hidup mereka dapat mengatakan dengan mudah seharusnya mereka begini atau begitu. Tapi bagi mereka yang menjadi pelakunya perubahan hidup atau alih profesi bukanlah hal yang mudah. Status mereka sebagai pekerja seks saja sudah menjadi salib yang sangat berat baginya. Perempuan tadi pun merasakan betapa banyak orang hanya menyalahkan tanpa memberi alternatif jalan keluar dari hidupnya. Banyak orang hanya mampu menuding tanpa mau memahaminya. Inilah yang membuatnya merasa semakin terkucil dan tidak berani melangkah keluar dari kehidupannya. Bagaimana akan mampu alih profesi bila semua orang memandang rendah padanya? Seorang teman yang dulu pekerja seks dan mau meninggalkan pekerjaannya dengan memulai usaha baru, ternyata mengalami kegagalan. Usahanya tidak berjalan sesuai dengan harapannya. Ada banyak kendala yang harus dihadapinya. Salah satunya adalah pandangan orang terhadap dirinya.

Aku masih berdiri di depan pintu menatap air hujan yang mulai menggenangi halaman yang gelap. Hidup perempuan itu bagaikan halaman yang gelap penuh genangan air mata.

silakan baca selanjutnya "AKU SEORANG PEKERJA SEKS" ...

MANUSIA YANG DIKALAHKAN

0 komentar

Puluhan orang duduk berdesakan di sela rak-rak buku bekas. Asap rokok memenuhi ruangan. Mengepung setiap tubuh. Udara segar yang ditebarkan oleh kipas angin tua yang tergantung di langit-langit dan berputar dengan suara gemerisik, tidak mampu menyentuh hidungku. Angin malam yang berhembus dingin hanya sesekali lewat sedikit memberi kesegaran. Aku sedot air dari gelas air kemasan untuk mengurangi rasa kering di tenggorokan.

Di sekelilingku berderet dalam desakan wajah-wajah kumuh. Rambut gondrong. Pakaian kumal. Persis seperti situasi kehidupan yang sedang kami bahas. Kehidupan kami adalah wajah kumal dari sebuah kota. Jerawat di seraut wajah. Ingin disingkirkan agar wajah tampak bersih. Tapi satu disingkirkan dia akan tumbuh di lain tempat. Maka dilakukan kekerasan dengan aneka cara meski tidak menyelesaikan masalah. Digencet. Dicukil. Dipencet-pencet sampai berdarah-darah sehingga menimbulkan luka dimana-mana. Demikian pula kehidupan kami. Digencet. Dimarginalkan. Diusir dan dicaci maki. Ditendang dan digebuki sampai berdarah-darah. Kehadiran kami dianggap sebagai noda buruk di wajah ibu kota yang sedang bersolek agar dapat anugerah.

Beberapa hari ini aparat mulai dari pasukan dari Polwil, Koramil, SatPol PP, pegawai kecamatan, kelurahan, pemkot dan sebagainya datang untuk memberitahukan batas akhir keberadaan kami di Jl. Semarang. Kami terheran-heran melihat banyaknya petugas dari berbagai pasukan, layaknya hendak maju perang. Seorang ibu yang menjadi kepala pasukan dengan tegas dan keras memutuskan tanpa memberi ruang tawar. Kami seolah bukan warga negara yang dilindungi hukum, sehingga tidak ada hak untuk membela diri atau memberikan penawaran. Apakah memang hukum tidak ada bagi kami yang hanya dianggap kaum liar? Memang sudah banyak contoh bila kaum seperti kami ini selalu kalah atau dikalahkan. Kadang kami berpikir apakah benar negara ini disebut sebagai negara hukum yang sering diagungkan dan dikatakan oleh orang-orang hebat? Bila negara hukum apakah hukum itu adil bagi semua rakyat? Terkadang ada tontonan hukum yang bergerak dan diatur oleh orang yang kuat dan ditamengi oleh uang, kekuasaan, jabatan dan sebagainya.

Orang-orang yang duduk berkumpul memanjang seiring sela rak buku bekas saling memberikan pendapat untuk mendukung para kurban yang akan digusur. Mengapa kami selalu digusur? Kehadiran PKL penjual buku bekas di Jl. Semarang sudah bertahun-tahun. Jauh lebih lama daripada mall atau supermarket yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Mall dan supermarket dibangun oleh orang yang mempunyai dana sangat besar sehingga gedung-gedungnya besar dan indah meski tidak jarang menggusur pemukiman penduduk bahkan fasilitas umum, seperti lapangan olah raga. Gedung-gedung itu diijinkan berdiri sebab dianggap mampu menunjukkan kemakmuran warga kota. Sedangkan PKL dianggap sebagai bukti kemiskinan warga. Para pejabat enggan melihat ada warga miskin di daerahnya. Maka mereka harus dibersihkan dan disingkirkan. Ada banyak alasan yang digunakan oleh pihak berwenang untuk melakukan hal itu. Pemerintah membuat perda-perda yang digunakan landasan hukum, meski perda itu dapat tidak sevisi dengan UUD 45. Dalam UUD 45 yang seharusnya menjadi landasan hukum dari setiap keputusan pemerintah atau UU dikatakan bahwa kaum miskin dipelihara negara, namun perda dapat menyatakan yang berbeda. Memang perda tidak secara jelas menyingkirkan kaum miskin, namun akibat perda itu kaum miskin disingkirkan atau dimarginalkan.

Beberapa orang berusaha mencari jalan damai dengan berusaha mengajukan tempat sebagai alternatif pinggir jalan. Namun usulan mereka ditolak. Penguasa hanya berusaha menyingkirkan tanpa memberi ruang baru. Kalau toh mereka memberikan tempat baru, maka tempat itu sangat tidak mendukung. Penguasa menyodorkan tempat di lantai dua sebuah pasar pakaian. Usulan ini kami anggap kurang bijak. Bagaimana mungkin kami akan berjualan buku bekas ditengah orang berjualan pakaian? Selain itu tempatnya cukup jauh dari rumah kami yang berada di sekitar Jl Semarang. Penguasa juga mengajukan usul agar kami pindah ke pinggiran kota. Bagaimana mungkin kami berjualan buku di sekitar tanah yang masih berupa persawahan? Seorang teman bertanya apakah kita akan mengajari kodok membaca?

Kehadiran PKL penjual buku bekas sebetulnya sangat menguntungkan bagi masyarakat di Surabaya. Mereka menyediakan buku-buku dengan harga yang sangat murah. Meski disebut bekas namun masih banyak buku yang cukup bagus. Dengan tingginya biaya pendidikan dan mahalnya harga buku baru, maka buku bekas dapat mengurangi anggaran yang harus dikeluarkan oleh pelajar dan mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa dan pelajar tapi orang umum pun banyak yang datang untuk mencari buku-buku sebagai bahan bacaan menambah ilmu pengetahuan. Orang harus mengeluarkan jutaan rupiah bahkan puluhan juta untuk memiliki ensiklopedia, tapi dengan membeli ensiklopedia bekas orang tidak perlu mengeluarkan jutaan rupiah. Selain itu ada banyak buku-buku lama yang sudah tidak ada di toko buku namun ada di sini. Dengan demikian kehadiran para penjual buku bekas sangat penting bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah untuk memperluas wawasan. Bila kami digusur entah kemana, maka kemana masyarakat akan membeli buku yang murah?

Jam terus bergerak menuju dini hari. Orang-orang yang hadir sudah mendapatkan titik terang untuk mempertahankan diri. Namun perjalanan untuk memperoleh keadilan dan hak sebagai warga negara masih sangat jauh. Kekalahan dan penggusuran masih kuat terbayang di mata kami. Bagi kami yang hadir disini kekalahan dan penggusuran mungkin akan kami alami. Kami tidak akan mampu melawan orang yang bersenjata api dan didukung oleh peralatan perang sedangkan kami hanya bersenjatakan tekad untuk bertahan. Kami akan kalah dan dikalahkan namun setidaknya kami berusaha untuk bertahan. Kami ingin sedikit menujukkan kepada penguasa agar tidak memperlakukan masyarakat miskin kota sebagai warga yang sungguh-sungguh tidak ada manfaatnya sama sekali bagi warga kota lainnya. Kami ingin sedikit menunjukkan bahwa kami adalah warga negara yang ingin meraih hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi oleh UUD 45.

silakan baca selanjutnya "MANUSIA YANG DIKALAHKAN" ...

Kamis, 17 April 2008

RUMAHKU PENUH LUMPUR

0 komentar

Seorang ibu muda dengan terisak mengatakan, “Bila saya ditanya apa yang saya butuhkan, maka saya tidak tahu apa yang saya butuhkan. Saya hanya butuh rumah saya kembali.” Ibu ini adalah salah satu kurban semburan lumpur Lapindo, Porong. Dia menceritakan seminggu yang lalu dia bersama anak dan suaminya masih makan bersama di ruang makan yang kecil. Menonton TV bersama setelah seharian bekerja. Bernyanyi bersama para tetangga untuk mempersiapkan misa Natal. Tapi sekarang semua tidak dapat dilakukan kembali. Rumahnya sudah tergenang lumpur. Dia harus meninggalkan rumah yang dibeli ketika masih pacaran. Rumah yang menjadi saksi bisu suka duka membangun keluarga baru. Di rumah itu dia melahirkan anak semata wayang. Mengasuh anaknya dan membangun masa depan. Semua musnah begitu saja akibat lumpur yang terus mengalir dan menggenangi rumahnya.Semburan lumpur yang sudah sejak bulan Mei 2006 dan entah kapan berakhir secara perlahan melebar kemana-mana. Puluhan hektar sawah dan kompleks perumahan sudah tenggelam. Meledaknya pipa gas milik pertamina semakin memperparah situasi. Lumpur yang diperkirakan tidak memasuki perumahan padat ternyata mengalir dan menggenangi perumahan. Memaksa orang di perumahan untuk meninggalkan rumahnya dalam waktu singkat. Mereka dicabut begitu saja dari tempat mereka berpijak. Mereka harus mengungsi dan tidak mungkin kembali lagi pada rumah yang mereka beli dengan susah payah. Rumah yang mereka jadikan harapan untuk membangun keluarga. Rumah yang menjadi idaman mereka ketika memulai hidup berkeluarga kini semua musnah. Rumah tinggal menjadi bangunan tidak berarti yang menyembul dari lumpur kering bahkan hilang menjadi sebuah tanggul.Para petinggi pemerintah dan perusahaan Lapindo hanya menghitung rumah yang rusak dan perkiraan ganti rugi. Padahal masalah kehilangan rumah tidak sesederhana itu. Rumah bagi para kurban bukanlah sekedar bangunan mati melainkan gerak dan denyut kehidupan mereka. Tempat mereka membangun kehidupan keluarga. Tempat yang dapat mereka banggakan pada sesamanya. Tempat mereka kembali setelah bekerja. Banyak orang membangun rumah yang disesuaikan dengan karakter dirinya. Rumah adalah cerminan diri seseorang. Apalagi orang sederhana yang harus dengan susah payah mengumpulkan uang untuk membangun sedikit demi sedikit. Pembangunan yang merupakan sebuah bentuk perjuangan yang lama dan keras. Bangunan rumah itu menjadi kebanggaan dan monumen perjuangan hidup. Kini semua hancur. Mereka kehilangan apa yang dibanggakannya. Mereka dipaksa pergi dengan cepat tanpa persiapan apa-apa. Maka ibu muda tadi bila ditanya orang apa yang dibutuhkan saat ini, dia menjawab bahwa dia tidak tahu. Dia kehilangan kebanggaannya dan hasil perjuangannya dalam waktu yang singkat. Dia tidak mungkin kembali untuk membangun apa yang sudah dimulai. Dia harus mengawali dari nol kembali.Pengungsian membuat orang kehilangan komunitasnya. Selama di perumahan mereka sudah membangun pertemanan yang baik dengan sesamanya. Hancurnya kampung mereka membuat mereka harus terpisah dari teman-teman atau komunitasnya. Memang mereka dapat membangun pertemanan atau komunitas dimana saja. Tapi hal itu tidak mudah. Jaman ini kecenderungan individualis sangat kuat, meski dalam hati yang terdalam manusia membutuhkan sesamanya. Situasi jaman juga membentuk orang untuk tidak mudah percaya pada sesamanya. Mereka butuh waktu untuk membangun persaudaraan atau pertemanan. Di perumahan para kurban sudah mampu membangun persaudaraan dengan baik. Kini mereka kehilangan pertemanan dan harus membangun kembali pertemanan yang baru.“Saya adalah salah satu orang yang pertama di perumahan TAS,” kata seorang bapak muda. Dia seorang guru. “Saat itu TAS masih belum ada listrik. Kami menggunakan lampu minyak. Sedikit demi sedikit saya membangun rumah yang sederhana untuk masa depan anak-anak. Kini semua musnah. Kami hanya mampu menatap sisa rumah kami di tengah lautan lumpur.” Lanjutnya sambil terisak. “Saat itu saya sedang mengajar di sebuah SMP swasta di Surabaya ketika istri saya menelpon bahwa air sudah masuk. Segera saya pulang. Saya memacu sepeda motor dengan gila. Pikiran saya kalut. Saya harus menyelamatkan anak dan istri saya.” Lanjutnya. Semua keluarganya selamat tapi rumahnya tenggelam dalam lumpur. Gajinya sebagai seorang guru tidaklah cukup banyak. Dia harus menabung sedikit demi sedikit untuk mencicil rumah dan merenovasinya. Kini setelah rumahnya dianggap layak huni, dia dipaksa meninggalkannya. “Saya masih harus mencicil rumah yang tidak mungkin saya tempati lagi.” Katanya menutup pembicaraan.Banyak para penghuni perumahan TAS (Tanggulangin Anggun Sejahtera) yang masih harus mencicil rumahnya. Penghuni TAS pada umumnya adalah keluarga muda yang baru merintis karir atau menjadi pegawai sederhana. Mereka harus pintar membelanjakan penghasilan yang tidak banyak untuk biaya hidup dan mencicil rumah. Setelah bertahun-tahun mencicil kini mereka dipaksa pindah oleh lumpur. Pemerintah dan Lapindo di koran dan media massa lain mengatakan akan mengganti rumah, tanah, atau ladang yang terkena lumpur. Mereka juga berjanji akan memberikan uang Rp 2.000.000 untuk kontrak rumah. Berita itu dimuat di koran dengan tulisan besar-besar. Dalam waktu sekejap harga kontrakan rumah di Sidoarjo melambung tinggi. Hal ini disebabkan berita adanya uang ganti kontrak dan melonjaknya orang yang membutuhkan rumah kontrakkan. Parahnya janji itu masih sekedar ditulis di koran. “Kami harus kos,” kata seorang ibu muda, “Biaya kos sebulan Rp 300.000. Ini sangat berat bagi kami. Tapi tidak ada pilihan. Maka saya tidak tahu bulan depan apakah akan mampu membayar uang kos atau pindah entah kemana lagi.”Bencana lumpur Lapindo memang tidak segempar bencana tsunami di Aceh atau gempa di Jogjakarta. Namun sebetulnya bencana ini menimbulkan kepedihan yang mendalam bagi para kurban. Bila orang Jogjakarta setelah bencana mampu kembali ke tanah mereka. Membangun kembali rumah mereka. Menggarap sawah mereka kembali, bahkan ada banyak sawah yang tidak hancur akibat gempa sehingga masih dapat diharapkan hasilnya. Tapi kurban Lapindo tidak mungkin akan kembali ke tanah mereka. Rumah mereka musnah atau tersisa sebagian bangunan. Sawah mereka sudah menjadi lautan lumpur yang tidak mungkin ditanami kembali. Mereka dipaksa meninggalkan tempatnya berpijak selama ini. Tempat mereka membangun harapan. Inilah kepedihan mereka yang mendalam.Selama ini pemerintah hanya berbicara soal hasil survey tentang data material dan jumlah kurban lalu mengeluarkan aneka analisa dan keputusan yang dilakukan di belakang meja sebuah hotel mewah. Mereka tidak pernah mencoba memposisikan diri menjadi kurban. Orang yang diusir dari tempatnya berlindung. Dalam hal ini perasaan kehilangan dan terusir tidak pernah diungkapkan. Padahal hal itu sangat besar pengaruhnya pada para kurban. Anak-anak kehilangan arena bermain. Mereka juga cemas kalau sekolah mereka tenggelam dan sudah ada sekolah yang tenggelam. Mereka bingung dengan masa depan pendidikan mereka. Mereka juga malu dikatakan sebagai anak pengungsi yang tinggal di pasar Porong.Memang bagi orang yang cukup mampu dalam segi ekonomi mereka akan cepat pindah rumah dan memindahkan sekolah anak-anak mereka. Atau orang yang masih mempunyai keluarga di sekitar Sidoarjo dan Surabaya akan segera bergabung kembali dengan keluarga mereka. Tapi bagaimana dengan orang yang kurang mampu dan jauh dari keluarga mereka? Mereka tidak mungkin meninggalkan Porong sebab mereka bekerja di Sidoarjo. Disinilah sumber kehidupannya. Pemerintah pernah menganjurkan agar mereka sudi untuk mengikuti program transmigrasi tapi apakah itu akan menyelesaikan masalah kemanusian? Disini terjadi perbedaan pandangan antara penguasa dan para kurban. Penguasa melihat semua dari data dan pemecahan yang memungkinkan. Tapi kurban melihat dari perasaan terusir dan ketidakadilan. Bagi mereka pengeboran minyak bukan urusan mereka. Tidak sekalipun mereka diajak berunding oleh Lapindo bahwa perusahaan itu akan mengadakan pengeboran minyak disana. Kini mereka harus menanggung bencana yang diakibatkan oleh sesuatu yang bukan salah mereka. Bila pengeboran minyak itu berhasil apakah Lapindo akan memberikan keuntungan pada penghuni perumahan dan para petani? Pasti tidak. Semua keuntungan akan dinikmati sendiri oleh perusahaan dan pemerintah. Tapi ketika terjadi bencana maka yang dirugikan adalah masyarakat yang tidak tahu menahu soal pengeboran minyak.Luapan lumpur dengan cepat mengubah status seseorang. “Dulu saya sering mengkoordinir teman-teman untuk menyumbangkan sembako pada kaum miskin. Kini saya harus menerima tas kresek hitam berisi sembako.” Kata seorang ibu muda dengan nada pedih. “Saya sebenarnya malu. Tapi bagaimana lagi.” Katanya pasrah. Lumpur membuat orang kehilangan harga dirinya. Dia tidak mampu mempertahankan kebanggaan diri sebagai seorang pemberi. Kini dia harus menjadi orang penerima. Orang yang menunggu belas kasih dari para penentu kebijakan. Padahal seharusnya dia tidak membutuhkan itu.“Saya tidak tahu bagaimana masa depan pendidikan anak-anak saya,” kata seorang bapak dengan berlinang air mata. “Kami harus tinggal di kios pasar. Ada sekitar 24.000 orang yang harus berdesakan di pasar. Bagaimana anak-anak dapat belajar dengan baik? Anda dapat membayangkan betapa repotnya kami harus mandi dan buang air, sebab kamar mandi sangat terbatas.” Lanjutnya. “Lapindo memang memberikan jatah makanan, tapi makanan datang tidak pasti. Kadang juga sudah bau dan rasa tidak enak sama sekali. Kami tidak mungkin masak sendiri.” Kata seorang lelaki muda yang baru beberapa tahun menikah. Dia menyesalkan tindakan pemerintah yang sangat lambat. Para pejabat hanya berunding dan mengumbar janji di koran dan TV tapi kenyataan sangat jauh dari apa yang dikatakan. Para kurban tidak makan janji dan diskusi atau kunjungan para pejabat yang tidak menyelesaikan masalah. Sudah banyak pejabat yang datang dan melihat. Mereka hanya mengumbar janji penghiburan yang tidak terealisasikan. Para kurban butuh terpenuhinya uang ganti rugi dalam bentuk lembaran rupiah di tangan mereka. Inilah yang masih dalam mimpi.Masih banyak lagi kurban yang tidak dapat menyerukan kepedihan hatinya. Seandainya pemerintah dan Lapindo melihat masalah ini dari hati mungkin penyelesaian tidak serumit saat ini. Kebanyakan penyelesaian masalah bencana dilihat dari data dan analisa yang dibicarakan oleh orang yang tidak bertanya pada para kurban. Mereka tidak berusaha merasakan menjadi kurban. Inilah yang dibutuhkan saat ini yaitu empati. Orang bersedia masuk dalam penderitaan orang lain. Melihat dari sisi kurban bukan hanya dari sisi ganti rugi belaka. Melihat dari sisi kehidupan bukan hanya dari angka dan analisa. Seandainya pemerintah dan Lapindo mau semalam tidur di pasar Porong atau rumahnya turut tenggelam oleh lumpur mungkin mereka akan mempunyai pemikiran lain dan bertindak dengan cepat. Namun apakah untuk menumbuhkan belas kasih dan rasa solidaritas harus mengalami menjadi kurban? Bila hal ini yang dituntut maka akan sulit sekali. Belas kasih dan solidaritas hanya tumbuh dalam hati yang peka akan penderitaan sesama. Hati yang berusaha memposisikan diri ditempat kurban. Bukan mengandalkan akal budi dan aneka analisa belaka. Sayang semua hanya seandainya.

silakan baca selanjutnya "RUMAHKU PENUH LUMPUR" ...

MENGAPA AKU MENDERITA

0 komentar

Seorang datang padaku di siang yang terik. Wajahnya kusut. Matanya cekung mungkin kurang tidur. Tubuhnya kurus. Gurat penderitaan terpampang jelas di wajahnya. Sorot matanya yang tidak memancarkan kehidupan penuh dengan air mata. Orang ini sangat menderita, pikirku dalam hati. Dia kupersilahkan duduk. baru saja duduk dia sudah mulai membuka cerita hidupnya. Sebuah rentetan kepedihan yang panjang. Setelah sekian lama mendengarkan aku menjadi heran bagaimana Tuhan bisa menciptakan situasi hidup yang demikian pedih? Dia pun bertanya apakah Tuhan belum puas menghukumnya dengan aneka penderitaan? Siang semakin terik ketika orang itu pamit pulang. Dalam kesendirian aku berusaha merenungkan segala kisah pedih dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh tamu tadi.Orang itu berulang kali bertanya mengapa Tuhan menghukumnya? Pertanyaan ini sering kali muncul bila orang masuk dalam penderitaan. Banyak orang senantiasa mengkaitkan penderitaan dengan hukuman Tuhan. Pemahaman ini membuat banyak orang kebingungan bila masuk dalam penderitaan. Apakah dirinya pantas mendapat hukuman Tuhan sedemikian rupa? Jika penderitaan tidak dikaitkan dengan dosa maka akan semakin membingungkan. Orang dapat bertanya apakah Tuhan memang suka menghukum orang tanpa alasan? Bila toh orang ini mempunyai dosa, yang kurasa tidak berat, mengapa hukuman itu sedemikian berat? Sebaliknya mengapa orang yang sudah jelas sangat merugikan masyarakat dapat hidup tenang dengan harta yang melimpah? Bila demikian dimana keadilan Tuhan?Dalam kitab Ayub dituliskan bahwa penyebab penderitaan adalah iblis atas persetujuan Tuhan (Ay 1:7-19; 2:1-7). Seolah iblis dan Tuhan sedang bertaruh mengenai iman Ayub. Tuhan yakin akan kesalehan Ayub sedang iblis melihat bahwa Ayub saleh sebab dia hidupnya penuh dengan kebahagiaan yang dianggap sebagai berkat dari Tuhan. Akhirnya Tuhan mengijinkan iblis untuk membuat Ayub menderita. Meski dirundung penderitaan yang bertubi-tubi Ayub tetap setia. Dia tidak terpengaruh hasutan istrinya untuk menghujat Tuhan (Ay 2:9-10). Ayub bergulat untuk memahami Tuhan yang memberinya penderitaan sebab dia yakin bahwa dirinya bukan orang berdosa. Bila merujuk pembukaan kitab Ayub apakah memang penderitaan adalah perbuatan iblis atas persetujuan Tuhan? Pada akhir kitab Ayub dijelaskan bahwa penderitaan adalah misteri Tuhan yang tidak mudah dipecahkan oleh manusia.Dalam Injil diceritakan suatu hari Yesus diberitahu bahwa Lazarus sedang sakit parah. Namun Yesus tidak cepat datang ke rumah Lazarus. Dia mengatakan "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan." (Yoh 11:4). Dengan demikian Yesus melihat penderitaan dari segi positifnya yaitu sebagai sarana untuk menyatakan kemuliaan Allah. Yesus pun melihat bahwa orang yang menderita belum tentu dia orang yang berdosa (Luk 13:2-4). Yesus mengingatkan bahwa kita pun dapat mengalami penderitaan yang saat ini sedang menimpa saudara kita. Maka bila kita tidak menderita jangan merasa lebih saleh daripada orang yang menderita. Dengan demikian penderitaan tidak terkait dengan kesalehan.Semua orang ingin hidupnya bahagia. Namun penderitaan dapat datang begitu saja tanpa pernah direncanakan. Seorang teman sedang bahagia sebab dia baru saja menerima gaji pertamanya. Dia sudah berjanji akan membelikan hadiah kecil buat orang tuanya sebagai ucapan syukur atas gaji pertama. Ketika dia berjalan menuju sebuah toko tiba-tiba ada sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Oleh karena pengemudi tidak mampu mengotrol sepada motornya maka menabrak teman yang sedang berbahagia. Dia meninggal setelah beberapa saat dirawat di rumah sakit. Penderitaan itu datang begitu cepat tanpa diduga.Yesus bersabda, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29). Yesus memberikan tawaran kepada orang yang sedang letih dan berbeban berat agar datang padaNya. Namun Dia tidak melepaskan beban itu, melainkan mengajak kita untuk belajar dariNya bagaimana menyikapi beban itu. Yesus mengajar agar kita rendah hati dan lemah lembut. Penderitaan akan semakin menyakitkan bila kita mengadakan pemberontakan melawan penderitaan itu. Pemberontakan itu dapat dengan cara mempertanyakan mengapa penderitaan itu datang padaku? Bukankah aku ini sudah berusaha mentaati perintah Tuhan? Masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dalam hati. Bila kita rendah hati maka kita menerima saja penderitaan itu. Di Taman Getsemani Yesus pun berulat akan penderitaan yang akan dijalaniNya. Dia melihat bahwa penderitaan itu adalah kehendak Allah, maka Dia bertanya "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39). Penyerahan total kepada kehendak Allah inilah yang membuat Yesus berani menghadapi semua penderitaan.Sering kita ingin hidup seturut keinginan kita. Keinginan kita adalah kebahagiaan. Penderitaan bukan termasuk dalam daftar keinginan. Disinilah tantangan bagi diri kita. Sejauh mana kita mampu rendah hati menerima setiap penderitaan yang ada. Melihat penderitaan sebagai bagian dari kehendak Allah yang tidak mungkin kita tolak. Allah bukanlah Allah yang kejam dan sewenang-wenang. Dia senantiasa mempunyai maksud atas segala kehendakNya. Yesus menerima penderitaan akhirnya mengalami kebangkitan yang menjadi titik keselamatan manusia. Banyak orang Kristen dibunuh namun pembunuhan dan penindasan itu membuat Gereja berkembang sampai saat ini. Semua rencana Allah tersembunyi bagi kita. Apa yang pahit saat ini mungkin menghasilkan yang manis dikemudian hari.Penderitaan “diadakan” oleh Allah agar kasih Allah semakin nyata. Ketika Aceh terkena tsunami maka ada ribuan orang yang memberikan dananya bagi masyarakat Aceh. Ada banyak orang datang ke Aceh untuk membantu masyarakat disana. Sebelum terjadi tsunami bukan berarti Aceh mengalami kehidupan yang menyenangkan. Banyak sekali pertikaian dan pembunuhan yang terjadi disana akibat konflik yang ditimbulkan perbedaan politik. Banyak masyarakat Aceh yang menderita akibat konflik itu. Tetapi jarang sekali orang datang untuk membantu mereka atau menyumbangkan dana bagi mereka. Dengan demikian adanya bencana membuat orang mulai berbelas kasih pada sesamanya. Bila kita melihat ada orang yang menderita itulah saatnya kita menunjukkan belas kasih Allah kepada masyarakat. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat 5:16).Dengan demikian penderitaan bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi manusia. Bila kita mengalami penderitaan kita hendaknya semakin berserah pada Tuhan dan melihatnya sebagai kehendak Tuhan. "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:5-6) Kita menanggapinya dengan lemah lembut dan rendah hati. Bila ada orang lain yang menderita ini adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih Allah sehingga semakin banyak orang memuliakan nama Allah.

silakan baca selanjutnya "MENGAPA AKU MENDERITA" ...

PIALA DUNIA

0 komentar

Saat ini hampir separo penduduk dunia mengarahkan perhatiannya ke Jerman. Bukan disana Hitler bangkit kembali, tetapi ada pertandingan sepak bola piala dunia. Acara empat tahunan ini mampu menyedot perhatian manusia di dunia. Membawa banyak orang dari aneka negara terutama negara yang masuk dalam finalis ke Jerman. Banyaknya pendatang membuat ekonomi Jerman bergerak lebih baik lagi. Menurut sebuah harian di Jawa Timur, piala dunia sepak bola mampu membuat ekonomi negara yang ketempatan menjadi lebih baik. Korea dan Jepang ekonominya juga semakin bergerak ketika ada piala dunia.Sepak bola sudah bergeser dari sebuah olah raga menjadi sebuah ajang bisnis yang menganggumkan. Tidak ada cabang olah raga yang menyedot perhatian manusia sedemikian besar seperti sepak bola. Kecintaan manusia pada sepak bola membuat mereka setia untuk datang di stadion atau menonton di TV. Moment itu digunakan oleh para pebisnis untuk mendongkrak produksinya. Mulai dari bisnis jasa seperti hotel, angkutan, restoran dan sebagainya sampai produk-produk yang ditawarkan dalam iklan sepak bola, baik itu di stadion maupun dalam iklan di TV atau media lain.Beberapa tahun lalu Paus Yohanes Paulus II pernah prihatin ketika mengetahui bahwa Christian Vieri ditransfer 50 juta dollar dari AC Milan ke Inter Milan pada tahun 1999. Paus prihatin bagaimana uang sedemikian besar hanya digunakan untuk membayar pemain sepak bola, padahal di dunia masih banyak orang yang sangat membutuhkan uang. Padahal sekarang saja biaya transfer seorang pemain sudah jauh dari yang diterima oleh Vieri. Bila dollar pada tahun itu sekitar Rp 10.000 maka Vieri harga transfer Vieri sebesar Rp 50 Milyard. Sekarang pemain gelandang Argentina Rodriguez sudah ditawari Rp 308 Milyard oleh AC Milan. Hal itu belum lagi pemasukan dari sponsor dan sebagainya. Bila kita bisa matematika maka kita dapat menghitung sendiri berapa gajinya per hari atau bahkan perjamnya. Lebih gila lagi presiden Nigeria, Olesgum Abasanjo rela mengeluarkan dana dari kas negara sebesar 1 Milyard dollar atau Rp 9 Trilyun untuk membangun sebuah stadion. Padahal Nigeria adalah negara miskin yang masih diancam perang saudara dan pemberontakan.Dari sini kita dapat merenungkan betapa sepak bola sudah sedemikian mempengaruhi manusia. Bila dipikirkan dengan kepala jernih apakah dana-dana transfer seorang pemaian yang sedemikian besar sudah wajar bagi dunia saat ini? Dimana sebagian dunia masih diliputi kemiskinan, kelaparan, bencana dan sebagainya? Dalam olah raga bola basket yang paling menghebohkan yaitu NBA ada batasan tingginya transfer seorang pemain, tapi dalam sepak bola tidak ada batasan. Siapa yang mempunyai uang banyak dapat membeli pemain yang bagus.Iming-iming uang yang banyak membuat banyak orang bermimpi menjadi pemain sepak bola yang hebat. Sebab selain mendapat uang mereka juga mendapatkan popularitas dan fasilitas lain yang tidak dapat dimiliki oleh orang lain pada umumnya. Tampaknya sepak bola menjadi janji yang menggiurkan banyak orang.Bagaimana dengan di Indonesia? Sepak bola di negara ini memang masih sangat memprihatinkan. Prestasi di lapangan sangat minim tapi prestasi di luar lapangan memang sangat membuat heboh. Menonton sepak bola di sini mendapat tambahan atraksi yaitu perkelahian antar pemain, antar pemain dengan wasit, antar penonton, penonton dengan masyarakat dan sebagainya. Memang sepak bola di sini belum sehebat dan semengagumkan di negara Eropa atau beberapa Asia lainnya. Tidak ada transfer pemain yang sangat bombastis. Semua masih dalam taraf dapat dipahami. Tapi melihat transfer pemain di Eropa kita dapat bertanya-tanya. Sedemikian besarkah jurang antar negara kaya dan negara miskin? Apakah tidak ada solidaritas diantara kita?Padahal sepak bola Eropa atau negara maju berkembang juga didukung oleh masyarakat dari dunia ketiga atau negara tidak berkembang. Sebuah klub bisa kaya raya sebab setiap mereka bertanding akan diliput dan liputan itu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam setiap tayangan juga ada iklan yang membuat banyak masyarakat dunia ketiga membeli produk yang ditawarkan. Jadi mereka juga didukung oleh dunia ketiga. Tapi apakah adil bila mereka mendapatkan puluhan milyard sedangkan masih banyak orang yang kelaparan? Inilah yang perlu ditanyakan.

silakan baca selanjutnya "PIALA DUNIA" ...

CHICO

0 komentar

Sore itu kami sedang duduk di ruang tamu rumah ibu. Diluar hujan turun dengan derasnya. Tiba-tiba adikku masuk dengan tubuh basah kuyup sambil menggendong Chiko. Dia mengomel panjang lebar mengenai Chiko yang nakal suka main air hujan. Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkingan Chiko dari kamar mandi. Chiko adalah seekor anjing kecil. Aku tidak tahu jenis apa. Tinggi tubuhnya tidak lebih dari 25 cm. Bulunya putih dan panjang. Sangat lucu. Chiko suka main air hujan. Maka ketika hujan turun langsung adikku mencarinya, ketika tidak diketemukan di rumah, dia segera keluar rumah mencarinya di tengah guyuran hujan.

Tidak berapa lama kemudian adikku sudah keluar dari kamar mandi dan mulai mengeringkan tubuh Chiko dengan handuk. Dia lalu menyuruh Chiko duduk dekat kami berkumpul. Tidak sampai 5 menit Chiko sudah lari keluar dan berguling-guling di teras. Padahal lantai teras masih berupa tanah, akibatnya tubuh Chiko kotor kembali. Penuh dengan tanah. Melihat hal itu adikku langsung berteriak-teriak memarahi Chiko. Aku hanya tertawa dan menggodanya, sebab percuma memarahi anjing yang tidak mampu memahami bahasa manusia.

Hujan sudah reda. Aku segera pulang ke Surabaya. Dalam perjalanan pulang dari rumah ibu, aku membayangkan kembali peristiwa adikku dengan Chiko. Aku bisa memahami kejengkelannya. Dia sudah susah-susah mencari sampai basah kuyup lalu ketika menemukan dia menggendongnya. Dia memandikan dengan sampho yang dia biasa gunakan. Setelah itu dia mengeringkan dengan handuk, tapi tidak lama kemudian Chiko sudah berguling-guling di tanah yang kotor lagi. Jelas hal ini membuat jengkel saja. Maka ketika jengkel adikku mengambil rantai dan merantai Chiko. Katanya sebagai pelajaran. Apakah Chiko akan faham akan hukuman yang diberikan oleh adikku? Apakah besok kalau setelah dimandikan dia tidak akan berguling kembali di tanah? Apakah kalau hujan dia tidak akan main-main di luar lagi? Aku tidak bisa memberikan jaminan sebab Chiko bukanlah adikku. Dia juga bukan manusia yang mempunyai pikiran soal kebersihan dan sebagainya.

Lamunanku membawa peristiwa adikku dengan Chiko pada hubunganku dengan Tuhan. Aku pikir ternyata Chiko adalah gambaran diriku. Aku tidak jarang masuk dalam sebuah bahaya dosa. Aku menikmati bermain-main dalam dosa seperti Chiko menikmati main-main air hujan. Aku tidak menyadari bahaya akan tindakanku. Aku yakin Allah mengetahui dan kuatir akan keselamatan jiwaku, namun aku tidak. Aku tetap bermain dan menikmati apa yang aku anggap menyenangkan.

Dosa pada umumnya sangat menyenangkan meski akibat dari dosa seringkali menimbulkan sakit dan luka yang dalam. Bahkan tidak jarang dosa menghantui seumur hidupku. Menimbulkan penyesalan yang panjang. Namun meski aku tahu akibatnya pun aku tetap melakukan dosa. Aku tidak pernah berhenti melakukan dosa dalam aneka bentuk tindakan. Chiko lebih baik, sebab dia main air hujan tanpa tahu akibatnya. Dia hanya ingin bermain. Sedangkan aku tahu akibat dosa. Tuhan telah memberiku akal budi yang cukup sehingga membuatku bisa mempertimbangkan sebuah tindakan. Aku bisa memilih sebuah tindakan dosa atau bukan. Namun aku tetap memutuskan untuk melakukan. Ini lebih parah dari Chiko.

Seringkali aku membuat aneka alasan untuk berbuat dosa. Melakukan pembenaran diri atau memaafkan diri dengan alasan banyak orang yang melakukan atau itu hal biasa dalam hidup. Sebuah warna lain dari hidup. Namun jika jujur aku tahu bahwa aku salah dalam mengambil keputusan. Tidak ada dosa yang terjadi secara tidak sengaja. Semua sudah aku pertimbangkan dan dengan kesadaran penuh. Chiko lari ke jalanan yang hujan aku yakin tidak didasari oleh pertimbangan kesadaran yang penuh dan akal budi yang cukup. Chiko tidak mempunyai kesadaran seperti yang aku miliki.

Namun dosa-dosaku tidak menyurutkan Allah untuk menyelamatkan. Dia mengutus PutraNya untuk datang ke dunia dan menyelamatkan aku. Dia masuk dalam lingkungan yang penuh dengan dosa dan mencariku. Ketika ditemukan aku digendongnya, seperti adikku menggendong Chiko. Namun bedanya Yesus tidak semarah adikku. Dia tidak pernah ngomel ketika menggendongku. Bahkan Dia mengatakan bersukacita seperti seorang janda yang menemukan satu keping dinarnya yang hilang. Allah bersuka cita ketika menemukan aku yang berdosa.

Aku disucikan oleh Allah dengan baptisan. Sama seperti adikku membersihkan Chiko dari segala lumpur dengan shampo yang digunakannya. Yesus menyelamatkan aku dengan tetesan darahNya. Ini lebih dari shampo. Dia mengurbankan diriNya demi membersihkan diriku sehingga aku layak dan pantas untuk duduk dan bersamanya di dalam kerajaanNya. Namun aku sering tidak menyadari hal ini. Maka seperti Chiko setelah baptis pun aku lalu lari kembali pada kesenanganku. Berguling-guling dalam dosa. Aku tidak mampu mempertahankan kebersihan diri dan jiwaku. Gereja menyediakan sakramen tobat, dimana aku memohon ampun atas segala dosa dan membangun niat ingin kembali kepada Allah. Namun buah sakramen tobat tidak berlangsung lama. Aku masuk kembali dalam dosa. Seolah denda belum aku laksanakan sudah ada dosa lagi yang aku lakukan.

Allah tidak seperti adikku yang langsung marah ketika melihat Chiko berlari kembali ke teras yang kotor. Allah memberikan aku kebebasan. Dia membiarkan aku memilih sebuah pilihan hidup. Dia tidak merantaiku sehingga aku tidak bisa bergerak. Alalh memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah adalah bapa yang baik. Dia menungguku dan menyosongku ketika aku pulang kembali padaNya setelah mengecewakanNya. Gereja senantiasa terbuka bagi orang berdosa yang ingin kembali. Namun sayang ada orang yang arogan sehingga menutup pintu Gereja bagi orang berdosa yang ingin bergabung kembali. Banyak orang yang merasa berdosa tidak mau masuk kembali dalam Gereja sebab dia merasa ditolak oleh sesamanya. Padahal Allah tidak pernah menolak, bahkan Dia sangat bersuka cita dan berharap orang berdosa akan kembali lagi dalam pangkuanNya.

Aku tidak ubahnya seperti Chiko yang lebih suka menuruti kesenanganku sendiri daripada taat pada kehendak Allah. Padahal Allah sudah berbicara dengan bahasa yang aku mengerti. Bertindak yang bisa aku lihat. Allah sudah menjadi bagian dari manusia. Ini berbeda antara adikku dengan Chiko. Adikku berbicara dalam bahasa manusia yang tidak dimengerti seekor anjing. Dia tidak menjadi anjing agar Chiko melihat keteladanannya. Jika Chiko tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh adikku hal ini wajar, sebab ada perbedaan besar antara keduanya. Sedangkan aku dengan Yesus tidak ada bedanya. Dia juga manusia yang berbicara dalam bahasa manusia. Aku faham apa yang dikehendakiNya. Aku bisa melihat keteladananNya. Namun aku masih tidak taat.

Melihat Chiko mengotori tubuhnya kembali, adikku kecewa. Dia merasa apa yang sudah dilakukannya menjadi sia-sia. Jika aku berguling dalam dosa, aku yakin Yesus kecewa melihat keputusanku. Namun Dia tidak mengomel. Dia mungkin hanya menatapku dengan sedih sama seperti ketika Dia menatap Petrus yang mengkhianatiNya. Sama dengan ketika Dia mempersilakan Yudas menjalankan segala rencananya. Aku bayangkan ada nada getir ketika Yesus mempersilahkan Yudas.

Allah sudah sering kecewa dengan pilihan tindakanku. Aku pun sadar akan hal itu, namun aku lemah dan sering jatuh. Apakah keyakinan kasih Allah yang tidak menghukumku ini membuatku tidak takut berbuat dosa? Apakah Allah sengaja membiarkan aku berbuat dosa? Aku yakin tidak. Sama seperti ketika Yesus berhadapan dengan kaum Farisi yang mempersoalkan perceraian. Dia mengatakan bahwa akibat kekerasan hati merekalah maka Musa memberikan surat cerai. Ya ketegaran hatilah yang membuatku berulang kali jatuh dalam dosa. Ketegartengkukkanlah yang membuatku masuk dalam dosa. Tanggung jawab ini tidak bisa dilemparkan pada Allah, melainkan aku harusnya bersyukur bahwa Allah masih memberiku kesempatan untuk bertobat dan tetap memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah tidak seperti adikku yang membawa rantai dan memberikan hukuman atas segala tindakanku. Aku hanya harus menanggung konsekwensi atau akibat dari apa yang aku lakukan. Aku harus memetik buah dari dosa.

Pengalaman sore ini menyadarkan aku bahwa aku tidak lebih baik dari Chiko, seekor anjing kecil yang suka main air hujan.

silakan baca selanjutnya "CHICO" ...

AKU DAN KECOAK

1 komentar

Aku memandang seekor kecoak yang berlarian di kamar mandiku. Sebentar-sebentar dia berhenti. Aku tidak tahu apakah dia hanya mengendus sesuatu atau makan sesuatu. Tapi apa yang dimakan? Di kamar mandi hanya ada sisa air, sisa busa sabun, sisa busa shampo dan sisa abu rokok. Apakah kotoran itu bisa dijadikan makanan? Ataukah dia makan dakiku yang berjatuhan dari tubuhku ketika tersiram air? Entahlah. Tapi kalau tidak makan, bagaimana dia bisa hidup di sini?

Allah itu memang Mahakuasa. Bagaimana kecoak yang kupikir tidak mempunyai makanan, ternyata masih bisa hidup. Bagaimana sampah dari diriku masih bisa memberikan suatu kehidupan, meski hanya untuk seekor kecoak. Pernah aku berpikir untuk tidak ke kamar mandi sama sekali. Aku ingin tahu apakah kecoak itu masih bisa bertahan hidup atau akan mati. Tapi akhirnya aku berpikir mengapa aku bisa begitu jahat? Mengapa aku sayang membuang sampahku? Padahal aku tidak merasa kehilangan sama sekali. Bahkan tubuhku menjadi lebih bersih setelah mandi. Memang kadang aku terlalu egois. Aku tidak ingin orang lain atau hewan lain menikmati apa yang aku miliki bahkan sampai apa yang sebetulnya tidak pernah aku rasakan sekalipun jika aku melepasnya. Misalnya di dalam lemariku ada beberapa helai baju bahkan beberapa sudah sangat lama, sebab kubeli beberapa tahun yang lalu. Aku sudah tidak memakainya selain sudah tidak mampu menampung tubuhku yang semakin membesar juga sudah ada yang lebih baru. Karena tidak pernah kupakai, maka aku tidak pernah memperhatikan baju-baju itu lagi. Tapi ketika ada yang mengambilnya, aku merasa kehilangan. Padahal selama ini aku tidak pernah memperhatikannya. Kalau kecoak itu makan dakiku, kenapa aku tidak rela memberinya? Apakah aku merasa kehilangan daki?

Semula aku jijik melihat kecoak, maka ketika pertama melihatnya aku langsung membawa pemukul. Tapi dia memang gesit. Begitu kupukul dia lari masuk ke lubang air. Lama tidak muncul. Dia akan muncul lagi ketika aku tidak ada, sebab setiap masuk kamar mandi pasti kecoak itu sedang berkeliaran. Lama-lama aku biarkan saja. Toh dia tidak mengganggu kehidupanku. Dia hanya membuatku jijik saja, tapi tidak membahayakan diriku. Dia juga tahu diri sehingga tidak masuk kamar. Hanya berkutat di kamar mandi. Mengapa aku tidak bisa berbagi ruangan sedikit saja dengannya? Toh aku juga jarang masuk kamar mandi.

Mengapa aku jijik pada kecoak? Jika kulihat warnanya yang coklat tua dan mengkilat, mengapa bisa menimbulkan kejijikan? Bukankah warna itu indah? Mungkin kejijikan itu muncul dari cerita ibuku bahwa kecoak itu kotor. Hidupnya di got-got dan tempat kotor lainnya. Kini dia hidup di kamar mandiku apakah masih menjijikan? Temanku lebih parah lagi, jangankan melihat kecoak, mendengar kata kecoak saja dia sudah ketakutan, karena jijik. Jika kecoak itu sejak kecil kupelihara di tempat yang bersih apakah dia akan tetap menjijikan? Pasti tetap menjijikan. Dengan demikian kejijikan itu bukan karena asal tempat tinggal kecoak, tapi karena pikiranku sendiri yang sudah menuduhnya menjijikan.

Di masyarakat juga ada orang yang dianggap menjijikan sebab status dan pekerjaannya. Beberapa orang dengan secara implisit menyatakan bahwa pekerja seks kelas teri yang mangkal di stasiun dan terminal adalah orang yang menjijikan. Pemulung dan anak jalanan juga menjijikan. Aku teringat pernah ketika bersama teman-teman hampir saja diusir oleh satpam rumah makan, sebab di dalamnya sedang ada pesta. Padahal kami diundang dan diminta untuk mengisi acara. Kami semua saat itu sudah mandi dan bersih, hanya pakaian kami bukan pakaian pesta, sebab memang tidak punya. Satpam itu mau mengusir sebab mengetahui dari penampilan kami bahwa kami adalah anak jalanan yang suka bikin onar, mencuri dan tuduhan lainnya, yang membuat kami jadi masyarakat yang menjijikan. Untung aku ingat nomor HP orang itu sehingga dia sendiri keluar dan mempersilahkan kami masuk. Kalau aku lupa jelas satpam itu akan tetap mengusir kami.

Beberapa orang pun enggan aku ajak untuk berteman dengan teman-temanku. Aku tahu bahwa alasan mereka adalah mereka jijik. Mereka jijik bukan karena melihat penampilan temanku yang sudah mandi, tapi dari pikirannya sendiri yang terbentuk dari lingkungannya bahwa anak jalanan, pekerja seks kelas teri dan pemulung adalah orang yang menjijikan. Orang Yahudi pun sempat terheran-heran dan mengkritik Yesus ketika Dia datang dan makan bersama orang-orang yang dianggap menjijikan. Mereka dianggap menjijikan sebab orang Yahudi merasa lebih bersih. Aku pun bisa melihat kecoak menjijikan sebab aku merasa lebih bersih dibandingkan kecoak. Padahal kecoak itu selalu di kamar mandi. Dia pasti selalu terkena air, sedangkan aku hanya dua kali sehari mandi. Itupun kalau di rumah.

Aku akhirnya senang dengan kecoak itu sebab dia bisa menjadi hiburan di saat aku tengah duduk sambil menikmati rokokku di kloset. Aku bisa melihatnya berlarian dan penasaran jika melihatnya mengendus-endus. Aku teringat Ktut Tantri seorang Amerika yang membantu perjuangan rakyat Bali melawan Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali setelah Jepang kalah. Ketika di penjarakan Ktut Tantri merasa kesepian, sebab dia sendiri dalam satu sel dan tidak boleh berkomunikasi dengan siapapun. Maka dia berteman dengan kecoak yang berkeliaran di selnya. Ternyata kecoak pun bisa menjadi teman yang menyenangkan. Apakah setelah keluar dari penjara dan kembali ke Amerika Ktut Tantri masih suka berteman dengan kecoak? Aku tidak tahu. Mungkin dia sudah melupakan teman-temannya itu. Atau bahkan mungkin sudah menyemprot kecoak yang ada di rumahnya dengan pestisida.

Memang ketika orang sedang kesepian dia bisa saja berteman dengan siapa saja dan apa saja. Namun ketika dia menemukan dunianya kembali dia mulai meninggalkan teman-temannya. Aku pun hanya berteman dengan kecoak ketika di kamar mandi. Di luar kamar mandi aku sudah lupa dengan mereka. Jangankan dengan kecoak, dengan sesamaku saja aku bisa lupa. Memang dalam kesepian aku bisa berteman dengan siapa saja. Dengan orang yang masih mau denganku. Tapi jika sudah punya banyak teman, aku pun mulai memilih mana yang bisa kuanggap teman. Aku pun pernah mengalami nasib seperti kecoak. Ketika orang sedang dalam kesepian dan kesulitan dia senantiasa datang padaku, bahkan sampai menyita banyak waktuku. Tapi setelah dia aman dan nyaman, dia melupakanku. Jangankan datang, telpon saja tidak pernah.

Dari sini kusadar bahwa perteman ternyata sangat rentan. Saat ini aku punya banyak teman sebab aku jadi imam, suatu status yang tidak menjijikan. Banyak orang senang bisa mengenalku bahkan mau bersusah payah menolongku. Padahal dulu aku merupakan bagian dari orang yang dilupakan dan tidak diperhitungkan. Tidak ada seorangpun yang bangga berteman denganku. Kini semuanya berubah, sebab statusku. Bukan diriku, sebab aku sama dengan yang dulu. Seandainya nanti suatu saat aku menyatakan mengundurkan diri dari imamatku, aku yakin akan menjadi orang yang dihindari lagi. Aku akan jadi kecoak di masyarakat. Padahal aku tetap menjadi diriku sendiri.

Kecoak di kamar mandiku yang berukuran 1X2,5 m masih berlari kian kemari. Apakah dia bangga hidup sebagai kecoak? Apakah dia bahagia sebagai kecoak? Aku tidak tahu. Kalau toh kecoak itu menangis atau tertawa aku juga tidak tahu. Atau dia tidak bisa menangis dan tertawa? Ataukah memang aku tidak peduli apakah kecoak itu menangis atau tertawa? Ataukah aku memang tidak bisa membedakan antara tangis dan tertawanya kecoak? Dalam masyarakat saat ini banyak sekali kecoak. Orang yang dianggap menjijikan. Orang yang disingkiri. Orang yang hidup dari sisa-sisa orang lain. Orang yang bisa hidup dari makanan yang tidak pernah kita duga bisa menghidupinya. Orang yang sudah sulit membedakan antara tangis dan ketawa, sebab dia tertawa dalam tangisan. Dalam kesedihan dan kesepiannya. Mereka berkeliaran di sekitarku hanya aku saja tidak peduli padanya, sehingga aku lebih memperhatikan kecoak di kamar mandi daripada mereka yang ada di sekitarku.

silakan baca selanjutnya "AKU DAN KECOAK" ...

AKU HANYALAH ANAK SEORANG PSK

2 komentar

Malam semakin larut. Radio tetangga sebelah yang sepanjang siang sangat keras mendendangkan lagu-lagu dang dhut sudah lama tidak berbunyi. Lorong rumah yang sehari-hari ramai oleh suara tangis anak, jeritan atau tawa mereka ditengah suara keras dari ibu-ibu yang marah sudah lama menghilang. Saat ini hanya sesekali terdengar suara derungan mesin sepeda motor yang melintasi jalan depan lorong.

Aku berusaha tidur. Mataku sudah kupejamkan sejak sore, tapi masih belum bisa terlelap juga. Dua adikku sudah sejak tadi tertidur. Bahkan adikku yang paling kecil sudah ngompol sehingga aku harus menggantikan celananya dan membersihkan plastik alas tidur agar air kencing itu tidak mengalir kemana-mana. Rumahku hanyalah sebuah kamar ukuran 3X3 m. Aku tinggal bersama ibu dan kedua adikku yang masih kecil. Dulu sebelum ayah pergi entah kemana, kami harus menempati kamar ini berlima. Kami semua tidur di lantai dengan beralaskan plastik. Tidak ada tempat tidur atau meja. Kalau toh kami punya maka semua itu pasti tidak akan cukup untuk diletakan dalam ruang yang sempit ini. Kami hanya mempunyai satu buah lemari kecil tempat pakaian dan rak tempat aku menyimpan semua buku pelajaran dan alat-alat rumah tangga lain. Tidak jarang bukuku basah kena air yang menetes dari piring yang masih basah. Ibu selalu melarangku untuk meletakan piring yang baru selesai dicuci di luar rumah, sebab kemungkinan besar akan hilang.

Rumah ini sempit dan pengap. Tidak ada jendela. Hanya ada sebuah pintu. Rumahku adalah salah satu dari 5 rumah lain yang berderet. Antar rumah hanya dibatasi oleh sebuah dinding triplek tipis, sehingga apa yang terjadi di sebuah rumah pasti akan didengar dan ketahui oleh tetangga sebelah. Di hadapan rumahku juga ada 5 rumah lain yang berderet. Kami dipisahkan oleh sebuah lorong sempit. Perumahan ini tidak bedanya dengan kandang ayam yang pernah aku lihat di rumah tetangga yang mempunyai banyak ayam jantan. Kurangnya ventilasi dan banyaknya barang yang berjejal dalam rumah membuat rumahku menjadi pengap. Ini juga terjadi pada rumah para tetangga. Semuanya pengap. Bau ompol, asap kompor, pakaian kotor, dan keringat semua bercampur menjadi satu. Apek.

Kulihat jam kecil di atas lemari pakaian sudah menunjukan hampir pukul 2 dini hari. Jam itu merupakan pemberian dari seseorang sebab aku bisa menggambar dengan bagus. Katanya aku mempunyai bakat menggambar. Padahal menurutku gambaranku biasa saja. Mungkin orang itu ingin memberi tapi menggunakan cara lomba. Ah terserahlah! Yang penting aku mempunyai jam, sehingga bisa tahu waktu. Biasanya jam segini ibu pulang. Aku kadang terbangun ketika ibu membuka pintu yang tidak terkunci. Kadang wajah ibu tampak tersenyum melihat kami tidur berdesakan diantara lemari dan peralatan dapur. Tapi tidak jarang juga wajah ibu terlihat lelah dan suntuk.

Ibu memang bekerja malam hari. Dia berangkat ketika adzan mahgrib di mushola sebelah mulai berkumandang. Aku tidak tahu apa pekerjaan ibu yang sesungguhnya. Jika aku bertanya apa yang dilakukan ibu pada malam hari, dia tidak pernah menjawab dengan memuaskan. Ibu hanya mengatakan bahwa dia bekerja untuk menghidupi kami. Tidak perlu tanya apa pekerjaannya! Bagi ibu yang penting ada uang untuk bertahan hidup. Aku tidak berani bertanya lagi. Aku akan melanjutkan bermain atau belajar. Tetapi sudah sering kudengar dari para tetangga bahwa ibuku bekerja sebagai pekerja seks di tepi jalan. Katanya pernah ada tetangga yang melihat ibu sedang berdiri di tepi jalan bersama dengan pekerja seks yang lain.

Pekerjaan ibu ini membuat banyak tetangga mencibirkan bibir melihat keluarga kami. Kadang kalau adikku bertengkar dengan anak tetangga, maka orang tuanya marah dan mengatakan, “pantas saja anak ini nakal sebab ibunya adalah seorang pelacur.” Atau kalimat pedas lainnya. Kenakalan adikku atau kenakalanku selalu dikaitkan dengan pekerjaan ibu sebagai seorang pelacur. Aku sakit hati kalau mendengar perkataan itu, tapi aku tidak bisa membela diri. Kadang aku bertengkar dengan anak tetangga bukan akibat kesalahanku, tapi mereka selalu menyalahkan aku, sebab aku anak seorang pelacur. Apakah seorang anak pelacur selalu salah? Apakah aku tidak bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus dikaitkan dengan pekerjaan ibu? Apakah akibat ibu bekerja sebagai pekerja seks maka aku dan adikku menjadi nakal? Apakah kalau orang tuanya bekerja sebagai buruh anaknya tidak akan nakal? Masih banyak pertanyaan yang tidak mampu kujawab dalam usiaku saat ini.

Aku jarang bertemu dengan ibu, sebab ketika ibu di rumah aku dan adikku sekolah. Siang hari kebanyakan ibu tidur, sebab kecapekan kerja malam dan mempersiapkan makanan untuk hari ini. Aku tidak mau mengganggu jika ibu sedang tidur. Aku sering membayangkan belajar malam hari dibantu oleh ibu. Aku ingin bermain seperti teman-teman yang lain tanpa harus diganggu oleh adikku yang paling kecil. Saat ini aku tidak bebas bermain sebab harus mengasuh dan merawat adikku yang baru berusia 3 tahun. Kata ibu aku sudah besar maka harus bertanggungjawab terhadap isi rumah termasuk menjaga adik-adikku. Kadang aku jengkel dengan situasi hidup ini. Jika sudah demikian maka aku akan menyalahkan bapakku yang pergi begitu saja. Pergi meninggalkan kami dalam keadaan miskin sehingga hanya menjadi bahan ejekan para tetangga.

Aku benci pada bapakku, tapi sering kali aku juga merindukan kehadirannya. Bapak dulu bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Kehidupan kami tidak seburuk seperti saat ini. Meski rumah kami tetap kontrakan seperti ini, tapi tidak ada tetangga yang mengejekku. Aku masih mempunyai harga diri. Aku bisa bermain dan belajar dengan tenang, sebab ada ibu yang menjaga adik. Kalau aku bertengkar dengan anak tetangga masih ada bapak yang membelaku. Tapi kini semua itu sudah berlalu. Sejak di PHK bapak tampak kalut. Dia suka mabuk dan main judi dengan harapan akan menang besar. Kadang bapak menang judi, tapi uang itu akan cepat habis di meja judi lagi. Akhirnya ibu dan bapak sering bertengkar. Hingga suatu saat bapak pergi dan tidak kembali lagi. Kepergiaan bapak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Semua tetangga menyalahkan ibu yang suka marah. Apalagi setelah ibu menjadi pekerja seks, maka semua tetangga semakin menyalahkan ibu sebagai perempuan nakal. Perempuan yang tidak baik, sehingga ditinggalkan bapak. Padahal bagiku bapaklah yang salah. Ibu menjadi pekerja seks sebab dia tidak mempunyai apa-apa. Dia tidak mempunyai ijasah atau ketrampilan yang bisa digunakan untuk mencari uang. Aku yakin menjadi seorang pekerja seks bukan pilihan ibu, tapi sebuah keterpaksaan. Jika ada pilihan pekerjaan lain, aku yakin ibu pasti akan meninggalkan pekerjaan itu.

Dulu pernah ibu diberi modal oleh seseorang untuk membuat kue. Tapi hasil jualan tidak cukup untuk hidup. Untuk makan kami bertiga dan biaya sekolah. Apalagi bila kue itu tidak laku, maka ibu tidak mempunyai uang sama sekali. Hal ini sering terjadi. Pernah ada orang mengatakan ibu kurang bersemangat berjualan dan hanya mencari enaknya saja. Aku tidak setuju pendapat ini! Aku lihat sendiri ibu selalu bangun pada dini hari lalu membuat kue dan memasarkan di pasar yang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Siang hari baru ibu pulang dengan membawa bahan untuk membuat kue dan bahan makan kami. Pekerjaan ibu belum selesai. Sore hari ibu mulai membuat kue sampai malam, sehingga esok pagi tinggal menggoreng. Maka tidak jarang ibu mengeluh sangat capek sekali. Tapi perjuangan ibu untuk menghidupi kami bertiga masih tidak dihargai oleh tetangga. Mereka masih mencap bahwa ibu seorang pemalas yang hanya ingin hidup enak tanpa berjuang.

Aku bangga dan sangat mencintai ibu, meski ibu bekerja sebagai pekerja seks. Tanpa ibu aku dan kedua adikku sudah lama kelaparan. Siapa yang akan peduli dengan kami? Para tetangga yang mencela pekerjaan ibu pun tidak pernah memberi kami barang semangkuk sayur, meski mereka melihat kami hanya makan nasi dan kerupuk. Mereka memang hanya mencela saja, tapi tidak peduli dengan kami. Oleh karena itu ibu sering menasehati agar aku tidak perlu mendengarkan omongan para tetangga, sebab mereka hanya bisa berbicara dan mencela.

Jam sudah menunjukan hampir pukul 3 dini hari. Pintu rumah berderit pelan. Kulihat ibu masuk dengan berhati-hati agar tidak membangunkan kami. Ibu tersenyum ketika melihat aku memandangnya. Ibu keluar lagi ke kamar mandi. Tidak lama ibu sudah tidur disisiku. Aku peluk ibu dengan penuh kasih. Bau wangi parfum yang menyengat masih melekat bercampur bau rokok. Aku tidak peduli. Dia adalah ibuku meski seorang pekerja seks.

silakan baca selanjutnya "AKU HANYALAH ANAK SEORANG PSK" ...
 
langkah peziarah - Template By Blogger Clicks